Quid Enim Diplomasi Pertahanan Indonesia?

0

artikel ditulis oleh : Ariscynatha Putra Ingpraja
Peneliti di Center for ASEAN Energy Research Universitas Pertamina

Frekuensi kunjungan kerja luar negeri Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto mengingatkan masyarakat pada Presiden Gus Dur pada tahun 1998-1999. Dalam periode tujuh belas bulan sebagai Menhan, Prabowo telah berkunjungan ke Rusia (tiga kali), Austria, Prancis (dua kali), Inggris, Jerman, Jepang, Korea Selatan, China, Amerika Serikat, Malaysia, Thailand, Turki dan Filipina. Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah untuk apa kunjungan sebanyak itu bagi sektor pertahanan negara Indonesia.

Presiden Joko Widodo pada tanggal 23 Januari 2020 membela Prabowo dengan menyatakan bahwa yang dilakukan Prabowo adalah bagian dari diplomasi pertahanan Indonesia. Dari kacamata konsep diplomasi pertahanan hal itu menimbulkan pertanyaan selanjutnya. Apa sasaran diplomasi pertahanan Prabowo ke sejumlah negara yang telah disebutkan di atas? Kenapa seorang Menhan harus menyempatkan hadir secara fisik ke Amerika Serikat, Jepang, Rusia, Inggris dan Korea Selatan di tengah situasi pandemi global yang tentunya memiliki tantangan tersendiri dalam mobilitasnya. Tentu ada hal yang sangat penting yang harus dibicarakan langsung oleh dan/atau kepada Prabowo yang tidak dapat disampaikan melalui pertemuan daring yang semakin menjadi norma baru saat ini.

Diplomasi pertahanan sendiri belum merupakan sebuah studi yang mapan. Awal diksi diplomasi pertahanan muncul di tahun 1995 oleh Kementerian Pertahanan Inggris untuk menamakan aktivitas kementeriannya dalam berdiplomasi kepada mitranya di negara-negara ex-Pakta Warsawa di Eropa Timur pasca kolapsnya Uni Soviet di tahun 1991. Negara-nagara NATO memandang perlu adanya terobosan baru dalam diplomasi militer saat itu yang difokuskan pada pengiriman atase militer, pertukaran siswa militer dan ship visits. Kementerian pertahanan dari negara-negara NATO perlu saling bahu membahu menjalankan kampanye diplomasi persuasif kepada sejumlah kementerian pertahanan negara-negara ex-Pakta Warsawa agar beralih orientasi dari Rusia ke NATO.

Tujuan dari upaya diplomasi di atas dilandasi oleh perimbangan kekuatan warisan Perang Dingin yang menghendaki perluasan wilayah yang pro-NATO di Eropa demi kestabilan keamanan. Merubah orientasi politik dari Rusia ke NATO bukanlah perkara sederhana. Karena negara-negara yang disasar akan menghadapi Rusia yang semula merupakan negara pengayom berubah menjadi negara potensi ancaman. Rusia yang perekonomiannya kolaps di tahun 1990-an suatu saat akan bangkit lagi dan berpotensi untuk mengintimidasi negara-negara kecil yang tidak sejalan di sekitarnya. Negara-negara kecil tersebut membutuhkan jaminan NATO untuk keamanannya jika berpindah polar ke NATO dan yang utama juga mendapatkan bantuan ekonomi dari Amerika Serikat dan/atau Uni Eropa.

Sektor ekonomi di Uni Eropa tidak selalu memandang baik dengan bergabungnya negara-negara ex-Pakta Warsawa jika akan membebani perekonomian Uni Eropa. Sehingga konsensus untuk merangkul negara-negara kecil tersebut di NATO sulit untuk terbangun. Karenanya NATO dan kementerian pertahanan negara-negara NATO memiliki alasan kuat untuk mengambil alih peran kementerian luar negeri yang “tersandera” sektor ekonomi di negara masing-masing dengan memanfaatkan segenap sumber daya yang mampu dikelolanya untuk berusaha mendekati negara-negara ex-Pakta Warsawa tersebut. Sejarah mencatat masuknya lima gelombang penambahan anggota NATO, yaitu di tahun 1999 (Republik Czech, Hongaria, dan Polandia); tahun 2004 (Bulgaria, Estonia, Latvia, Lithuania, Romania, Slovakia, dan Slovenia); tahun 2017 (Montenegro) dan tahun 2020 (Macedonia Utara) ke NATO dan akhir ke Uni Eropa. Hal itu merupakan keberhasilan diplomasi pertahanan (walau dari sektor ekonomi, belum dapat dianggap pencapaian).

