Kenang Perjuangan Dua Pahlawan Wanita yang Namanya Akrab Didengar, Namun Belum Banyak Orang Tau

0

Jakarta, Teritorial.Com – Peringati hari pahlawan 10 November serentak dirayakah diseluruh wilayah Indonesia. Berbagai perhelatan digelar mulai dari upacara bendara Marah Putih, Selametan bagi yang tradisi adat jawa, sungkeman, hingga berziarah ke Taman Makam Pahlawan Nasional. Namun ada dua sosok pahlawan yang namanya banyak terpampang. Tapi tidak semua orang tahu siapa mereka.

Rasuna Said.

Rasuna Said diabadikan menjadi salah satu jalan utama di Jakarta. Sejumlah kantor dan hunian di Ibu Kota pun memakai namanya. Namun, siapakah Rasuna Said? Rasuna Said adalah seorang perempuan bangsawan Sumatera Barat berpredikat rangkayo. Nama lengkapnya, Hajjah Rangkayo Rasuna Said. Sebagaimana dipaparkan dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jajang Jahroni, melalui tulisan berjudul “Haji Rangkayo Rasuna Said: Pejuang Politik dan Penulis Pergerakan” dalam buku Ulama Perempuan Indonesia (2002), Rasuna Said lahir pada 14 September 1910 di Desa Panyinggahan, Maninjau, Agam, Sumatera Barat.

Ayah Rasuna, Muhammad Said, adalah seorang aktivis pergerakan dan cukup terpandang di kalangan masyarakat Minang. Karena berasal dari keluarga bangsawan yang memperhatikan pendidikan, Rasuna disekolahkan. Namun, berbeda dengan saudara-saudaranya yang mengenyam pendidikan di sekolah umum yang didirikan Belanda, Rasuna memilih sekolah agama Islam. Selepas sekolah dasar, dia belajar di pesantren Ar-Rasyidiyah dan menjadi satu-satunya santri perempuan.

Dari pesantren Ar-Rasyidiyah, Rasuna Said pindah ke Padang Panjang untuk bersekolah di Madrasah Diniyah Putri yang dikelola tokoh emansipasi perempuan Sumbar, Rahmah El Yunusiyah. Pemikiran Rasuna mengenai kemerdekaan mulai dibentuk sejak dia bergabung dengan Sekolah Thawalib di Maninjau. Sekolah Thawalib sendiri didirikan oleh gerakan Sumatra Thawalib yang dipengaruhi oleh pemikiran Mustafa Kemal Ataturk, tokoh nasionalis-Islam dari Turki. Dalam catatannya, Jajang Jahroni menulis betapa Rasuna terinspirasi oleh pidato-pidato gurunya, H Udin Rahmani, seorang tokoh pergerakan kaum muda di Maninjau dan anggota Sarekat Islam. “Ia tumbuh menjadi seorang pribadi yang progresif, radikal, dan pantang menyerah,” tulis Jajang.

Di sekolah itu pula, Rasuna wajib mengikuti latihan pidato dan debat. “pidato-pidato Rasuna kadang-kadang laksana petir di siang hari,” tulis A Hasymi dalam buku Semangat Merdeka, 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan dan Perjuangan Kemerdekaan (1985) seperti dikutip Jajang Jahroni. Pada 1926, di usia yang belia, 16 tahun, Rasuna Said memutuskan berkecimpung di ranah politik dengan menjadi sekretaris organisasi Sarekat Rakyat (SR) cabang Sumatera Barat. Tokoh sentral organisasi ini adalah Tan Malaka.

Empat tahun kemudian, Rasuna Said, yang juga tergabung dalam organisasi Sumatra Thawalib, turut merintis pendirian PERMI (Persatuan Muslimin Indonesia). Pada 1932, PERMI resmi menjadi partai politik yang berlandaskan Islam dan kebangsaan. Di PERMI, Rasuna bertugas di bagian seksi propaganda. Dia juga berperan mendirikan sekolah, tempat kader-kader muda partai diajar keterampilan membaca dan menulis. Dalam aktivitasnya sebagai propagandis, Rasuna kerap berorasi di hadapan publik yang mengkritik pemerintah kolonial Belanda. Dalam catatan Jajang Jahroni, Rasuna mengecam cara Belanda memperbodoh dan memiskinkan bangsa Indonesia. “Karena keberaniannya mengkritik pemerintah Belanda, ia dijuluki ‘singa betina’,” sebut Jajang Jahroni dalam “Haji Rangkayo Rasuna Said: Pejuang Politik dan Penulis Pergerakan” yang dimuat buku Ulama Perempuan Indonesia (2002).

