Tiga Masalah Batas Wilayah RI-Malaysia versi TNI

0

JAKARTA, Teritorial.com – Direktur Topografi Angkatan Darat Brigjen Asep Edi Rosidin mengingatkan pemerintah Indonesia dan Malaysia agar tidak berlarut-larut dalam menyelesaikan negosiasi batas negara. Peringatan ia berikan karena negosiasi yang tak segera diselesaikan bisa memicu masalah.

Perkiraannya, ada tiga masalah yang bisa muncul dari negosiasi yang tak kunjung kelar tersebut. Pertama, konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia.

“Kepastian hukum batas negara juga tidak ada. Ujung- ujungnya kalau nanti intensitas ketegangan semakin meningkat tidak menutup kemungkinan akan terjadi yang lebih parah lagi, seperti yang dulu, konfrontasi dan lain lain, terjadinya perang antar negara bertetangga, ” kata Asep saat konferensi pers di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (16/11).

Kedua, urusan sengketa bisa dibawa ke Mahkamah Internasional. Sebagai informasi, Indonesia pernah kalah dalam sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan pada 2002 di jalur Mahkamah Internasional.

“Kalau tidak selesai penyelesaian akan dibawa ke Mahkamah Internasional, di mana kalau di situ keputusan bukan di tangan kita tapi di tangan mereka (Mahkamah Internasional). Itu tidak bagus,” katanya.

Ketiga, hambatan pembangunan di wilayah batas negara.

“Kalau dibiarkan tidak selesai berlarut-larut itu akan menimbulkan ketegangan. Di situ akan menimbulkan persaingan tidak sehat. kemudian pembangunan akan terkendala,” kata Asep.

Lebih lanjut ia mengatakan saat ini pemerintah Indonesia dan Malaysia secara intensif melakukan Joint Working Group (JWG) untuk membahas masalah perbatasan tersebut.

“Jadi masalah telah didiskusikan selama 10 kali. Dengan diskusi intensif itu kesepakatan itu bisa dirasionalisasi dan batas bisa didefinisikan yang disepakati oleh kedua belah pihak,” kata Asep.

Asep mengatakan saat ini Indonesia dan Malaysia telah memiliki pemahaman yang sama soal batas negara. Pemahaman mengacu pada peta perbatasan yang telah disepakati sejak zaman penjajahan Belanda-Inggris, konvensi 1891, perjanjian 1915, dan perjanjian 1928.

“Sekarang dianalisis dan kita akhirnya logikanya sama dan akhirnya sepakat. Dulu belum ada kesepakatan karena belum 100 persen dengan kesepakatan Inggris dan Belanda,” katanya.

Share.

Comments are closed.