Kepentingan Jepang dalam Persengketaan Laut Cina Selatan

0

Jepang sebagai salah satu negara great powers di Kawasan Asia Pasifik merupakan salah satu negara yang berpotensi dalam melibatkan diri lebih jauh dalam persengketaan di Laut Cina Selatan. Salah satu dalih utamanya adalah freedom of navigation dimana Jepang sebagai salah satu pengguna setia Jalur Laut Cina Selatan dan beberapa kali telah melakukan laithan bersama dan patroli maritim dengan negara-negara Asia Tenggara.

Kepentingan Jepang di Laut Cina Selatan dimulai pada tahun 1920an, dimana kepentingan Jepang berawal dari bisnis swasta pada eksploitasi guano (pupuk) di area Spratly yang kemudian berakhir pada kepentingan klaim kedaulatan pada keseluruhan wilayah Spratly (setelah okupasi di Hainan pada Februari 1939) (Stein, 2016). Pihak Jepang mengakui bahwa semenjak tahun 1942 hingga awal tahun 1945, Laut Cina Selatan merupakan bagian dari Jepang. Namun, mengacu pada San Francisco Peace Treaty tahun 1951, Jepang menarik klaim tersebut yang ditegaskan pada pasal 2 (f) “Japan renounces all right, title, and claim to the Spratly Islands and to the Paracel Islands”. Menariknya perjanjian (treaty) tersebut tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai kepada siapa kepemilikan kedua pulau tersebut yang hingga sekarang telah membuat Jepang tidak terikat pada klaim teritorial dan berbagai persengketaan (Kimie, 2013).

Setelah Perang Pasifik, Jepang menginisiasi untuk kembali bermain di Kawasan secara ekonomi melalui keberhasilan perjanjian-perjanjian (treaties) reparasi  dengan beberapa negara Asia Tenggara yang menuntun pada fokus kerjasama pengelolaan bahan baku dan energi, lalu diikuti dengan pembangunan manufaktur kompleks yang menciptakan jaringan ekonomi Jepang di Asia Pasifik. Selain ekonomi, kepentingan keamanan Jepang juga terus melebar hingga di Laut Cina Selatan, gestur awal terlihat pada perhatiannya mengenai stabilitas ASEAN semenjak tahun 1970an (Perang Vietnam). Bagi Jepang, stabilitas anggota ASEAN telah menjadi hal yang vital untuk geostrategi dan perdagangannya. Berdasarkan Department of Energy AS, sekitar 85%-90% dari minyak impor dam 33% dari LNG impor milik Jepang (yang kebanykan dari Teluk Persia) melalui Laut Cina Selatan. Jalur sebaliknya, kapal-kalpal industri dan bisnis Jepang menjadikan Laut Cina Selatan sebagai jalur utama untuk mengekspor industri manufakturnya ke negara lain, khususnya Asia Tenggara. Selain itu, kapal perang Jepang juga kerap kali melewati Laut Cina Selatan dan berhenti di Singapura untuk menjalankan opearasi anti-pembajakan di Laut Timur (Mikkal, 2016).

Terkait keterlibatan Jepang di Laut Cina Selatan dewasa ini, untuk memahami kebijakannya perlu diperhatikan posisi Jepang sebagi negara mitra dengan AS dan memiliki isu teritorial yang sensitif dengan Tiongkok mengenai Laut Cina Timur. Adapun kebijakan Jepang terlihat sebagai bagian dari rivalitas Tiongkok-Jepang baik dari aspek politik, ekonomi, maupun militer. Tujuannya adalah membentuk regionalisme politik dan ekonomi untuk melindungi freedom of navigation. Sudah sangat jelas, Perdana Menteri Abe yang mencanangkan kebijakan baru; “proactive peace diplomacy” sebagai arah diplomasi Jepang terinspirasi dari narasi Tiongkok sebagai tantangan dan kompetitor dalam sektor keamanan.

Secara ekonomi, dapat dipahami dari banyaknya perusahaan-perusahaan Jepang memiliki kepentingan dalam sumber daya hydrocarbon di Laut Cina Selatan, yang tepatnya berada pada ZEE Vietnam, Malaysia, Indonesia dan Burnei; dan hal tersebut berujung pada terciptanya potensi dilema keamanan (security dilemma) karena posisi ladang minyak dan gas tersebut berdekatan dengan nine-dashed line Tiongkok (Drifte, 2016). Untuk menjaga kepentingan ekonomi, politik dan keamanannya di kawasan, Jepang banyak meningkatkan kebijakan multilateral dan kebijakan bilateral. Maskpun kebijakan yang berkaitan dengan Laut Cina Selatan (dalam konteks hubungan dengan negara Asia Tenggara) masih terbatas pada pertukaran personil militer (serta coast guard), capacity building, dan latihan bersama.

Aspek militer lebih ditekankan karena mengacu pada tindakan-tindakan asertif Tiongkok dan kebijakan keamanan yang mengarah pada lebih luasnya peran keamanan regional bagi Jepang. Konsekuensinya adalah memperdalam hubungan militer dengan AS, hubungan tersebut tercipta berdasarkan antara persepsi ancaman dari perkembangan Laut Cina Selatan dan Laut Cina Timur, sedangkan kepentingan AS mendukung kepentingan Jepang di Laut Cina Timur adalah menguatkan posisi militernya (Drifte, 2016).

Namun, kordinasi dan kerjasama Jepang dengan AS juga tidak berjalan cukup halus, terdapat beberapa perbedaan pandangan antara Jepang dan AS dalam menentukan kawasan mana yang lebih penting serta dimana dan bagaima seharusnya difokuskan; dalam hal ini Jepang fokus utamanya adalah Asia Timur dan Laut Cina Timur sedangkan AS yang memiliki perspektif global lebih memfokuskan pada Laut Cina Selatan. Secara keseluruhan apabila kepentingan Jepang di kawasan Asia Pasifik (Laut Cina Selatan) perlu ditekankan, Jepang akan menggunakan pengaruh ekonomi dan politik yang telah dibangunnya.

Rizky Reza Lubis – Pemerhati Diplomasi Pertahanan dan Keamanan Maritim Indonesia.

Referensi:

  • Tonnesson, Stein, 2006, The South China Sea in the Age of European Decline, Modern Asian Studies Vol.40, No. 1, Hal. 1–57.
  • Hara, Kimie 2015, Okinawa, Taiwan, and the Senkaku/Diaoyu Islands in United States Japan-China Relations, dalam: Liao, Tim F., Hara, Kimie, Wiegand, Krista, The China-Japan Border Dispute. Islands of Contention in Multidisciplinary Perspective, Farnham: Ashgate.
  • Herberg, Mikkal E. (2016): The Role of Energy in Disputes over the South China Sea, Maritime Awareness Project
  • Drifte, R. 2016. Japan’s Policy towards the South China Sea–Applying “Proactive Peace Diplomacy”?. PRIF Report No. 140
Share.

Comments are closed.