Kontroversi Tokoh Peristiwa 10 November 1945

0

JAKARTA, Teritorial.com – Kalau berbicara tentang peristiwa 10 November 1945 yang setiap tahun diperingati sebagai Hari Pahlawan, terkesan tokoh yang menonjol hanyalah Sutomo yang lebih dikenal sebagai Bung Tomo. Fotonya sedang berpidato dengan latar belakang payung besar di belakangnya menghiasi buku pelajaran sejarah.

Belakangan foto itu dipertanyakan waktu dan lokasinya. Menurut Suhario Padmodiwiryo yang lebih dikenal sebagai Haryo Kecik, itu merupakan foto di sebuah hotel di Malang, Jawa Timur tahun 1947. Sementara itu maestro foto dari Antara, Oscar Motuloh mengatakan bahwa foto itu diambil di Mojokerto pada bulan Februari 1946. Jadi dapat disimpulkan bahwa foto tersebut bukanlah di Surabaya dan bukan pula tanggal 10 November 1945. Kita ketahui bahwa sebelum Indonesia Merdeka, Sutomo bekerja pada kantor berita Jepang Domei. Menurut Haryo Kecik, Sutomo tidak pernah menembakkan pistol atau senjata apapun selama di Surabaya.

Soemarsono, Ketua PRI (Pemuda Republik Indonesia) tampaknya mengecilkan posisi Bung Tomo. PRI yang dibentuk September 1945 merupakan perhimpunan berbagai organisasi pemuda yang paling banyak pengikutnya saat itu. Ia sempat melindungi Sutomo ketika didatangi sekelompok pemuda yang ingin menangkapnya. Ia mengatakan sebelum mendirikan Radio Pemberontakan Republik Indonesia, Sutomo adalah ketua bidang komunikasi PRI. Kisah ini diceritakan Soemarsono ketika diwawancarai Dahlan Iskan yang memuatnya dalam serial tiga artikel pada Jawa Pos, 9,10, 11 Agustus 2009.

Namun Ben Anderson dalam disertasinya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Revolusi Pemuda, mengakui pentingnya peran Sutomo. “Suara Bung Tomo, yang berkumandang melalui ratusan pesawat radio yang sebelumnya dibagi-bagikankan oleh Jepang untuk menyebarkan propaganda perang di kampung dan kota, berhasil memusatkan tenaga revolusioner melebihi apa pun yang lainnya”. Ditambahkannya “ Suara bergelora yang tidak kelihatan raganya ini, yang memohon bantuan dan perlindungan Allah dalam logat Surabaya yang kental, dan menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaannya, memberikan suatu kepemimpinan tanpa hierarkhi, dan inspirasi tanpa memaksakan belenggu organisasi dan peraturan-peraturan formal”.

Ketika pihak Sekutu mengeluarkan ultimatum tanggal 9 November 1945, Bung Tomo menjawab di radio “Selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah yang dapat membikin secarik kain putih menjadi merah dan putih, maka selama itu pula tidak akan kita menyerah kepada siapa pun juga”. Menurut Ben Anderson, siaran pidato Bung Tomo yang disertai pekik Allahu Akbar itu yang berhasil menggerakkan hati masyarakat santri dari daerah Jawa Timur untuk berjuang.

Resolusi Jihad

Tentu pernyataan di atas perlu dilengkapi. Belakangan ini baru terkuak peran KH Hasyim Asy’ari yang tidak ada dalam sejarah resmi mengenai pertempuran di Surabaya seputar November 1945. Dalam buku  Pertempuran Surabaya, yang diterbitkan Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI, tahun 1998, hal ini juga tidak disebut. Umat Islam wajib mengangkat senjata melawan Belanda. Dalam pertemuan konsul NU se-Jawa dan Madura 21-22 Oktober 1945  KH Hasyim Asy’ari menyampaikan fatwa bahwa  Jihad membela negara (fardu ‘ain) bagi yang berada dlm radius 94 km. Yang di luar jarak itu wajib membantu saudara-saudaranya yang berada dlm radius 94 km. Selain ini dikeluarkan pula Resolusi Jihad yang ditujukan kepada pemerintah “supaya menentukan suatu sikap dan tindakan yang nyata serta sepadan terhadap tiap-tiap usaha yang akan membahayakan Agama dan Negara Indonesia, terutama terhadap pihak Belanda dan kaki tangannya. Supaya memerintahkan melanjutkan perjuangan yang bersifat “sabilillah” untuk tegaknya Negara Republik Indonesia merdeka dan agama Islam”.  Fatwa KH Hasyim Asy’ari itu disampaikan dari mesjid ke mesjid. Sementara itu Resolusi jihad ditujukan kepada pemerintah (dimuat pada Antara, 25 Oktober dan Kedaulatan Rakyat ,Yogyakarta, 26 Oktober serta Berita Indonesia, Jakarta, 27 Oktober 1945). Kasus ini memperlihatkan hubungan antara nasionalisme dengan agama (kontektualiasi jihad sebagai bela negara).

