Tingkat Hutang Asing Tinggi, McKinsey Ingatkan Risiko Krisis Asia 1997 Terulang

0

Jakarta, Teritorial.Com – Negara-negara di Asia perlu mewaspadai risiko terulangnya krisis 1997 menyusul tingginya tingkat utang asing, terutama di tengah perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China.

Pernyataan tersebut disampaikan oleh firma konsultan keuangan global McKinsey & Company dalam laporan bertanggal Juli 2019 dengan judul “Signs of Stress in The Asian Financial System”.

Dalam laporan yang baru muncul ke publik belakangan ini dijelaskan bahwa  McKinsey juga menemukan data bahwa 25% utang swasta valas jangka panjang di Indonesia memiliki rasio penutupan bunga (interest coverage ratio/ICR) kurang dari 1,5 kali.

Angka tersebut terhitung rawan karena berarti perseroan menggunakan mayoritas labanya untuk membayar utang. Bersama dengan Australia, China, Hong Kong, dan India, Indonesia berada di dalamnya. Sektor utilitas (pembangkit listrik dan jalan tol) menjadi sektor dengan jumlah utang terbanyak, dengan porsi 62%. Sementara itu, 11% berasal dari sektor energi dan sektor bahan mentah berkontribusi sebesar 10%.

“Kini, media keuangan dan pengamat bertanya-tanya apakah kenaikan tingkat utang di Asia bisa memicu krisis yang baru. Sayangnya, tanda-tandanya terlihat mengancam, dan kesehatan sektor keuangan dan sektor riil sedang memburuk,” tulis tulis Senior Partner McKinsey Joydeep Sengupta dan Archana Seshadrinathan dalam laporan  seperti dikutip CNBC Indonesia.

McKinsey ingatkan sektor utilitas di India dan Indonesia berpotensi memicu persoalan karena tidak mudah bagi kedua negara tersebut untuk membalik kinerja dan membayar kembali utangnya. Diperlukan kerja sama dari berbagai pemangku kepentingan  seperti pemerintah pusat dan daerah, perusahaan itu sendiri, hingga konsumer.

Selanjutnya, dampak buruk dari tingkat utang korporasi dan utang rumah tangga yang tinggi dapat terlihat di beberapa negara seperti Indonesia, China, India, dan Thailand. Utang Indonesia yang berdenominasi dolar Amerika Serikat (AS) telah mencapai 50% dari porsi utang yang ada. Angka tersebut juga berarti jauh di atas rata-rata kawasan yang hanya sebesar 25%.

Perusahaan konsultan keuangan global ini juga melakukan penilaian terhadap neraca keuangan 12.000 perusahaan di 11 negara Asia Pasifik untuk periode 2007-2017. Fokus dari analisis ini adalah pada porsi utang jangka panjang korporasi dengan ICR kurang dari 1,5 kali.

Pemerintah harus mencermati meskipun kualitas aliran dana global (inflow) yang masuk ke Asia membaik dengan porsi penanaman modal asing langsung (foreign direct investment/FDI) meningkat pada tahun 2007 sebesar 27% menjadi 38% pada tahun 2018, namun lebih dari 40% inflow itu merupakan bentuk utang valas. Dengan demikian, jika tidak diatur dengan baik maka hal tersebut dapat menyebabkan persoalan krisis ekonomi seperti yang pernah terjadi pada tahun 1997.

“Ada beberapa pemicu yang bisa memacu risiko di Asia. Pemangku kepentingan harus ketat memonitor tren suku bunga, dan perkembangan ekonomi global, terutama di tengah eskalasi perang dagang antara AS dan China, serta tensi geopolitik yang bisa mengganggu laba bersih korporasi dan rumah tangga di Asia, mempertinggi tingkat kerentanan Kawasan,” tulis Joydep.

Share.

Comments are closed.