Jejak Peranakan Arab dalam Sejarah Kemerdekaan Indonesia

0

Jakarta, Teritorial.Com – Beberapa hari terakhir ruang publik diramaikan oleh pernyataan kontroversial dari mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), AM Hendropriyono tentang orang–orang keturunan Arab. Dalam pernyataannya yang dilontarkan di kantor Lemhanas Jakarta, Senin (6/5) itu, Hendropriyono menyebut keturunan Arab agar tidak menjadi provokator. Ucapan itu disebut rasis dan mengadu domba, mengingat peran warga keturunan Arab untuk kemerdekaan Indonesia tidak bisa dipandang sebelah mata.

Sebagaimana dikutip dari nusantara.news, menurut sejarawan Alwi Sahab, banyak masyarakat salah persepsi tentang kedatangan orang Arab ke Nusantara. Pemerintah kolonial Belanda menyebutkan para imigran dari Hadramaut (Yaman Selatan) datang ke Indonesia pada abad ke-19. Lalu para orientalis, seperti Snock Hurgronye, menyatakan Islam masuk ke Indonesia bukan dari Arab, tapi Gujarat (India). Tujuannya adalah untuk menghilangkan pengaruh Arab di Indonesia, yang di mata Belanda sangat berbahaya bagi kelangsungan hidupnya di tanah jajahan.

Pendapat tersebut telah dibantah dalam seminar “Sejarah Masuknya Islam di Indonesia” yang berlangsung di Medan (1973). Seminar yang dihadiri para sejarawan dan pemuka agama ini menegaskan Islam telah berangsur datang ke Indonesia sejak abad pertama hijriah (abad ketujuh Masehi) dibawa oleh para saudagar Islam yang berasal dari Arab, diikuti oleh orang Persia dan Gujarat.

Ketika kolonial Belanda membagi tiga strata masyarakat di nusantara, yakni (1) Kulit Putih: Eropa, Amerika, dll; (2) Timur Asing: Cina, Jepang, India, Arab; (3) Pribumi Indonesia, orang Eropa menyebut kaum pribumi dengan istilah inlander (bangsa kuli). Namun tidak dengan orang keturunan Arab, mereka menyebut pribumi dengan istilah ahwal, yang artinya saudara ibu. Sebab memang seluruh keturunan Arab pasti ibunya dari pribumu. Hal ini tak lepas saat orang-orang Arab yang datang ke Nusantara seluruhnya laki-laki dan menikahi wanita pribumi.

Jika ditilik sejarah Indonesia, peran orang-orang keturunan Arab memang sudah ada sejak zaman kerajaan hingga Walisongo. Kesultanan Cirebon, Kesultanan Banten, Kesultanan Demak, Kesultanan Siak, Kesultanan Pontianak, pernah dipimpin oleh orang-orang keturunan Arab. Di era pergerakan, sejumlah tokoh dan lembaga yang didirikan oleh peranakan Arab, turut memberi saham bagi kemerdekaan Indonesia.

Nasionalisme Peranakan Arab

Kiprah peranakan Arab dalam revolusi Indonesia juga tidak bisa dianggap enteng. Sebut saja Raden Saleh (dari keluarga Bin Yahya) yang bernama lengkap Raden Saleh Syarief Bustaman merupakan bapak seni lukis modern Indonesia. Pelukis yang namanya dikenal di dunia internasional ini telah menyediakan kediamannya (kini TIM) sebagai kebon binatang sebelum pindah ke Ragunan dan membangun sebuah masjid di Jalan Raden Saleh yang hingga kini masih berdiri.

Raden Saleh, yang merupakan anak didik Belanda, pada akhir hayatnya pernah ditangkap dan dituduh membela kelompok Muslim radikal yang memberontak di Bekasi. Belanda selalu menyebut kelompok yang melakukan perlawanan terhadap penjajah sebagai radikal dan Islam fundamentalis. Seperti yang dilakukan sekarang ini oleh AS dan sekutu-sekutunya terhadapat para pejuang Islam yang tidak mau tunduk padanya.