Gubernur Suryo

Frank Palmos dalam buku Surabaya 1945, Sakral Tanahku,  mengutip Ruslan Abdulgani  yang mengatakan terdapat tiga pemimpin puncak arek Suroboyo yaitu Gubenur Suryo, Dul Arnowo selaku Ketua KNI (Komite Nasional Indonesia) dan residen Surabaya Sudirman. Ini adalah pemimpin pemerintahan sipil. Tentunya juga ada beberapa tokoh militer TKR (Tentara Keamanan Rakyat) seperti drg Moestopo dan Sungkono.

Figur Gubernur Suryo (lengkapnya Raden Mas Tumenggung Aryo Suryo)  jelas sangat menentukan ketika berpidato tanggal 9 November 1945 malam hari  menolak ultimum Sekutu. “Pimpinan nasional di Jakarta menyerahkan kebijakan kepada kita di Surabaya. Perundingan telah gagal. Lebih baik kita hancur daripada dijajah kembali. Dalam menghadapi ultimatum pihak Inggris kita akan memegang teguh tekad kita. Kita tetap menolak ultimatum itu. Dalam menghadapi segala kemungkinan besok pagi,  mari kita semua memelihara persatuan yang bulat antara Pemerintah, Rakyat, TKR, Polisi dan semua badan perjuangan pemuda dan rakyat kita. Mari kita memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa, semoga kita sekalian mendapat  kekuatan  lahir dan batin serta rahmat dan  taufiknya dalam perjuangan. Selamat berjuang”. (Pasukan Inggris memulai serangan darat, laut dan udara Sabtu, 10 November 1945 ke kota Surabaya)

Polisi Istimewa

Pada zaman Jepang sebetulnya sudah ada polisi. Tetapi pada tanggal 21 Agustus 1945, Polisi Istimewa bentukan Jepang ini mengeluarkan semacam “ProklamasI”, “Untuk bersatu dengan rakyat dalam perjuangan mempertahankan Proklamasi 17 Agustus 1945 dengan ini menyatakan Polisi sebagai Polisi Republik Indonesia”. Ditandatangani oleh Moehammad Jasin, Inspektur Polisi tingkat I.

Polisi Istimewa mempelopori penyerbuan ke gedung senjata Jepang yang terbesar Don Bosco di Surabaya. Sempat terjadi tembak menembak, namun kemudian dilakukan perundingan. Pasukan Polisi Istimewa juga ikut bersama TKR dan rakyat dalam mengepung markas besar Kempetai di Surabaya. M Yasin sempat menerobos kawat berduri dan di bawah desingan peluru berhasil menemui pimpinan tentara Jepang Takahara. Penyerbuan juga dilakukan terhadap markas Butai Kaigun. Dari berbagai tempat itu diperoleh banyak persenjataan Jepang.  Tahun 2015 Presiden mengangkat M. Jasin sebagai pahlawan nasional karena jasa-jasanya antara lain sebagai pimpinan Polisi Istimewa di Surabaya.

Tokoh-tokohnya lainnya

Haryo Kecik juga menulis tentang apa yang dilakukan pada momen kritis tersebut di Jawa Timur. Ia wakil komandan Polisi Tentara Keamanan Rakyat. Mungkin bisa disamakan dengan Polisi Militer sekarang. Namun pada masa itu, PTKR lebih berperan dalam menangkap dan menahan orang-orang yang dianggap atau dituduh mata-mata musuh. Tentu saja dalam hal ini bisa terjadi penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi. Misalnya Mayor Sabarudin yang diceritakan bermusuhan dengan mantan komandannya lalu menangkap dan membunuhnya.

Tentu tak bisa dilupakan peran jurnalis asing Ktut Tantri yang berpidato tentang apa yang terjadi di Surabaya untuk disiarkan ke luar negeri. Muriel Stuart Walker kelahiran Skotlandia tahun 1899 yang merantau ke New York dan kemudian berlayar ke Batavia. Ia pergi ke Bali dan kemudian ditahan Jepang di Surabaya. Selepas dari tahanan ia bergabung dengan Bung Tomo pada Radio Pemberontakan. Ketika pemerintahan pindah ke Yogyakarta tahun 1946 Ktut Tantri juga menjadi salah seorang penerjemah Presiden Sukarno.

Revolusi Memakan Anaknya Sendiri

Setelah peristiwa 10 november 1945 berlalu bertahun-tahun kemudian, para pelakunya menjalani nasibnya masing-masing. Revolusi itu memang mendatangkan kemenangan bagi karier seseorang tetapi juga sebaliknya ada juga yang menemui kegetiran. Beberapa orang diangkat sebagai pahlawan nasional seperti gubernur Suryo, Bung Tomo, drg Moestopo,  Mohamad Mangoendiprojo dan Muhammad Jasin. Mohamad Mangoediprojo berjasa dalam mengambil alih aset pribadi orang-orang Belanda yang tersimpan pada bank Escompto senilai seratus juta gulden yang kemudian digunakan untuk kepentingan perjuangan.  Tentunya terdapat dua ulama besar yang diangkat sebagai pahlawan nasional yang terkait peristiwa tersebut yaitu KH Hasyim Asy’ari yang mengeluarkan fatwa dan resolusi jihad serta KH Masykur pimpinan pasukan Hisbullah yang ikut berjuang di Surpabaya.

