Pertimbangan Wacana Impor Rektor Oleh Sejumlah Pakar

0

Teritorial.com – Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Mohamad Nasir berencana akan mendatangkan rektor dari luar negeri untuk memimpin beberapa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia dengan tujuan meningkatkan rangking PTN. Ia mengaku rencana tersebut telah di laporkan kepada Presiden Jokowi.

Wacana mendatangkan rektor dari luar negeri ini, menurut Nasir, merupakan hal yang lumrah dilakukan oleh universitas-universitas lain di luar negeri. Ia mengatakan beberapa negara di Eropa dan Singapura juga melakukan hal yang sama.

“NTU itu berdiri tahun 1981. Mereka di dalam pengembangan ternyata mereka mengundang rektor dari Amerika dan dosen-dosen beberapa besar. Mereka dari berdiri belum dikenal, sekarang bisa masuk 50 besar dunia,” papar Nasir.

Namun rencana tersebut mengundang kritikan dari sejumlah pengamat pendidikan. Salah satu kritikan tersebut datang dari Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana berpendapat bahwa rencana pemerintah untuk mengimpor rekor merupakan langkah yang salah.

Hikmanto meniali keberadaan rektor asing tak menjamin keberhasilan untuk mendongkrak peringkat PTN di Indonesia tembus 100 besar dunia. “Salah kalau Pak Menteri bahkan Presiden mau naikkan ranking masuk 100 atau 10 besar sekali pun dengan cara mendatangkan rektor dari luar negeri,” ujarnya.

Menurut hematnya dibandingkan dengan mengundang rektor asing seharusnya pemerintah menyusun strategi untuk menarik mahasiswa asing untuk belajar di PTN. Ia menjelaskan bahwa selama ini mahasiswa asing yang belajar di PTN Indonesia cenderung hanya untuk mempelajari studi tertentu seperti bahasa maupun sastra.

“Yang dibutuhkan itu bukan hanya rektor, tapi pelajarnya juga harus hebat, laboratorium yang bagus, perpustakaan yang baik. Itu yang harusnya menjadi concern, bukan sekadar mendatangkan rektor. Dipikir kayak BUMN yang bisa manajemennya dari luar negeri,” ucap Hikmahanto.

Rektor Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta Panut Mulyono juga meminta agar Menristekdikti untuk memikirkan kembali rencana tersebut. Menurutnya tugas rektor di Indonesia lebih kompleks dibanding akademisi di luar negeri.

“Yang harus dipikirkan lagi, perguruan tinggi kita misinya itu tidak hanya mencari reputasi. Didirikannya perguruan tinggi, antara lain adalah bagaimana kita berkontribusi memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi bangsa ini,”ujar Panut.

Sementara itu sala satu pemerhati pendidikan, Nino Aditomo, juga menuliskan kritiknya di laman facebook miliknya. Ia mengaku ragu bahwa strategi mendatangkan rektor dari luar negeri yang dilakukan oleh Singapura juga dapat berhasil diberlakukan di Indonesia. Menurutnya Jika tidak menjadi bagian dari perombakan ekologi pendidikan tinggi secara mendasar, impor dosen dan rektor takkan banyak berdampak positif.

Menurut penjelasnnya, import rektor di Singapura itu diawali dengan Singapura merekrut Bertil Andersen sebagai penasehat pemerintah di bidang riset. Salah satu hal pertama yang dilakukan Andersen adalah mendatangkan profesor dan peneliti-peneliti muda berbakat dari berbagai universitas top dunia.

Namun untuk memberi tempat bagi para profesor dan peneliti asing itu, Andersen memecat banyak dosen lama. Ia tak mau repot berusaha mengubah orang-orang lama tersebut menjadi peneliti kelas dunia. Orang-orang dengan mindset lama adalah hambatan dalam proses menciptakan kultur riset dan sistem yang baru.

Selain itu para profesor dan peneliti dari institusi seperti MIT, Caltech, dan Imperial College mau pindah ke Singapura karena mereka ingin bisa meneliti, dan meneliti dengan sebaik-baiknya. Ia meragukan para profesor dan peneliti tersebut mau datang ke Indonesia dengan segala sistem pendidikan di Indonesia yang masih belum teratur.

Menurutnya ekosistem akademik pendidikan tinggi kita tidak ramah pada penelitian dan pengembangan ilmu. Ia khawatir jika strategi ini terus dilakukan maka profesor dan peneliti yang datang nantinya hanyalah orang-orang yang karirnya sudah tidak dapat berkembang lagi di tempat asalnya.

Share.

Comments are closed.