Setara Institute Sepakat Pasal Penistaan Agama Mengancam Kebebasan Demokrasi

0

Jakarta, Teritorial.Com – Pasal penistaan agama yang kerap kali dianggap sebagai alat untuk menyerang kelompok atau agama minoritas lainnya kembali menjadi topik yang hangat diperbincangkan terutama di kalangan lembaga, think tank, bahkan gerakan sosial serta LSM lainnya.

Erat kaitanya dengan SARA, pasal yang juga disebut dengan istilah “pasal karet” tersebut mulai dianggap meresahkan dikarenakan sering kali berujung dengan tindakan-tindakan yang diskriminatif. Menyikapi hal tersebut, Setara Institute menegaskan bahwa Pasal penistaan agama tidak lain merupakan ancaman terbesar terhadap eksistensi demokrasi di Indonesia.

Dengan menyeroti beberapa kasus yang dianggap sebagai bentuk penodaan dan penistaan agama yang berujung pada perlakuan diskriminatif secara hukum, Setara Institute mencatat sepanjang 1965-2017 terdapat 97 kasus. Bahkan ironinya dalam litbang data yang disampaikan, kasus penistaan agama semakin marak justru pasca era reformasi.

Menjadi pembicaraan dalam diskusi bersama bertajuk “Penodaan Agama Dengan Tafsir Diskriminatif Menyerang Kelompok Rentan” yang digelar di Bakoel Coffee, Cikini Jakarta Pusat, Jum’at (21/9/2018). Peneliti Setara Institute Achmad Fanani Rosyidi, S. Sos, mengkritik bahwa besarnya jumlah kasus tersebut sudah sangat mengkhawatirkan, jika tidak disikapi dengan tepat, Indonesia akan terseret pada fenomena penegakan hukum secara sewenang-wenang dari kelompok mayoritas kepada minoritas.

“Pasal penistaan agama layaknya sebuah pasal karet, pasal yang masih dalam tanda kutip bermakna ganda, karena didalam pasal tersebut tidak disebutkan secara jelas batasan, ketentuan, bahwa bentuk apa saja yang dianggap sebagai perilaku penistaan, penodaan bahkan penghinaan terhadap agama. Ironinya di Indonesia sendiri yang katanya merupakan negara hukum malah sebaliknya, beberapa kasus, kita lihat pasal ini justru menjadi alat untuk menekan kelompok-kelompok minoritas,” tegas Achmad Fanani Rosyidi.

“Selain itu ambiguitas yang masih sangat lekat dari pasal tersebut, Celah yang sangat mudah untuk disusupi kepentingan politis, bahkan secara terang-terang mengesampingkan aspek-aspek kemanusiaan. Terjadi belakangan ini seperti kasus Ahok, kita bisa lihat bagaimana pasal penistaan agama ini menjadi bulan-bulan massa penekanan yang mungkin pada saat itu tujuannya sangat politis lantaran terkait dengan Pilkada DKI,” tambahnya.

Tidak hanya mengambil contoh kasus yang menimpa di kalangan atas, perwakilan peneliti Setara Institute beserta sejumlah LSM lainnya seperti Komunitas Perempuan Indonesia, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), bersama Human Rights Working Group (HRWG) juga mengangkat kasus kasus terdakwa Meliana 44 tahun yang dipidanakan selama 18 bulan masa tahanan lantaran melakukan protes kepada pengurus masjid disekitar rumahnya karena volume speaker masjid yang terlalu besar saat melantunkan suara Adzan.

Meliana sendiri merupakan WNI keterunan Tionghoa beragama Budha yang tinggal di Tanjung Balai. Ibu Rumah Tangga tersebut akhirnya di dakwah lantaran menyampaikan keluhan kepada pihak pengurus masjid agar segera mengurangi volume pengeras suara saat mengumandangkan Adzan. Tidak hanya menjadi terdakwa, Meliana dikabarkan mendapatkan intimidasi, diskriminasi serta pertentangan dari warga sekitar.

Berdasarkan contoh kasus tersebut, Setara Institute tengah melakukan upaya serius untuk mendesak pemerintah serta institusi dan lembaga hukum lainnya untuk bagaimana caranya menghadirkan solusi terbaik agar tidak lagi ada korban terdakwa dari kasus penistaan agama. Baginya hal tersebut menjadi prasarana pembenaran terhadap sikap subjektifitas yang merugikan bagi segelintir golongan minoritas tertentu, dan hampir jarang sekali kasus serupa menyasar pada kaum mayoritas dimana mereka sebenarnya juga tidak lepas dari aksi-aksi semacamnya.

“Kita sama-sama menyadari akan alasan politis dibalik kasus penistaan agama tersebut, jika berlaku adil maka yang seharusnya menjadi terdakwa bukan saja siapa yang dianggap telah melakukan penistaan agama saja, namun juga kepada siapa aktor dibalik propaganda yang pastinya berkepentingan terhadap isu-isu berbau SARA tersebut,” tuturnya.

Dalam dialog bersama tersebut, hadir diantaranya Sekjen Komunitas Perempuan Indonesia (KPI) Dian Kartikasari, Direktur Eksekutif ICJR, Anggara, Peneliti Human Rights Working Group (HRWG) M. Syamsul Muarif.

Share.

Comments are closed.