Sebelum Boedi Oetomo berdiri (1908), pada 1901 berdiri organisasi Islam modern pertama di Indonesia, Jamiatul Khair. Pendirinya antara lain Sayed Ali bin Ahmad Shahab, kelahiran Pekojan. Berdirinya Jamiatul Khair mendapat simpati dari tokoh-tokoh nasional seperti HOS Tjokroaminoto (Sarikat Islam) dan KH Ahmad Dahlan(Muhammadiyah). Sayed Ali, bersama sejumlah pemuka keturunan Arab, pernah mengirimkan para pemuda ke Turki, termasuk putranya, Abdul Muthalib Chehab. Di Turki mereka mendapatkan pendidikan militer dengan harapan sekembalinya ke Indonesia dapat turut memimpin perjuangan melawan Belanda.

Beberapa orang Arab juga telah mengumpulkan dana sebagai modal pada Tirtoadisuryo untuk mendirikan majalah dagang Medan Prijai di Bandung yang akhirnya mendirikan Sarikat Dagang Islam (SDI) di Jakarta dan Bogor (1911), sebelum yang bersangkutan diundang Samanhudi agar bergabung dengan SDI di Solo (1912). Tampilnya Persatoean Arab Indonesia (PAI) pimpinan AR Baswedan (kakek dari Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan) dalam arena pergerakan perjuangan kemerdekaan juga cukup mengejutkan. Sebab, PAI mencita-citakan Indonesia sebagai tanah air keturunan Arab. Sumpah Pemuda Indonesia keturunan Arab ini diikrarkan secara luas pada tahun 1934. A.R Baswedan dan H. Agus Salim menyaksikan penandatanganan pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh Perdana Menteri Mesir, Nokrashi Pasha, Juni 1947

Kemudian lewat pertunjukan drama, Ali Bakatsir, sastrawan nasionalis peranakan Arab, menyuarakan Indonesia merdeka dan menggalakkan perjuangan diplomasi Indonesia di jazirah Arab. Kala itu dia adalah aktivis mahasiswa Indonesia di Mesir yang tergabung dalam Panitia Pembela Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Tak sampai di situ, kiprah peranakan Arab juga tercatat ketika berita propaganda kemerdekaan Indonesia tersiar hingga ke mancanegara. Salah satunya, berkat jasa kantor berita Arabian Press Board (APB). Berita-berita itu diteruskan dalam konferensi Liga Arab. Walhasil, negara-negara Islam di Timur Tengah bersimpati dan memberikan dukungannya. Sejarah mencatat, Mesir adalah negara pertama yang di kemudian hari mengakui proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Dari beberapa kantor berita yang beroperasi di masa revolusi, APB memang menjadi media pro-Republik yang paling leluasa bergerak di mancanegara. Kantor berita Antara jangkauannya hanya terbatas di dalam negeri. Kantor berita Domei masih dikontrol oleh Jepang. Reuters berpihak kepada Sekutu. Sementara APB memiliki hubungan dengan jaringan ulama para imigran ke Indonesia dalam rangka berdakwah dan berdagang.

Siapakah sosok penting di balik aktifitas APB menyebar berita proklamasi di luar negeri? Dia adalah Mohammad Asad Shahab. Dia mendirikan kantor berita Arabian Press Board pada 2 September 1945. Kata Arab dibubuhkan guna mengelabui Belanda yang berupaya menekan atau membubarkan setiap gerakan berbau Indonesia. Kantor berita APB terletak di Jalan Gang Tengah No. 19 yang kini dikenal sebagai kawasan Salemba. Berita yang diterbitkan APB berupa buletin harian yang diterjemahkan ke dalam tiga bahasa: Indonesia, Arab, dan Inggris.

Lainnya, yang mungkin tidak banyak diketahui adalah Rumah Pegangsaan Timur 56 Cikini yang menjadi saksi sejarah teks proklamasi dibacakan merupakan milik saudagar kaya peranakan Arab bernama Faradj Said Martak. Rumah tersebut kemudian dihibahkan oleh paman dari Ketua GNPF Muhammad Yusuf Martak itu kepada negara. Kisah turut merawat Bung Karno saat sakit malaria dan kelelahan sehari sebelum pembacaan teks proklamasi, juga menjadi bagian tak terpisahkan dari Faradj Said Martak dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Ada pula Sultan Abdul Hamid II atau Syarief Abdul Hamid Al Kadrie yang merupakan perancang dan pencipta lambang negara Burung Garuda Pancasila. Tentu masih banyak lagi peranakan Arab yang tidak hanya mengalir ‘darah Indonesia’ di tubuhnya, tetapi juga mengorbankan nyawanya untuk ibu pertiwi.

Penulis: Zainal C Airlangga Pengamat Sejarah Universitas Indonesia

 

Share.

Comments are closed.