Berkaca dari apa yang dilakukan NATO di atas, kemudian teringat pada pertanyaan sebelumnya di awal tulisan ini, yaitu untuk apa (dalam bahasa latinnya Quid Enim) diplomasi pertahanan Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo? Yang jelas tujuan Prabowo berbeda dengan NATO. Konteks pertahanan Indonesia saat ini tidak sama dengan yang dihadapi NATO. Bahwa konteks yang Indonesia saat ini hadapi adalah kemungkinan perang dalam 25 tahun mendatang dan ancaman aktual terhadap Indonesia bisa muncul kapanpun dengan berbagai bentuk.

Jika dianalisis lebih mendalam, ketegangan antara Amerika Serikat (AS) dan China saat ini di Indo-Pasifik sesungguhnya bukan karena masalah perbatasan atau didominasi isu kebebasan bernavigasi di Laut Cina Selatan maupun Laut Cina Timur. AS pertama kali menganggap China sebagai ancaman sejak tahun 1949, manakala Partai Komunis China mengalahkan pemerintahan Kuomintang Pimpinan Chiang Kae-Shek yang didukung AS. Apa yang dilakukan AS saat ini terhadap China adalah warisan dari Perang Dingin di era Presiden Harry Truman sebagai strategi pembendungan (containment strategy) terhadap komunisme yang berlangsung hingga kini.

China saat ini sudah mengadopsi prinsip ekonomi kapitalis yang disebut dengan sosialisme berarakter China oleh Ketua Deng Xiaoping di tahun 1978. Perekonomian China kemudian maju pesat hingga saat ini PDBnya menyaingi AS. Perekonomian China lebih dikhawatirkan AS ketimbang komunisme China. Sebagai negara adidaya, sudah sewajarnya jika AS berupaya untuk membendung kebangkitan China agar AS selalu mendominasi perekonomian dan politik dunia.

Tensi politik AS dan China di Indo-Pasifik menjadi meningkat karena terdapat kompleksitas yang mempekuat permusuhan di antara keduanya. Pertama, asertivitas China di Laut China Selatan (LCS) dengan membangun tujuh pulau buatan di dekat Kepulauan Spartly dan mengklaim perairan teritorial di 88% wilayah LCS telah membuat negara-negara kawasan meradang. Filipina sebagai negara sekutu AS tentu mengharapkan dukungan AS dalam mempertahankan kedaulatannya. AS juga tidak dapat tinggal diam karena harus mempertahankan kredibilitas institusi aliansi yang dibangunnya.

China yang memiliki rudal nuklir berdaya jangkau puluhan ribu kilometer tidak dapat dipandang remeh AS. Perang terbuka di antara keduanya hanya akan membuat perekonomian kedua negara hancur dan membuat politik dunia diambang chaos akut karena tidak ada lagi kekuatan besar yang mampu menegakkan ketertiban dunia. Negara-negara kecil berpotensi untuk saling berperang untuk mengamankan kepentingannya masing-masing. Sehingga perang besar antara AS dan China akan menjadi bencana bagi peradaban dunia.

Bagi China, asertivitas yang telah dilakukan di LCS sulit untuk dihentikan. Xi Jinping telah kadung menggelorakan nasionalisme maritim rakyat China untuk menguasai LCS yang dalam sejarahnya di era Republik (Nasionalis) China di tahun 1947 menerbitkan peta LCS yang menjadi wilayah China dan tidak ditentang AS yang menjadi negara mitra dekatnya. Membangkitkan nasionalisme maritim tersebut memiliki nilai strategis bagi Partai Komunis Cina (PKC) untuk mengalihkan perhatian rakyatnya yang semakin teredukasi agar tidak menutut reformasi total di bidang politik yang dapat meruntuhkan kekuasaan PKC sendiri. Perlu adanya isu yang membuat rakyat China bersatu dan tidak mempersoalkan masalah politik domestik. Nasionalisme maritim merupakan isu yang sangat “seksi” karena mengandung nilai kebanggaan bangsa dan juga persaingan dengan negara hegemon global. Rakyat China cenderung semakin mendukung PKC dan konsekuensinya LCS menjadi harga mati bagi China.

