Prospek Saudi Terjebak Dalam Perang Dengan Iran

0

Taheran, Teritorial.Com – Iran dalam belasan tahun terakhir menjadi poros politik luar negeri Amerika Serikat. Salah satu sebabnya adalah karena Iran merupakan satu-satunya negara yang belum tunduk kepada keinginan Washington agar tidak membantu gerakan-gerakan radikal, menghentikan pengayaan uranium, menghentikan ambisi mendominasi Teluk Persia dan tak menjadi lagi pesaing Israel.

AS pernah mentargetkan Iran dikuasai kaum modernis pada 2009 dengan cara mengadu domba generasi muda melawan kalangan konservatif, tetapi rencana itu gagal. Maka ketika kelompok Houthi dengan sepuluh drone dan hampir 20 rudal memporak porandakan ladang minyak Khurais dan fasilitas pemrosesan minyak mentah Abqaiq, Arab Saudi pada Sabtu, 14 /9/2019, banyak pihak menyatakan peluang muncul kembali. Bukankah Iran pendukung Houthi melawan Arab Saudi di Yaman?

Apalagi AS telah mempunyai pasukan dan perlengkapan militer di Arab Saudi, Kuwait, Qatar dan Irak, serta gugus tempur kapal-kapal pendarat di Teluk Persia serta gugus tempur yang dipimpin kapal induk di Laut Mediterania. Menlu AS Mike Pompeo dan Direktur CIA Gina Haspel juga pro dengan tindakan menyerang Iran. Yang belum dimiliki adalah mengemukakan dasar hukum. Dasar hukum lazimnya terkait dengan keselamatan warga negara dan kepentingan Amerika Serikat serta sekutunya.

Sebagaimana diketahui, sekalipun Arab Saudi banyak membeli peralatan militer AS tetapi tidak terikat dalam aliansi militer. Suatu kondisi yang tidak mengharuskan Washington membalas serangan Houthi dengan target Iran. Adapun dukungan sulit diperoleh, kecuali dari Inggris, karena menyerang Iran akan berdampak terhadap harga minyak internasional. Jepang sudah menyatakan ketidaksetujuan, begitupun dengan negara-negara Eropa terutama Prancis.

Presiden Donald Trump telah pula bersikeras tidak akan menjadi presiden yang memerintahkan perang baru terhadap negara manapun. Dia lebih memilih peningkatan sanksi untuk menekan Iran secara ekonomis, sebagaimana yang dilakukan terhadap Cina. Adapun Mike Pompeo dalam pertemuan dengan Putra Mahkota Mohammed bin Salman di Ryadh, 10 September 2019 menegaskan negaranya mendukung Saudi untuk membela diri dan aksi-aksi Iran tidak akan ditolerir.

Arab Saudi sendiri tidak tergesa-gesa menuduh Iran ada dibelakang aksi Houthi. Ryadh mengundang para ahli internasional untuk membantu mengadakan penyelidikan, apakah drone itu buatan Houthi atau bukan, namun ia juga meminta tambahan pasukan Amerika Serikat. Sikap Arab Saudi serupa itu bisa difahami sebab bila terjadi perang maka yang akan dilemahkan adalah negara-negara Arab. Pada akhirnya Israel yang juga mempunyai senjata nuklir menjadi raja diraja di Timur Tengah, sedangkan Palestina makin terkucil.

Pengalaman di masa lalu menunjukkan, Washington merupakan pihak yang juga paling banyak mengambil manfaat, dalam bentuk penjualan peralatan militer dan pijakan pangkalan militer yang tak punya batas kontrak waktu. Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) pada 29 April 2019 menyebutkan belanja militer tahun 2018 mencapai US$1822 miliar, naik 2,6% dari tahun 2017. Pembelanja terbesar adalah Amerika Serikat, China, Saudi Arabia (US$ 65.843 juta), India dan Prancis yang mencakup 60% dari total belanja militer dunia.

Berkah Perang

Berkat Perang Teluk 1 dan 2, Amerika Serikat mempunyai pangkalan militer di Al Udeid, Qatar dan Dhahran di Arab Saudi, Al Dhafra di Abu Dhabi serta Komando Pusat Angkatan Darat di Kuwait. Di sekalian pangkalan ini terdapat ratusan pesawat tempur, pembom penyerang, pesawat pengisi bahan bakar di udara dan pesawat pengangkut pasukan. Disertai sedikitnya 35 ribu tentara.

Kehadiran militer asing itu dibiayai tuan rumah dalam arti luas, mulai dari bahan bakar bahkan sampai alat kantor. Di Korea Selatan, Trump meminta tuan rumah menanggung biaya kehadiran pasukannya, sejumlah US$890 juta atau Rp 12, 4 triliun atau 1 triliun won untuk tahun 2019.

Di Teluk Persia, keberadaan tentara AS sebenarnya kurang disukai pihak tertentu. Alasannya antara lain adanya Pohon Terang, padahal sebelumnya tidak ada. Pijakan AS di kawasan Teluk sesungguhnya tidak diperlukan lagi karena pemerintahan Saddam Hussein sudah lama berakhir. Namun AS berdalih Iran merupakan musuh baru karena mendukung gerakan separatis dan berambisi menguasai sejumlah pulau di Teluk Persia yang antara lain dimilik Uni Emirat Arab. Pijakan AS juga bertujuan melindungi kepentingan perusahaan-perusahaan multinasional seperti Aramco, serta menjamin suplai minyak ke negara-negara sekutu dan Amerika Serikat sendiri.

Trump telah menyatakan negaranya sudah melakukan ‘locked and loaded” untuk membela kepentingan negaranya, tetapi tak sepenuhnya berarti konflik militer, melainkan meningkatkan sanksi ekonomi. Anggota Asean bisa menarik pelajaran dari perilaku AS di Timur Tengah. Mengingat pola serupa sebenarnya juga ingin diterapkan dalam konflik klaim wilayah di laut Cina Selatan antara Vietnam, Malaysia, Brunei dan Pilipina dengan Cina.

Penulis: Sjarifuddin Pemimpin Redaksi Teritorial.Com

Share.

Comments are closed.