Menyikapi Sanksi Atas Pembelian Sukhoi-35

0

Jakarta, Teritorial.Com – Dua unit pesawat tempur Sukhoi SU- 35 buatan Russia dijadwalkan tiba di Lanud Iswahyudi, Madiun pada akhir bulan ini. Kedatangan pesawat yang dijuluki Super Flanker itu merupakan bagian dari pembelian 11 unit lainnya berdasarkan prinsip imbal beli dengan total US$11,4 triliun. Dengan skema imbal beli, Moskow diwajibkan membeli karet, teh, kopi, kelapa sawit dan lain-lain senilai US$ 570 juta, sedangkan sisanya tunai.

Skema ini pernah dilakukan PT Dirgantara Indonesia ketika menjual CN-235 kepada Thailand dengan imbalan beras ketan. Upaya PT DI itu dikritik berbagai pihak, kenapa produk teknologi tinggi ditukar dengan beras ketan?. Kritik tersebut kemungkinan lebih didasarkan (1) ketidaksukaan atas kemajuan industri-industri strategis. (2) Ketidak fahaman atas variasi skema jual-beli. (3) Terpengaruh pihak tertentu, terutama produsen pesawat asing, yang cemas pola PT DI – Thailand akan diikuti negara lain hingga merusak pasaran bisnis pesawat terbang.

Kali ini pembelian ke 11 Sukhoi dibayangi sanksi Amerika Serikat karena Indonesia membeli produk buatan Russia. AS dan sekutunya menerapkan sanksi setelah Moskow membantu memisahkan Semenanjung Krimea dari Ukraina empat tahun lalu dan pembunuhan atas bekas mata-mata Uni Soviet, Sergei Kripal (66) di London, Maret 2018.  Bukan kali ini saja rencana penguatan alutsista nasional terganggu. AS dan Inggris antara 2009-2005 mengembargo dengan dalih Indonesia melakukan pelanggaran HAM di Timor Leste. Padahal mereka mulanya menyetujui sikap Indonesia yang mendorong perubahan pemerintahan di Dili.

Tindakan itu menyebabkan, pengiriman pesawat-pesawat Hawk tertunda walaupun ada yang sudah sampai di Bangkok,Thailand serta mengakibatkan kekurangan suku cadang pesawat Hercules. Ketika terjadi bencana tsunami di Aceh, TNI-AU tidak dapat berperan maksimal karena tindakan tersebut. Suatu ‘luka’ yang harus diingat sepanjang masa.

Embargo membuat Indonesia berpaling ke Russia, dengan membeli 5 unit SU-27 dan 11 SU-30 tahun 2013. Dan bila kemudian membeli Su-35, hal itu disebabkan harganya lebih murah ketimbang F-15, apalagi disertai dengan alih teknologi, serta mendukung PT DI dalam pemeliharaan, perbaikan dan operasi. Sebagaimana diketahui, AS dalam penjualan 24 F-16 Blok ID menerapkan skema bayar tunai.

Kebijaksanaan Luar Negeri AS

Dibayangi susutnya intensitas ketegangan di Timur Tengah, Trump membuka lembaran baru lewat kebijaksanaan keamanan dan perdagangan luar negeri. Keluar dari perjanjian nuklir 6 negara dengan Iran dan menerapkan sanksi terhadap Teheran. Lalu mengenakan hal serupa ekonomi terhadap Cina, Russia, Indonesia, Turki bahkan Uni Eropa dengan berbagai alasan.

Tampknya itu sejalan dengan prinsip America First, yang berulangkali menegaskan kepentingan global AS semata-mata murni ekonomi guna memperbaiki defisit neraca perdagangan . Sementara peranan sebelumnya dalam penjeraan terhadap Korea Utara, penyokong penegakan HAM dan sebagai penjamin keamanan sekutu-sekutunya dikurangi. Korea Selatan, Saudi Arabia, Jepang, Israel, Jerman dan lain-lain harus memberi kontribusi besar terhadap keamanan individual, regional dan dunia. Bentuk kontribusi bermakna pula meningkatkan anggaran belanja militer dan membeli alutsista dari Amerika Serikat.

Sikap Terhadap Asia Tenggara

Washington baru akan memberi perhatian besar ke Asia Tenggara jika kepentingannya terganggu. Hal tersebut pernah ditunjukkan dengan bertambahnya minat terhadap Indonesia ketika Vietnam dikuasai komunis. Sayang para sejarawan seperti malu-malu mengungkapkan, peran asing berkenaan dengan jatuhnya Presiden Soekarno. Kendati kabarnya pola itu, Jakarta Operation, kemudian digunakan dalam menyingkirkan Presiden Chile Salvador Allende tahun 1973.

Agresifitas Beijing mendorong Trump dalam berbagai kesempatan mengubah nama Asia-Pasifik menjadi Indo-Pasifik, yang bermakna lebih luas sebab Asia-Pasifik hanya mengkaitkan Amerika Serikat dengan Asia Timur, sedangkan Indo- Pasifik menggapai India dan negara-negara demokratis lainnya Hal tersebut kemudian diikuti dengan perubahan nama Komando Pasifik menjadi Komando Indo-Pasifik yang mencakup wilayah kawasan Asia Timur sampai India dengan kekuatan sedikitnya 375 personil sipil-militer matra darat, laut dan udara.

Sebetulnya konsep Indo-Pasifik diperkenalkan pertama kali pada sepuluh tahun lalu oleh Gurpreet s. Kurana, Direktur Eksekutif Yayasan Nasional Kelautan Nasional New Delhi. Yang menilai perubahan ini didasarkan kepada reformasi dan keterbukaan yang berlangsung di Cina.

Berdasarkan konsep baru Trump itu, perubahan dari Rebalance Asia-Pacific yang diperkenalkan Obama, Asia Tenggara mendapat sedikit perhatian. Thailand dan Philipina dinilai merupakan sekutu yang masih penting, sedangkan Vietnam serta Singapura diklasifikan mitra ekonomi dan keamanan yang sedang tumbuh. Indonesia dan Malaysia yang penduduknya mayoritas Muslim menentang pemindahan ibukota Israel ke Jerusalem.

Sikap Trump yang mencari ‘musuh’ dimana-mana sepertinya akan membawa dunia ke jurang kekacauan, tetapi harus diakui tindakannya itu bermotif ekonomi. Dengan pola pikir demikianlah, kita menanggapi sanksi atas pembelian Sukhoi MK-35 dari Russia.

Penulis: Sjarifuddin Hamid Pemimpin Redaksi Teritorial.Com

Share.

Comments are closed.