Di sisi lain, AS juga melihat isu LCS sebagai peluang untuk pengalihan isu lain yang lebih terukur dampaknya karena berada jauh dari AS. Isu yang dimaksud adalah tentang reunifikasi Taiwan ke dalam China. AS telah memutuskan hubungan diplomatik dengan Taiwan untuk menghormati One China Policy yang dituntut China di tahun 1972 dalam Shanghai Communiqué. Bagi PKC, Taiwan merupakan beban politik karena sudah terlanjur menyatakan kebijakannya berupa reunifikasi dan menjadi prioritas nasional China.

Bagi AS dan China, perang antara China-Taiwan akan sangat dilematis. Bagi China untuk menduduki Taiwan bukan perkara mudah. Jika meluncurkan rudal nuklir terlebih dahulu, China akan dianggap melakukan pelanggaran HAM yang akan diikuti dengan sanksi sejumlah negara kepada Cina. Sementara persenjataan berteknologi maju China diperkirakan hanya mampu melumpuhkan aset udara, laut, pertahanan udara, dan alutsista darat Taiwan saja. Hal tersebut tidak berarti China mampu menduduki Taiwan. Jika pasukan China mendarat di Taiwan, kemungkinan besar pasukan AS membantu Taiwan. Jika pasukan AS berperang di Taiwan, korban jiwa yang jatuh, baik dari AS, Cihna dan Taiwan, akan sangat banyak. Jadi jika fokus atensi China berpindah dari Taiwan ke LCS merupakan hal yang lebih baik untuk ketiga negara.

Menyikapi hal di atas, diplomasi pertahanan Indonesia dapat dikembangkan terarah. Tujuannya adalah agar tidak terjadi perang di LCS. Wilayah LCS yang berdimensi maritim akan lebih banyak memerlukan pertempuran antara persenjataan matra udara dan laut, ketimbang pasukan darat. Sehingga diperkirakan jumlah korban jiwa dalam mandala perang LCS tidak banyak. Namun jika terjadi perang di LCS, apakah Indonesia terlibat? Jawaban diplomatiknya adalah tidak. Indonesia tidak memiliki kepentingan dalam konflik tersebut dan kedua negara merupakan negara mitra strategis Indonesia. Jika demikian, kembali ke pertanyaan awal, untuk apa diplomasi pertahanan Indonesia?

Diplomasi pertahanan Indonesia dalam konteks sengketa di LCS lebih kepada menghindari perang. Seperti yang dilakukan AS terhadap Palestina dan Israel, yaitu untuk mendamaikan pihak yang berkonflik untuk mendeskalasi konflik yang terjadi. AS sangat dihormati Palestina dan Israel karena memiliki kemampuan politik, ekonomi, dan militer yang dapat mempengaruhi konflik kedua negara. Sehingga diplomasi pertahanan Indonesia yang efektif harus berangkat dari kekuatan dan kemampuan militer yang disegani oleh AS dan China.

Untuk menjadi negara dengan kekuatan militer yang disegani, Indonesia masih dalam proses transformasi. Alutsistanya sudah banyak yang usang. Jumlah alutsista jika dibadingkan dengan luas ruang udara, perairan dan daratan relatif kecil. Singapura dengan wilayah daratan seluas 728,3 kilometer persegi mengoperasikan 40 F-15SG, 60 F-16 Blok 52, empat pesawat intai G550-AEW, enam tanker A330 MRTT, 96 tank Leopard 2SG, empat kapal selam dan enam fregat. Bandingkan dengan Indonesia dengan luas ruang udara 8,3 juta kilometer hanya mengoperasikan 33 F-16 lama, 16 Su-27/30, tanpa pesawat AEW&C, satu tanker C-130B Hercules, empat kapal selam dan tujuh fregat. Artinya, pertahanan Indonesia membutuhkan akuisisi alutsista secara masif dan disanalah muncul kebutuhan akan diplomasi pertahanan.

