Setalah Baja, Kini Giliran Semen China Membanjiri Pasar Domestik

0

Jakarta, Teritorial.Com – Kondisi pasar semen lokal dalam beberapa tahun terakhir mengalami over suplly, banyak produknya tak terpakai lantaran gencarnya penetrasi semen China. Kelebihan produksi ini selain dipicu oleh kalah bersaing juga disebabkan kurang maksimal dilibatkan dalam pembangunan infrastruktur oleh pemerintah Over supply produk semen lokal pada 2018 mencapai 43 juta ton, sementara kapasitas produksi industri semen 113 juta ton pada 2018. Sehingga yang benar-benar terserap pasar lokal sekitar 70 juta ton.

Dilansir dari nusataran.news, Beberapa pemain lokal seperti Semen Gresik, Semen Tonasa, Semen Padang, Semen Tiga, Holcim mulai tergusur oleh derasnya pasokan semen China. Ada merk-merk baru asal China yang agresif di pasar lokal, seperti Garuda, Conch, Hippo, Jui Sin, Sun Fook, Panasia dan Haohan, mengisi berbagai proyek pembangunan infrastruktur hingga rumahan. Yang mengenaskan, semen asal China berani menjual rugi, jauh lebih murah dibandingkan harga semen lokal. Sebagai contoh, Semen Gresik menjual semen satu zak ukuran 40 kg seharga Rp40.400 atau setara Rp1.010 per kg, sementara semen Conch dengan berat yang sama hanya menjual Rp34.300 per zak atau Rp857,5 per kg.

Kalau kondisi ini dibiarkan, maka semen lokal tinggal menunggu waktu mati pelan-pelan, mirip dengan PT Krakatau Steel Tbk yang tergilas baja China. Hal ini akibat pemerintah kurang memproteksi produk strategis seperti baja dan semen. Pada Juni 2018 Menperin Airlangga Hartarto pernah berjanji akan melindungi semen lokal dari gempuran pabrik semen asal China dengan memperkuat Stadar Nasonal Indonesia (SNI). Airlangga bahkan mengatakan semen China tak akan menggempur pasar lokal, tapi lebih ke pasar ekspor di sekitar Indonesia. Nyatanya sekarang beredar di tanah air.

Di negara manapun produk strategis nasional selalu dilindungi dari gempuran produk asing, di negeri kita dibiarkan mati pelan-pelan. Modus yang dipakai semen asal China adalah dengan melakukan jual rugi atau lebih dikenal predatory pricing. Oleh karena semen China dijual rugi, maka konsumen memburu semen murah asal China. Walaupun tidak menutup kemungkinan beberapa konsumen lokal yang masih setia dengan produk lama dengan kualitas yang dijaga.

Tapi muara dari itu semua, mengapa semen produk China bisa lebih murah dari produk lokal? Sebagaimana jurus yang dipakai China untuk menundukkan negara mitra dagangnya adalah dengan melakukan empat langkah terhadap produk-produk ekspor. Pertama, Pemerintah China menerapkan potongan pajak (tax rebate) hingga 10% hingga 19% terhadap industri yang berorientasi ekspor. Sehingga industriawan China cukup membayar pajak 6%, hal ini membuat produk China kompetitif di internasional.

Kedua, bank-bank China juga memberikan potongan bunga kepada industri yang berorientasi ekspor. Kalau rerata bunga bank komersial di China sebesar 4%, industri yang berbasis ekspor mendapat dukungan dana dengan bunga hanya 2%. Ketiga, Pemerintah China diduga menerapkan kebijakan dumping kepada produk-produk kompetitif. Jika untuk ekspor dijual lebih murah, sementara untuk dijual di dalam negeri dikenakan harga lebih mahal. Keempat, Pemerintah China juga menerapkan upah minimum regional yang lebih rendah terhadap industri berbasis ekspor, sehingga menyerap tenaga kerja lebih banyak untuk mass industry.

Adanya predatory pricing oleh produsen semen China untuk menjatuhkan pasaran semen lokal, hanyalah tampak akhir yang bisa dilihat. Dengan kata lain sebenarnya pemerintah China memproteksi produk-produk yang berorientasi ekspor agar leading di negara tujuan mitra dagang. Itu sebabnya mengapa Presiden Amerika Serikat Donald Trump marah-marah dan menabuh genderang perang dagang. Niatan Trump tentu ingin menyudahi defisit perdagangan AS terhadap China.

Pada 2018 Amerika mengalami defisit perdagangan mencapai US$621 miliar, terendah sejak 2008. Dimana US$419,2 miliar diantaranya defisit terhadap China. Wajar kalau kemudian Trump bertekad melindungi industri manufakturnya dengan menaikkan tarif bea masuk barang asal China. Lantas bagaimana dengan Indonesia? Apakah akan terus-terusan mau dibombardir produknya oleh produk China yang lebih murah sehingga defisit perdagangan makin melebar?

Dalam menghadapi serangan produk semen China ini sebenarnya ada beberapa langkah yang bisa ditempuh. Pertama, bagi produsen semen lokal harus tetap menjaga kualitas produk agar tetap diburu konsumen lokal meski harga lebih tinggi. Kedua, meningkatkan pelayananan antar, jemput, termasuk order semen secara langsung ke konsumen. Konsumen semen tradisional kalau sudah merasa cocok tentu akan tetap loyal.

Ketiga, melakukan go international seperti yang dilakukan Semen Indonesia yang sudah mapan di dalam negeri mengakuisisi 70% saham semen Myanmar, Tang Long, bahkan ada rencana mengakuisisi semen besar di Bangladesh. Tujuannya adalah melakukan penetrasi pasar global lewat penguasaan saham, pada gilirannya bisa melakukan ekspor untuk daerah terdekat. Keempat, pemerintah perlu melakukan perlindungan atas produk-produk stategis seperti baja dan semen. Perlindungan itu bisa lewat pengenaan bea masuk, pemberlakuan SNI, mewajibkan bahasa Indonesia pada produk hingga penerapan fiskal yang berpihak.

Menanggapi hal tersebut, Anggota DPR RI Andre Rosiade belum lama ini menyampaikan, kondisi tersebut tidak boleh dibiarkan karena akan merugikan produk semen Indonesia. “Pasar semen lokal dalam kondisi sangat memprihatinkan atau terancam bangkrut. Kenapa itu bisa terjadi karena ada kebijakan predatory pricing, di mana investor semen China yakni semen Conch dengan sengaja menjual semen di Indonesia dengan harga merugi,” kata Andre, Kamis (18/7/2019).

Anggota DPR RI terpilih dari Dapil Sumatera Barat I ini berujar, akibat kebijakan sepihak yang dilakukan semen Conch, berdampak langsung terhadap penjualan hingga produksi semen dalam negeri yang menurun. Andre pun mencontohkan harga semen asal China jauh berbeda dengan semen lokal yang bisa dilihat di situs jual beli online. “Pabrik Semen di Aceh, Semen Padang, Semen Baturaja, Semen Gresik, dan Semen Tonasa terpaksa menurunkan kapasitas produksinya, karena semen mereka tidak laku karena kalah bersaing. Juga karena kebijakan semen Conch yang terindikasi menggunakan predatory pricing itu. Di situs jual beli online harga semen lokal itu berkisar di Rp51.000 sedangkan semen asal China berkisar di harga Rp34.000,” ujarnya.

Share.

Comments are closed.