Memprioritaskan Kepentingan Nasional Dalam Setiap Lawatan

0

Jakarta, Teritorial.Com – Sudah hampir terdapat konsensus bulat bahwa lawatan KH Yahya Cholil Staquff ke Israel bersifat pribadi. Presiden Joko Widodo mengatakan, kepergian Yahya Cholil Staquf ke Israel menghadiri dan menjadi pembicara dalam acara American Jewish Committee (AJC) Global Forum bukan bagian dari diplomasi Pemerintah Indonesia.Gus Yahya berangkat atas urusan pribadi karena memang undangan tersebut sudah lama dipersiapkan.

Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj menambahkan kehadiran KH Staquf di Israel tak memiliki sangkut pautnya dengan PBNU sama sekali.

Dalam perkembangan yang sama, Israel lebih memandang Gus Yahya sebagai tokoh organisasi Islam terbesar di Indonesia serta anggota lingkaran dalam kepresidenan. Tokoh NU ini mempunyai kapasitas dan posisi di atas rata-rata kebanyakan WNI. Atas dasar itu Gus Yahya diundang untuk berbicara di Institut Medellin, Yerusalem pada 10-13 Juni 2018. Bagi Tel Aviv.

Kerusakan Telah Terjadi

Pandangan Israel itu tercermin dalam kegembiraan PM Benjamin ‘Bibi’ Netanyahu pada twitter-nya yang dilengkapi foto bersalaman dengan Gus Yahya.. ..Benjamin Netanyahu@netanyahu.14 Jun —A special meeting today in Jerusalem with Yahya Cholil Staquf, Secretary of global Islamic Organization Nahdlatul Ulama. I am very happy to see that Arab Countries and many Muslim countries getting closer to Israel.

Manfaat positif dari kunjungan tokoh NU ini mungkin nanti terwujud tetapi yang pasti kerusakan telah terjadi. Kementerian Luar Negeri dan Ekspatriat Negara Palestina secara terbuka mengutuk partisipasi delegasi ulama Indonesia dari Nahdlatul Ulama, di AJC Global Forum di Yerusalem pada tanggal 10-13 Juni 2018.

Kementerian juga mempersoalkan partisipasi dalam perayaan untuk menghormati kunjungannya ke Yerusalem, di Benteng Yerusalem, di kota tua Yerusalem yang diduduki, pada tengah malam tanggal 14 Juni 2018 dalam pelanggaran mencolok terhadap hukum internasional dan resolusi relevan Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Partisipasi dalam acara-acara ini merupakan pukulan bagi Negara Palestina dan Yerusalem, dan bagi Republik Indonesia, negara Islam terbesar di dunia, yang menyelenggarakan KTT OKI Luar Biasa ke-5 tentang Palestina & Al-Quds Al-Sharif pada tahun 2016, dan Konferensi Internasional tentang masalah Yerusalem pada tahun 2015, dan yang selalu membela Yerusalem dan isu-isu Palestina.

Kepentingan Nasional

Selama lebih dari satu dekade, masyarakat dibombardir dengan jargon era globalisasi, HAM, lingkungan hidup dan demokrasi. Negara-negara Barat merancang terwujudnya Satu Dunia dibawah kepentingan dan kemauan mereka.   Kebijaksanaan pemerintahpun diarahkan untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan tersebut, minimal agar tidak ketinggalan. Tentu kita masih ingat dengan pernyataan..mau tidak mau atau tidak suka Indonesia harus ikut serta agar tidak ketinggalan.

Namun situasi mulai berubah. Amerika Serikat yang  merupakan promotor globalisasi, melalui Donald Trump tegas-tegas menyatakan terlalu banyak yang diberikan negaranya hingga dia mencanangkan ‘ America First’. Menuntut supaya Uni Eropa, anggota NATO/G-7 memberi kontribusi yang lebih besar, serta mengenakan tarif impor baru terhadap China senilai US$ 50 miliar. Pada tahap pertama, tarif 25 persen dikenakan pada 818 produk China senilai US$ 34 miliar dollar AS mulai 6 Juli 2018.

Trump telah mendahulukan kepentingan nasional, suatu langkah yang seharusnya diikuti negara-negara lain yang cemas bila sebelumnya berbeda arah dengan Washington. Sikap Trump tersebut, selayaknya juga menyadarkan kita bahwa Israel dan Singapura ,dalam kasus pasir laut misalnya, selalu mendahulukan kepentingan nasional.

Kepentingan nasional adalah tujuan-tujuan yang ingin dicapai terkait dengan kelangsungan hidup, keutuhan serta kesejahteraan suatu bangsa. Berbagai cara dilakukan agar kepentingan nasional itu dapat dicapai. Amerika Serikat menghancurkan kepentingan Presiden Irak Saddam Hussein dengan dalih membela rakyat Irak, padahal kepentingan nasionalnya adalah menguasai ladang minyak mentah, mencegah Irak menjadi pemilik senjata nuklir dan mencegahnya menggunakan matauang kuat lain, terutama euro, dalam transaksi energi berbasis sumber daya alam.

Kepentingan nasional selalu mendasari politik luar negeri suatu negara tidak terkecuali Indonesia. Sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, politik luar negeri Indonesia anti kolonialisme atau anti penjajahan. Indonesia tidak akan mendukung segala bentuk penjajahan terhadap negara lain dan menolak kolonialisme kembali ke Indonesia. Hal ini diwujudkan antara lain dalam upaya memperjuangkan kemerdekaan Palestina.
Upaya tersebut harus dilakukan secara terpadu, seiring dan seirama dari berbagai elemen masyarakat. Dalam hubungan ini kepentingan nasional harus didahulukan daripada kepentingan pribadi atau kelompok.

Penulis: Sjarifuddin Hamid Pemimpin Redaksi Teritorial.Com

Share.

Comments are closed.