Diplomasi pertahanan dibutuhkan untuk membuka akses terhadap akuisisi alutsista berteknologi maju. Tidak saja sekedar mampu membeli, dibutuhkan pula perijinan dari pemerintah negara produsen alutsista. Dalam kasus tertentu, bahkan dibutuhkan juga ijin dari sejumlah negara lain yang terafiliasi dengan alutsista tersebut. Contohnya adalah F-35, yang merupakan pesawat tempur canggih bergenerasi lima yang sulit terdeteksi radar yang mampu mengusung empat rudal atau bom di dalam perutnya. Akuisisi F-35 membutuhkan ijin pemerintah AS dan juga urutan antrian dari negara-negara pembeli terdahulu F-35 yang akan membuat rencana akuisisi F-35 untuk TNI AU menghadapi kendala teknis. Kunjungan Prabowo ke AS pada bulan Oktober 2020 lalu telah menghasilkan sejumlah terobosan. Ada alutsista yang diupayakan Prabowo untuk dapat dibeli dari AS.

Sedangkan di Rusia, Prabowo menghadapi tantangan atas pengadaan alutsista yang sudah ditandatangani di era Ryamizard Ryacudu namun dalam pelaksanaannya menghadapi kendala politik. AS telah menetapkan undang-undang perlawanan terhadap musuh AS melaui sanksi (Countering America’s Adversaries Through Sanctions Act atau CAATSA) yang memberikan sanksi kepada sejumlah individu dan perusahaan dari Rusia, Iran dan Korea Utara termasuk pihak-pihak yang bertransaksi dengan mereka. Prabowo memiliki harapan untuk mengupayakan kepada pemerintah AS memberikan dispensasi atas pemberakuan CAATSA dalam pengadaan alutsista asal Rusia kepada Indonesia. Hal tersebut terjadi di India, dimana negara Taj Mahal ini tetap mengadakan suku cadang alutsista dari Rusianya seperti Su-30 MKI, MiG-29K, Il-78, MiG-21, Mi-35 dan lain sebagainya.

Dengan Jepang, dipahami bahwa Jepang berharap Indonesia lebih tegas dalam menentang aksi China di LCS. Namun Prabowo tentu memahami bahwa tidak ada untungnya Indonesia terlalu tegas dalam sengketa di LCS seperti yang telah diulas sebelumnya di atas. Jepang, seperti Jerman, yang tidak leluasa mengembangkan teknologi persenjataannya tanpa diawasi AS, tidak memberikan proposisi sumber alutsista yang menarik bagi Indonesia kecuali dalam alutsista matra laut. Jepang merupakan salah satu pemasok kapal komersial terbesar di dunia. Kerja sama industri pertahanan antara galangan kapal Jepang dan PT. PAL (Persero) akan memiliki nilai strategis jika Jepang dapat membangun basis produksi kapal militer dan komersialnya di fasilitas PT. PAL (Persero).

Sementara dengan Austria difokuskan pada rencana pengadaan pesawat Eurofigther Typhoon Trance 1 bekas. Prabowo melihat bahwa dalam proses akusisi teknologi tidak dapat terjadi. Proses anggaran, pengadaan dan produksi akan membutuhkan waktu yang sangat lama. Diperlukan adanya alutsista pengisi sementara (interim) sambil menunggu datangnya pesanan alutsista baru. Namun pesawat yang rencananya dibeli dari Austria tersebut diberitakan mengandung polemik di dalam Austria dan pabrikan yang belum tuntas penyelesaiannya.

Dengan Perancis, Prabowo melihat sejumlah peluang kerja sama yang bukan saja dari aspek teknologi, melainkan terutama dari aspek pembiayaan. Kedua negara memiliki lembaga keuangan yang tertarik berinvestasi dalam membiayai pengadaan alutsista untuk Indonesia senilai dengan kebutuhan pengadanaan alutsista hingga beberapa periode rencana strategis ke depan. Sehingga tidak heran jika Prabowo sempat tertarik kepada alutsista asal negeri Menara Eiffel tersebut seperti pesawat tempur Rafale dan kapal selam Scorpene. Sehingga dapat dikatakan bahwa diplomasi pertahanannya ke Prancis adalah untuk mendapatkan tujuan ekonomi pertahanan, berupa dukungan pinjaman.

