Konferensi antar Negara Pihak UNTOC: Indonesia Fokus Pada Penanganan MLA dan Ekstradisi

0

Jakarta, Teritorial.Com – Direktur Otoritas Pusat dan Hukum Internasional, Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Kementerian Hukum dan HAM RI, Tudiono, pada Rabu, 14 Oktober 2020 pukul 18.45 waktu Jakarta mewakili Pemerintah Indonesia sebagai Delri membacakan statement pada agenda Kerjasama Internasional, melalui mekanisme ekstradisi, bantuan timbal balik dalam masalah pidana/Mutual Legal Assistance in Criminal Matters (MLA), dan kerjasama internasional lainnya.

Untuk tujuan perampasan aset hasil tindak pidana serta penguatan fungsi Otoritas Pusat. Pertemuan ke-10 Konferensi antar negara pihak United Nation Convention against Transnational Organized Crime (COP UNTOC) diselenggarakan di Wina, Austria dan diikuti secara virtual oleh wakil negara-negara anggota pada konvensi.

Delegasi Kementerian Hukum dan HAM RI sebagai otoritas pusat penanganan kerjasama penegakan hukum MLA dan ekstradisi di Indonesia menyampaikan sejumlah update dan capaian yang telah dilakukan Indonesia dalam kurun waktu 2 (dua) tahun terakhir sebagai bentuk implementasi dari keanggotaan Indonesia dalam konvensi ini.

‘’Indonesia memiliki komitmen yang nyata dalam pemberantasan kejahatan lintas batas negara yang terorganisir melalui kerjasama internasional,” kata Tudiono.

Seperti yang disampaikan oleh Tudiono dalam statement yang dibacakan sebagai perwakilan Delri. Dalam statement yang dibacakan disampaikan pula bahwa komitmen tersebut tercermin dalam kebijakan Indonesia yang menetapkan Undang-Undang yang relevan bahkan sebelum UNTOC diratifikasi pada tahun 2009, serta peran aktifnya dalam kerjasama antar lembaga penegakan hukum serta di tingkat CA to CA.

“Kerangka hukum nasional Indonesia memberikan keleluasaan untuk ekstradisi dan MLA dilakukan atas dasar perjanjian multilateral seperti UNTOC bahkan tanpa adanya perjanjian bilateral”, lanjut Tudiono pada pembacaan statement Delri.

Indonesia, berdasarkan UNTOC, telah memberikan bantuan termasuk salah satunya melakukan bantuan penyitaan aset keluar negeri tanpa dasar perjanjian bilateral. Indonesia kemudian menegaskan bahwa tidak adanya perjanjian bilateral antar negara seharusnya tidak menghambat pemenuhan MLA atau permintaan ekstradisi.

“Sejak COP UNTOC terakhir di tahun 2018, Indonesia telah meratifikasi 3 perjanjian MLA bilateral dan menandatangani perjanjian bilateral dengan Swiss dan Rusia pada tahun 2019,” sambung Tudiono.

Pada statement tersebut Indonesia menggarisbawahi keberhasilan kerja sama MLA ditentukan oleh sejumlah faktor, misalnya dasar hukum kerja sama, interpretasi prinsip hukum, koordinasi antar dua sistem hukum yang berbeda, kemauan politik negara, kapasitas pemerintah pusat dan pihak berwenang serta sebagai sumber daya.

“Penting bagi negara pihak untuk menemukan cara untuk meminimalkan hambatan yang menunda pemberian bantuan dengan memberikan informasi tentang batasan minimum untuk menentukan keterkaitan antara tindak pidana dan aset, dan memungkinkan untuk pembekuan atau pengendalian aset dengan segera, bahkan sebelum dimulainya proses pidana,” tuturnya.

Share.

Comments are closed.