Tak jarang di tengah pidatonya, Rasuna dipaksa berhenti dan diturunkan dari podium oleh aparat pemerintah kolonial Belanda yang khusus mengawasi kegiatan politik (PID). Puncaknya terjadi ketika Rapat Umum PERMI di Payakumbuh pada 1932. Saat Rasuna berpidato, datang aparat yang memaksanya berhenti. Ia pun ditangkap, diajukan ke pengadilan kolonial, kemudian dipenjara selama satu tahun dan dua bulan dengan dakwaan ujaran kebencian. Karena ruang gerak PERMI di Minangkabau semakin dipersempit, Rasuna hijrah ke Medan. Di sana dia mulai kiprahnya di dunia jurnalistik bersama sejumlah majalah, termasuk Suntiang Nagari, Raya, dan Menara Poeteri.

Di Medan pula, Rasuna mendirikan lembaga pendidikan khusus untuk kaum perempuan. Sebagaimana dipaparkan Jajang Jahroni, para murid di sekolah itu diajarkan betapa pentingnya peranan kaum perempuan dalam proses perjuangan untuk mencapai kemerdekaan. Lebih lanjut, perempuan punya hak setara dengan pria di bidang pendidikan, ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Selama era penjajahan Jepang sejak 1942, Rasuna Said terus berkiprah. Ia turut menggagas berdirinya perkumpulan Nippon Raya yang sebenarnya bertujuan untuk membentuk kader-kader perjuangan.

Atas tindakannya ini, dia dituduh menghasut rakyat. Kepada seorang pembesar Jepang, berdasarkan literatur yang ditemukan Jajang Jahroni, Rasuna mengatakan “Boleh Tuan menyebut Asia Raya karena Tuan menang perang. tetapi Indonesia Raya pasti ada di sini,” kata Rasuna sambil menunjuk dadanya sendiri. Setelah Jepang angkat kaki dan Indonesia merdeka, Rasuna bergabung dengan Badan Penerangan Pemuda Indonesia, kemudian menjadi anggota Komite Nasional Indonesia mewakili Sumatera Barat.

Gusti Asnan, sejarawan Universitas Andalas, mengatakan peran dan pengaruh Rasuna Said di Sumatera Barat era 1950-an memudar. “Karena mungkin dia dicap pro-pusat. Rasuna dikenal dekat dengan Presiden Soekarno dan penentang PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia),” kata Gusti kepada wartawan BBC News Indonesia, Jerome Wirawan.

Meski demikian, sosok Rasuna Said tidak kehilangan suara kritisnya. Gusti Asnan mencatat pada 1953, dua tahun sebelum pemilihan umum 1955, Rasuna Said menekankan bahwa sentimen kedaerahan tidak bisa serta-merta dihilangkan. “Perasaan provinsialisme yang sudah berabad-abad tumbuhnya, tidak mungkin dalam sedikit waktu bisa hilang dari jiwa!…Buat saya sendiri tidak menjadi soal, bahwa perasaan kedaerahan itu masih ada, ini sewajarnya saja (natuurlijk).”

“Yang menjadi soal sekarang ialah: bagaimana akalnya buat memakai perasaan ini untuk menjadi kawan – di sini terletak kunstnya – sehingga dapat dipergunakan untuk melaksanakan SATU INDONESIA,” cetus Rasuna dalam pidatonya di parlemen pada 1953.

Bagaimanapun, kedekatan Rasuna Said dengan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta membuatnya bertahan di pusaran politik Jakarta. Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil Petite Histoire Indonesia Volume 1 (2004) mengungkapkan, Rasuna Said juga masuk keanggotaan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) di Jakarta, lalu menjadi anggota parlemen, atau Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat. Jabatan politik terakhir yang diembannya adalah anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Pada 10 November 1965, setelah berjuang melawan penyakit kanker, Rasuna Said meninggal dunia pada usia 55 tahun.

Martha Christina Tiahahu

Di kawasan Blok M, Jakarta Selatan, terdapat sebuah taman tempat warga Ibu Kota sejenak melepas penat. Taman itu bernama Martha Tiahahu. Sejarah soal pejuang perempuan asal Maluku tersebut jarang diketahui. Literatur mengenai sosoknya pun terbilang langka. Salah satu sumber yang kerap menjadi rujukan adalah buku berjudul Martha Christina Tiahahu yang disusun L.J.H. Zacharias terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada 1984. Martha diperkirakan lahir pada 4 Januari 1800 di Nusa Laut, sebuah pulau berjarak sekitar 70 kilometer dari Kota Ambon, Maluku. Ayahnya adalah Kapiten Paulus Tiahahu, orang terpandang di Nusa Laut.

