Dari Kontroversi Hingga Terdepan dalam Bantu Korban Bencana, Inilah Sepak Terjang FPI

0

JAKARTA, Teritorial.com – Pemerintah resmi menghentikan kegiatan dan membubarkan organisasi masyarakat (ormas) Front Pembela Islam (FPI).

Dikutip dari beberapa sumber, seperti apakah sepak terjang FPI selama ini?

FPI adalah adalah sebuah organisasi massa Indonesia yang mengusung pandangan Islamisme konservatif. FPI memiliki basis massa yang signifikan dan menjadi motor di balik beberapa aksi pergerakan Islam di Indonesia, seperti Aksi 2 Desember pada 2016 atau yang dikenal Aksi 212.

Sebagaimana dicatat oleh sejarawan Merle Calvin Ricklefs dalam buku ‘Sejarah Indonesia Modern 1200-2008’, FPI berdiri pada 17 Agustus 1998 atau empat bulan setelah lengsernya Presiden Soeharto. Dideklarasikan oleh sejumlah habaib, ulama, mubaligh, dan aktivitas muslim yang disaksikan para santri se-Jabodetabek, FPI memiliki tujuan untuk menegakkan hukum di negara sekuler. Pada awal kemunculannya, FPI menjadi penentang utama Amerika Serikat (AS) yang ketika itu mulai menginvasi Afganistan.

Organisasi ini dibentuk dengan tujuan menjadi wadah kerja sama antara ulama dan umat dalam menegakkan Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar di setiap aspek kehidupan. Adapun yang melatarbelakangi pendirian FPI yaitu adanya penderitaan panjang ummat Islam di Indonesia karena lemahnya kontrol sosial penguasa sipil maupun militer akibat banyaknya pelanggaran HAM yang dilakukan oleh oknum penguasa. Kemudian adanya kemungkaran dan kemaksiatan yang semakin merajalela di seluruh sektor kehidupan. Serta adanya kewajiban untuk menjaga dan mempertahankan harkat dan martabat Islam serta umat Islam.

Ricklefs mencatat, sejak mulai berdiri, FPI sudah dipimpin langsung oleh Muhammad Rizieq Shihab (MRS). FPI menjadi sangat terkenal karena aksi-aksinya yang dinilai kontroversial. Mulai pada penyerbuan dan perusakan ‘tempat-tempat maksiat’, seperti bar, tempat pijat, diskotek, hingga tempat perjudian. Selain itu, FPI disebut kerap menyerang kelompok religius lain yang tidak sejalan dengan pemahaman Habib Rizieq, salah satunya kelompok Ahmadiyah.

Ketua Muhammadiyah saat itu, Ahmad Syafii Maarif, lantas menjuluki FPI sebagai ‘Preman Berjubah’ karena tindakan barbar tersebut.

Selanjutnya, FPI juga pernah menuai kontroversi pada 2003 karena kasus sweeping tempat maksiat. Kasus ini bermula ketika sweeping FPI di tempat hiburan malam. Habib Rizieq menuding ada pejabat yang melindungi para pengusaha tempat hiburan malam itu. Imbasnya, Habib Rizieq harus mendekam dipenjara setelah dijerat dengan Pasal 154 dan 160 KUHP.

Tak hanya itu, FPI juga bersengketa dengan Presiden RI 1999-2001, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada 2005. Gus Dur ketika itu menjadi pembela Ahmadiyah yang jadi bulan-bulanan FPI. Bahkan Gus Dur tak segan-segan menyebut FPI sebagai ‘organisasi bajingan’.

FPI lagi-lagi menuai kontroversi. FPI bentrok dengan Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) pada 1 Juni 2008. Habib Rizieq kembali menjadi tersangka.

Kasus ini terus bergulir. Majelis hakim memvonis Habib Rizieq dengan hukuman 1 tahun 6 bulan penjara. Habib terbukti bersalah telah melakukan perbuatan penghasutan.

FPI juga pernah bersengketa sengit dengan Basuki Tjahja Purnama (Ahok), yang saat itu menjadi Gubernur DKI Jakarta pada 2014.

Pada 2002, FPI menuntut agar syariat Islam dimasukkan pada pasal 29 UUD 45 yang berbunyi, “Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dengan menambahkan “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” seperti yang tertera pada butir pertama dari Piagam Jakarta yang dirumuskan pada tanggal 22 Juni 1945 ke dalam amendemen UUD 1945 yang sedang di bahas di MPR sambil membawa spanduk bertuliskan “Syariat Islam atau Disintegrasi Bangsa”.

Namun Anggota Dewan Penasihat Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) Dr. J. Soedjati Djiwandono berpendapat bahwa dimasukkannya tujuh kata Piagam Jakarta ke dalam UUD 1945 yang diamendemen, justru dikhawatirkan akan memecah belah kesatuan bangsa dan negara, mengingat karekteristik bangsa yang majemuk.

Pembentukan organisasi yang memperjuangkan syariat Islam dan bukan Pancasila inilah yang kemudian menjadi wacana pemerintah Indonesia untuk membubarkan ormas Islam yang bermasalah.

Selain aksi kontroversial yang dilakukan, FPI juga melibatkan diri dalam aksi-aksi kemanusiaan antara lain pengiriman relawan ke daerah bencana tsunami di Aceh, bantuan relawan dan logistik saat bencana gempa di Padang dan beberapa aktivitas kemanusiaan lainnya.

Bahkan saat bencana Tsunami di Palu, 2018 lalu, FPI menjadi garda terdepan bersama TNI dan Basarnas dalam mengevakuasi korban bencana yang menewaskan ribuan nyawa tersebut.

Bahkan wartawan Stephen Wright menulis dedikasi FPI tersebut dalam artikel berjudul “When Disaster Hits, Indonesia’s Islamists are First to Help” yang diunggah di The Washington Post yang diunggah pada 11 Juni 2019 lalu.

Dia mengawali tulisan itu dengan menceritakan bendera FPI yang terpasang dirumah Anwar Ragaua, korban tsunami Palu lalu. Laki berusia 50 tahun itu menghiraukan perintahg polisi untuk menurunkan bendera tersebut.

Anwar adalah satu-satunya nelayan yang selamat saat tsunami melanda ibukota Sulawesi Tengah 28 September lalu. Anwar mengenang bahwa saat itu tidak ada polisi dan pemerintah yang membantu evakuasi di daerahnya.

Sebaliknya, pihak pertama yang menawarkan harapan kepadanya adalah FPI. Bahkan FPI turut menyerahkan kapal baru untuknya kembali melaut.

Wright menguraikan sejak didirikan dua dekade lalu, FPI konsisten mendorong hukum Islam untuk mengatur kehidupan 230 juta muslim Indonesia. FPI memandang ada kesalahan konstitusi di Indonesia yang mengubah negara menjadi lebih sekuler.

Share.

Comments are closed.