Luncurkan Buku, Chappy Hakim Tegas FIR Kepulauan Riau Wilayah Udara NKRI

0

Jakarta, Teritorial.Com – Berangkat dari kisah pilu sahabat lama tentang kepulangan Ibunda tercintanya kembali kepangkuan Tuhan Yang Maha Kuasa pada awal tahun 2012, Panik dan tergopoh-gopoh dia berusaha keras untuk dapat kembali segera ke Jakarta. Dengan segala kemampuan yang dimilikinya dan jejaring pertemanan yang membantu, alhamdulilah dia memperoleh sebuah pesawat charter yang dalam waktu singkat sudah tiba di Batam dan siap berangkat pada petang hari pukul 17.00 WIB.

Dengan perasaan lega diiringi bayangan harapan untuk masih dapat melihat sang Ibu untuk terakhir kalinya sebelum disiapkan untuk pemakaman sore hari itu, dia pun segera menuju Bandara Batam. Alangkah sedih bercampur amarah yang berbaur di kepalanya saat dilaporkan oleh Sang Captain Pilot bahwa pesawat tidak diperkenankan take off dari Batam ke Jakarta karena traffic yang sedang padat. Penguasa pengatur lalu lintas udara Singapura, walau sudah dijelaskan urgensi keberangkatan pesawat pukul 17.00 WIB tetap saja tidak memberi izin dan baru diberikan clearance untuk take off dari Batam pada pukul 20.00 WIB. Hancur dan pupuslah harapan untuk dapat terbang segera ke Jakarta , selain harus menunggu hingga pukul 20.00 WIB.

Kejadian ini hanya satu saja dari banyak cerita menyedihkan tentang orang Indonesia yang berada di negerinya sendiri, tetapi tidak berdaya untuk dapat bepergian sesuai keinginannya karena adanya larangan dari penguasa negara lain. Penerbangan di atas Kepulauan Riau ternyata memang sudah sejak tahun 1946 berada dalam kekuasaan negara lain. Sekali lagi, sungguh menyedihkan, berada di rumah sendiri, tetapi gerakan di dalam rumah sendiri itu ternyata diatur oleh tetangga. Sungguh sangat sulit untuk dapat dipercaya. Unbelievable and ridiculou.

Buku Flight Information Region (FIR) di Kepulauan Riau ini disajikan dengan harapan agar masyarakat luas memperoleh informasi yang benar dan jelas tentang masalah FIR di Kepulauan Riau (Kepri). Persoalan ini menjadi isu yang cukup seksi dan hangat diperbincangkan di kalangan masyarakat luas. Latar belakang, kompetensi, dan konsistensi penulis dalam mengulik persoalan ini tak diragukan lagi. Sebagai mantan KASAU, pembahasan FIR ini menjadi kaya dan komprehensif, serta meletakkan persoalannya secara proporsional.

Artinya, persoalan FIR di Kepri ini bukan sekadar terkait dengan keselamatan penerbangan internasional, melainkan masuk dalam ranah pertahanan dan keamanan negara, serta berkelindan dengan aspek kedaulatan sebagai bangsa dan negara. Pengelolaan FIR di Kepri tersebut masih di bawah otoritas Singapura sejak tahun 1946. Agak aneh memang karena tahun 1946, bahkan negara Singapura belum ada dan Indonesia pun belum menjadi anggota International Civil Aviation Organization (ICAO). ICAO waktu itu mendelegasikan pengelolaan itu kepada kolonial Inggris di Singapura.

Padahal mengacu pada Konvensi Chicago 1944, kedaulatan negara di wilayah udaranya adalah penuh dan eksklusif. Artinya, Indonesia berhak penuh atas wilayah udaranya tersebut dan pengelolaan oleh negara lain hanya bersifat sementara. Dengan demikian, atas nama “keselamatan penerbangan internasional” dan “hubungan baik antarnegara tetangga” tidak bisa mengalahkan kedaulatan negara. Apalagi FIR di Kepri itu begitu strategis.

Singapura bahkan telah menentukan “Danger Area” yang tidak boleh digunakan negara lain, termasuk negara pemilik, bagi keleluasaan angkatan perangnya berlatih. Dapat dibayangkan betapa sebuah kawasan milik Indonesia ditentukan sebagai wilayah yang tidak boleh digunakan oleh Indonesia untuk keperluan angkatan perang asing berlatih di situ. Lebih aneh lagi karena Indonesia pun mendiamkan saja hal itu berlangsung. Mengapa dan apa yang menjadi alasan

Share.

Comments are closed.