Namun ada pula yang bernasib sebaliknya. Amir Syarifuddin yang ikut dalam perundingan dengan pihak Sekutu bersama Sukarno dan Hatta pada akhir Oktober 1945  dieksekusi  setelah peristiwa Madiun 1948. Sementara itu Soemarsono yang bisa dikatakan orang ketiga setelah Musso dan Amir Syarifudin,  memang tidak tertangkap oleh pihak Republik  dalam peristiwa Madiun 1948. Namun ia ditahan pasca meletusnya G30S 1965. Setelah lepas,  Soemarsono meminta suaka ke Australia. Ia menetap di Sydney dan meninggal beberapa tahun lalu, serta sesuai permintaannya dimakamkan di Indonesia. Haryo Kecik yang sempat menjadi Pangdam Mulawarman di Kalimantan, ditugaskan belajar di Moskow. Ia juga ditahan beberapa tahun setelah peristiwa G30S 1965.

Gubernur Suryo juga mengalami nasib malang. Tahun 1948 ia ingin memperingat 40 hari adiknya yang terbunuh di Madiun. Walaupun sudah diperingatkan oleh berbagai pihak tentang tidak amannya daerah tersebut, Suryo tetap mau ke sana.Tanggal 10 November 1948 ia berangkat dari Yogyakarta menuju Madiun. Sudah ada tanda-tanda yang kurang baik. Begitu keluar kota Yogyakarta ban mobilnya pecah, setelah itu mobilnya kehabisan bensin. Dua kali ia kembali ke Yogyakarta untuk menambal ban dan menambah bensin. Di Solo ia diperingatkan Sudiro, residen Surakarta, untuk menginap semalam di sana. Namun Suryo tetap meneruskan perjalanan. Di desa Gending sekali lagi ia diperingatkan karena jalan ke Madiun tidak aman. Di Ngawi ia bertemu dengan pasukan pemberontak dan dibawa ke hutan Sonde. Jenasahnya kemudian ditemukan di desa Bangunrejo, Ngawi. Tahun 1964 Gubernur Suryo diangkat sebagai pahlawan nasional.

Penutup

Terdapat berbagai versi tentang peristiwa 10 November 1945. Beberapa orang tokoh tentu menulis berdasarkan pengalaman dan perspektif dirinya yang terkadang mengecil pernah tokoh lainnya.

Menurut Soemarsono ketua PRI (Pemuda Republik Indonesia) yang dibentuk September 1945, ia terlibat dalam peristiwa penurunan/penyobekan bendera Belanda di Hotel Oranye (kemudian menjadi Hotel Majapahit). Setelah diberitahu seorang pemuda, Soemarsono dengan sepeluh anggota aggota kelompok bergerak menuju hotel sembari meneriakkan di sepanjang jalan, bendera Belanda dikibarkan kembali di Hotel Oranye. Massa sekitar seratusan di depan hotel. Keluar dari dalam hotel yang kemudian dikenal sebagai Ploegman yang menjadi pejabat walikota Surabaya. Dia diteriakin pemuda, entah siapa yang menusuk, jatuh terkapar berlumuran darah. Para pemuda memanjat ke atap hotel dengan menggunakan tangga dan kemudian menmanjt dari bahu ke bahu. Seorang berhasil menyobek kain berwarna biru, sehingga yang tinggal bendara Merah Putih. Dalam buku yang lain yang menonjol adalah peran Residen Sudirman. Sejarawan tentu perlu menampilkan narasi yang komprehensif dan berimbang.

Peristiwa Surabaya merupakan peristiwa lokal yang berskala nasional bahkan internasional. Perlawanan tentara dan rakyat mampu mengalahkan kekuatan tentara Inggris. Perjuangan ini tentu tidak terjadi seketika. Dimulai dari pelucutan tentara Jepang, pengambilan senjata milik Jepang. Peristiwa menyobek bendara Belanda di atas hotel Oranye Surabaya. Pertem;puran 3 hari, tewasnya Brogjen Mallaby dan akhirnya jultimatum Sekutu yang ditolak.

Walaupun mengakui peran Soemarsono dalam memimpin PRI dan pentingnya fatwa jihad yang disampaikan KH Hasyim Asy’ari, saya melihat tiga figur yang paling menonjol dari pihak Indonesia. Gubernur Suryo yang menolak ultimatum Inggris, Bung Tomo yang menggelorakan semangat arek Suroboyo dan polisi istimewa yang dipimpin M Jasin yang berjasa dalam mendapatkan senjata eks Jepang bagi rakyat Surabaya. Tidak akan ada perlawanan apabila rakyat hanya mengandalkan bambu runcing.

(Prof Dr Asvi Warman Adam, Profesor Riset bidang Sejarah Sosial Politik LIPI)

Share.

Comments are closed.