Fotografi Menjadi Alat Propaganda Politik Untuk Serang Lawan

0

JAKARTA, Teritorial.com – Penggunaan fotografi sebagai alat propaganda politik sudah setua medium foto itu sendiri. Para politikus menggunakannya untuk menciptakan kultus atau untuk menyerang lawan. Untuk kepentingan-kepentingan itu manipulasi diwajarkan.

Dalam studi berjudul “Analysis of Key Photo Manipulation Cases and Their Impact on Photography” (2017) Jitendra dan Rohita Sharma mengisahkan satu kejadian menarik di Amerika Serikat pada 1860, menjelang Perang Sipil. Saat itu presiden AS adalah Abraham Lincoln. Agar terlihat gagah, fotografer Lincoln menggabungkan hasil gabungan foto diri Lincoln dengan foto mantan Presiden John C. Calhoun.

Contoh lain yang disebutkan Sharma masih terkait Perang Sipil. Untuk membuat Perang Sipil AS tampak menggelora, sebuah studio foto menciptakan satu potret utuh kengerian perang sekitaran dengan menggabungkan tiga foto Jenderal Ulysses Grant, pahlawan Perang Sipil yang kelak menjadi presiden AS.

Sharma pun mencontohkan fotografi di Uni Soviet lewat contoh foto Joseph Stalin di pinggir sebuah kanal di Moskow sekitar 1930-an. Aslinya foto tersebut memuat sosok Nikolai Yezhov, kepala badan intelijen NKVD. Namun, pada 1938, Yezhov tersingkir dari kekuasaan, kemudian diadili dan dieksekusi pada 1940. Setelahnya, sosok Yezhov hilang dari terbitan-terbitan resmi Soviet. Ia juga dihilangkan dari fotonya bersama Stalin.

Bagaimana di Italia zaman fasis? Mussolini adalah orang yang terobsesi dengan menciptakan pengkultusan tokoh (cult of personality). Agar terlihat perkasa ketika menunggang kuda, “peracik foto” Mussolini menghapus sosok pemegang tali kuda di foto sesungguhnya”.

Foto-foto hasil manipulasi tak hanya diterbitkan oleh negara. Media-media besar pun pernah ketahuan memuat foto manupulasi. Di salah satu edisi tahun 1982, masih merujuk Sharma, National Geographic memuat foto sampul Piramida Giza yang sengaja diedit lebih tinggi agar tampak gagah di sampul depan majalah itu. Pada 2008, The New York Times, BBC, Financial Times, dan banyak media bereputasi besar lainnya kecolongan memuat foto peluncuran misil milik Iran. Dalam kejadian sesungguhnya, Iran hanya meluncurkan tiga misil secara berbarengan. Namun, foto yang dirilis oleh kantor berita Iran IRNA malah dimanipulasi hingga memperlihatkan empat misil. Foto itu ditelan mentah-mentah oleh media-media besar.

National Geographic akhirnya malu sendiri. Tom Kennedy, yang kala itu menjabat Direktur Fotografi, berjanji majalahnya “tidak akan lagi melakukan manipulasi dalam bentuk apapun untuk membuat sampul lebih indah”. Sementara itu, New York Times dan kawan-kawan ragu terhadap informasi yang bersumber dari IRNA.

Pertanyaannya, mengapa manipulasi terhadap foto ada di dunia ini?

“Seeing is Believing”

 

“Seeing is believing,” demikian bunyi pepatah dalam bahasa Inggris. Artinya agak mirip dengan ungkapan warganet Indonesia “No pic=hoax“. Foto, dalam dua istilah ini, merupakan salah satu elemen kunci yang dapat menyajikan bukti. Yang membuat orang percaya atas suatu perkara.

Clifton C. Edom, dalam “Photo-Propaganda: The History of Its Development” (1947) menyebut foto sebagai “alat perekam” terbaik untuk mendokumentasikan kejadian secara nyata, tidak seperti lukisan atau catatan. Foto bagai wasit, yang berdiri di tengah-tengah kejadian tanpa memihak ke salah satu sisinya. Akibat karakteristik inilah pada tahun 1846 hingga 1848, fotografi mulai dilibatkan dalam Perang Krimea. Kamera yang digunakan saat itu adalah dageurreotipe yang bentuknya masih sangat sederhana. Sebelas tahun berselang, foto pun dilibatkan untuk mendokumentasikan perang Perancis-Rusia.

Yang menarik, Oliver Wendell Holmes, salah seorang Hakim Agung AS, berkomentar tentang nasib foto-foto Perang Krimea dan Perancis-Prusia di negerinya. “Konflik Eropa sukses dibawa ke tengah-tengah masyarakat kita,” ujarnya. Meskipun foto awalnya digunakan sebagai alat dokumentasi semata, “kekuatan yang sukses dilahirkan foto harus diperhitungkan”. Kekuatan ini, merujuk Caroline Brothers dalam War and Photography: A Cultural History (1997) merupakan “sertifikat kebenaran”.