Dengan banyaknya tujuan yang dapat disasar dari diplomasi pertahanan, maka setidaknya terdapat enam quid enim atau alasan diplomasi pertahanan, yaitu: menegasikan ancaman, menghindari perang, mendapatkan manfaat di sektor lain, membangun external balancing, akuisisi alutsista modern, dan akuisisi teknologi kunci persenjataan modern. Jika dituangkan dalam tabel, berikut ini diplomasi pertahanan yang telah dan dapat dilakukan Prabowo untuk mengamankan kepentingan nasional di sektor pertahanan negara:

No

Quid Enim DP Negara Mitra

Catatan

1

Menegasikan Ancaman

Cina

Klaim 9-dashed lines Cina telah menyebabkan insiden di Laut Natuna Utara (LNU). DP diperlukan untuk membuat Cina menghormati hak berdaulat Indonesia di LNU.

2

Menghindari Perang

AS-Cina di LCS

Perang di LCS akan menjadi bencana global. DP Indonesia diperlukan untuk menenangkan AS dan Cina untuk menghindari perang.

3

Mendapatkan Manfaat di Sektor Lain

Perancis, Inggris, Saudi, Qatar, UEA

Dengan adanya kerja sama antar Sovereign Wealth Fund (SWF) Indonesia dengan sejumlah negara, DP diperlukan untuk menyasar pendanaan SWF tsb. untuk pertahanan.

4

Membangun External Balancing

Adidaya Dunia

Manakala Indonesia terancam dengan negara di sekitarnya yang lebih kuat dan agresif, DP diperlukan untuk mem-bangun kerja sama pertahanan dengan rival dari potensi ancaman Indonesia untuk bersama-sama menangkalnya.

5

Akuisisi Alutsista Modern

AS / NATO

Alutsista modern beroperasi secara kesisteman. Sektor pertahanan Indonesia pada akhirnya harus memilih sistem TNI akan berorientasi pada NATO/Rusia/Cina.

6

Akuisisi Teknologi Kunci

AS / NATO

Teknologi alutsista modern dikuasai oleh sedikit negara maju. Perlu DP yang efektif kepada pihak-pihak terkait agar diberi akses untuk akuisisi teknologi sensitif tersebut.

 

Terkait akuisisi teknologi modern, Prabowo baru saja menghadiri acara peluncuran pesawat KF-21 Boramae di Kota Sacheon (Korea Selatan) yang merupakan hasil kolaborasi Korean Aerospace Industries (KAI), PT Dirgantara Indonesia (Persero) dan sejumlah mitra industri lainnya. KF-21 digadang sebagai pesawat tempur generasi 4, walaupun dari segi penampilan sudah menyerupai pesawat tempur generasi 5, seperti F-35 AS dan J-31 Cina. Teknologi kunci pada KF-21 tidak semuanya dapat diakuisisi oleh industri nasional Indonesia, dikarena faktor politik yang membedakan tingkat kedekatan Indonesia dan Korea Selatan terhadap Amerika Serikat.

Sejumlah teknologi kunci yang tidak berhasil didapat dari AS untuk Indonesia diduga seperti radar canggih Active Electronic Scanned Array (AESA), sensor pasif Infra Red and Tracking System (IRST) dan sistem pengolahan data (mission system) berkecepatan tinggi yang memudahkan pilot dalam operasi militer. Tanpa sistem di atas, maka penguasaan teknologi Indonesia akan terus tertinggal dan bergantung kepada negara maju. Diperlukan diplomasi total dalam mendukung kepentingan di sektor pertahanan Indonesia. Sehingga mottonya yang paling pas untuk konteks Indonesia hari ini adalah diplomasi untuk pertahanan, dan bukan pertahanan untuk diplomasi.

Share.

Comments are closed.