Martha tumbuh besar di tengah perubahan situasi politik di Maluku. Belanda, yang kekuasaannya di Maluku sempat digantikan Inggris antara 1810-1816, kembali berkuasa sesuai hasil Traktat London. Berdasarkan penelitian literatur Humaidi, selaku dosen program studi Pendidikan Sejarah dari Universitas Negeri Jakarta, berkuasanya Belanda menimbulkan ketidakpuasan rakyat Maluku karena rakyat dipaksa menanam cengkih dan pala, pohon-pohon ditebang, dan para pemuda dipaksa masuk dinas kemiliteran.

Ketidakpuasan membuat seorang pria bernama Thomas Matulessy dan kawan-kawannya mengadakan rapat pada 3 Mei 1816 dengan kesimpulan memulai gerakan perlawanan. Setelah mengobarkan semangat perlawanan, pada 14 Mei 1817 diadakan pertemuan untuk memilih pemimpin perjuangan. Kapiten Paulus Tiahahu dan kapiten-kapiten di sekitar Saparua lantas memercayakan komando kepada Kapiten Pattimura. “Thomas Matulessy alias Pattimura adalah bekas sersan Mayor dari tentara milisi Inggeris,” tulis Mattijs Sapija dalam Sedjarah Perdjuangan Pattimura: Pahlawan Indonesia (1960: 201).

Tapi, berdasarkan catatan literatur, dalam pertemuan itu Kapiten Paulus Tiahahu juga meluluskan keinginan putrinya untuk ikut serta bergabung dengan pasukan perjuangan Pattimura. Bahkan, Paulus mengajukan permintaan khusus kepada Pattimura: “Saya akan turut serta dalam gerakan perlawanan terhadap Belanda. Hanya ada satu permintaan, yaitu ijinkan anak saya Martha Christina ikut mendampingi saya dalam medan pertempuran. Ia telah memohon dengan sangat agar diperkenankan memanggul senjata saya dan terus mendampingi saya,” kata Paulus sebagaimana dicantumkan dalam buku yang disusun L.J.H. Zacharias.

Thomas Matulessy mengizinkan Martha ikut berjuang. Sejak saat itu, pada usia 17 tahun, Martha Christina Tiahahu mulai bergabung dalam gerakan perlawanan. Humaidi, dosen program studi Pendidikan Sejarah dari Universitas Negeri Jakarta, menilai itulah tonggak sejarah dalam perjuangan rakyat Maluku melawan penjajah Belanda. “Bayangkan, seorang remaja perempuan di dalam masyarakat patriarkat, turut bertempur. Itu tidak hanya menunjukkan kegigihan Martha Christina, tapi juga semangat rakyat Maluku yang mengerahkan segala kemampuan untuk berjuang. Tidak lagi pandang gender dan agama,” kata Humaidi, sekaligus merujuk beberapa teman seperjuangan Pattimura yang beragama Islam dan Kristen.

Perlawanan Martha Christina dan beragam elemen pasukan yang dikomandoi Pattimura berhasil. Benteng Duurstede jatuh ke tangan pasukan Pattimura pada 17 Mei 1817. Akan tetapi, Belanda melawan balik. Beberapa bulan kemudian, Belanda menangkap Pattimura dan melancarkan serangan umum. Martha memimpin pasukan tempur perempuan dengan ikat kepala melingkar. “Dalam suasana pertempuran bukan saja ia telah menolong memikul senjata ayahnya, tetapi juga telah ikut serta dengan pemimpin perang mengadakan tarian perang dan telah memperlihatkan kecakapan, keberanian dan kewibawaannya,” ujar perwira Belanda Verheul yang dikutip L.J.H Zacharias dalam bukunya.

Beberapa kapiten ditangkap, termasuk Paulus Tiahahu dan anaknya Martha. Dalam pemeriksaan pada 15 November 1817, Paulus dijatuhi hukuman mati. 17 November, Paulus Tiahahu dieksekusi hukuman mati di Nusa Laut. Adapun Martha Christina, karena umurnya dianggap masih muda, tidak dijatuhi hukuman mati. Martha berusaha membujuk para pejabat Belanda agar dirinya menggantikan ayahnya dalam menjalani hukuman. Akhir Desember 1817, kapal Eversten mengangkut Martha Christina ke Pulau Jawa untuk diperkerjakan secara paksa di perkebunan kopi. Dia mogok makan, mogok pengobatan dan menolak berkomunikasi. Kesehatannya memburuk dan wafat pada 2 Januari 1818 dalam perjalanan ke Jawa, tepatnya di antara Pulau Buru dan Manippa. Jasadnya dibuang di Laut Banda. Surat Keputusan Presiden RI Nomor 012/TK/Tahun 1969 tanggal 20 Mei 1969, Martha Christina Tiahahu secara resmi diakui sebagai pahlawan nasional.

Share.

Comments are closed.