“Foto memberikan bukti. Sesuatu yang kita dengar atau ragukan tiba-tiba nampak terbukti ketika kita mendapat fotonya”. Dalam satu kegunaannya, rekaman kamera memberatkan (foto yang dipublikasikan oleh musuh). Dalam kegunaan lainnya, ia membenarkan (foto yang dipublikasikan oleh kawan),” tulis Sontag dalam On Photography (1977).

Dengan “sertifikat kebenaran” itulah fotografer AS bernama Mathew Brady pada 1861 memberikan “sentuhan khusus” pada foto: manipulasi.

Pada abad ke-19, teknologi photoshop belum lahir. Manipulasi foto dilakukan dengan cara paling dasar: sudut pandang dan “kejadian yang direncanakan.” Katakanlah, fotografer tinggal memilah manam yang patut dipotret dan mana yang tidak. Serta, fotografer dapat meminta Adolf Hitler tersenyum sebentar.

Dalam Perang Sipil yang berkecamuk di AS sejak 1861 hingga 1865, Brady tak menggunakan foto sebagai alat dokumentasi perang, melainkan sebagai alat propaganda. Ia memanfaatkan kamera untuk meyakinkan masyarakat AS bahwa perang itu bukanlah perang antar saudara, melainkan perang antar negara bagian yang memang harus terjadi. Abraham Lincoln takjub dengan kerja Brady dan menyebut karya-karya fotografinya sebagai “pistol besar”. Hasilnya, foto-foto karya Brady sukses membuat sebagian masyarakat AS berpihak pada Lincoln.

Ketika AS bertempur dengan Spanyol (1898), foto dan manipulasinya kembali digunakan sebagai senjata. Wabilkhusus, ketika Spanyol menggempur Kuba, banyak foto kekejian Spanyol diedarkan ke tengah-tengah masyarakat AS untuk membenarkan intervensi militer Paman Sam ke Kuba.

Manipulasi foto semakin menjadi-jadi ketika Perang Dunia I meletus. Baik pasukan sekutu maupun Blok Sentral merilis foto-foto yang menggambarkan kengerian perang. “Foto-foto yang dirilis kala itu menunjukkan gambar yang dirilis Sekutu berdampingan dengan potret propaganda tandingan Blok Sentral. Sketsa tentara Jerman membunuh dan memutilasi anak-anak Perancis dan Belgia dikontraskan dengan foto (bikinan Jerman) yang menunjukkan perlakuan baik tentara Jerman terhadap anak-anak Perancs dan Belgia,” tulis Edom dalam “Photo-Propaganda: The History of Its Development” (1947).

Fotografer, tulis Edom, “telah menjadi batalion tersendiri”.

Perang Dunia II tak berbeda jauh. Bahkan dalam perang ini fotografi digunakan secara masif. Salah satu alasannya, menurut Caroline Brothers dalam bukunya berjudul War and Photography: A Cultural History, foto digunakan untuk membungkam kalangan yang tidak setuju dengan perang. Para conscientious objectors alias mereka yang anti-perang menganggap perang sebagai peristiwa politik yang menyia-nyiakan nyawa manusia berharga murah dan uang. Dalam “War, Lies, and the News Photo: Second World War Photographic Propaganda in PM’s Weekly (1940–1941)” (2014), Carol Payne menyebut pihak-pihak yang bertarung dalam Perang Dunia II menggunakan potret untuk saling membungkam propaganda masing-masing.

PM Weekly, salah satu majalah mingguan yang terbit di AS, bahkan memiliki kolom khusus menganalisis foto-foto yang diedarkan Nazi. Salah satu analisis berjudul “How Hitler Deceives his People: A Picture Analysis,” terbit pada 22 September 1940. Analisis itu memuat enam foto Hitler yang terdiri dari: foto Hitler dikelilingi oleh tiga anak; Hitler berjalan melalui kerumunan pendukung; Hitler disambut oleh sekelompok gadis sambil dikelilingi oleh tokoh-tokoh militer; Hitler memberi hormat pada orang banyak; Hitler mendengarkan Julius Streicher, penerbit surat kabar partai Der Sturm; dan Hitler di podium berbicara kepada kerumunan yang tak terlihat.

Menurut analisis PM Weekly, foto-foto Hitler “direncanakan” dan diedarkan ke masyarakat Jerman agar sang fuhrer terlihat “sebagai seorang pria terhormat dan baik hati”. Foto-foto ini digunakan untuk membalas foto-foto Hitler yang dimuat musuh-musuh Jerman yang menggambarkan Hitler sebagai “orang gila”.

Share.

Comments are closed.