Trump Membuka Medan Tempur Baru

0

Jakarta, Teritorial.Com – Setelah gagal di Syria. Tidak mampu meningkatkan ketegangan di Laut Cina Selatan dan terpaksa mengikuti skenario Kim Jong-un, mungkinkah Amerika Serikat tengah menghadirkan modus baru. Membuka ‘medan tempur’ di sektor perdagangan melawan Cina, Uni Eropa, Kanada, Meksiko? Cara baru memukul pesaing-pesaingnya?

Pembukaan palagan tersebut sejalan dengan slogan America First yang dicanangkan pada waktu Donald Trump berkampanye untuk meraih kursi Presiden. Slogan itu menekankan kepada nasionalisme dan non intervensionisme, menentang internasionalisme/regionalisme dan tata dunia baru. Ternyata sejumlah 65% penduduk Amerika Serikat mendukung slogan tersebut.

Slogan America First direalisasikan antara lain dalam kebijakan perdagangan internasional. Dalam konteks ini Presiden Donald Trump kepada sekalian mitra dagang meminta agar ‘membalas’ kebaikan negaranya selama ini. Katanya, kami telah banyak berkorban untuk kemajuan kalian. China memperoleh surplus US$375 miliar dalam perdagangan barang/jasa dengan AS pada tahun 2017. Trump meminta China untuk memperkecil defisit itu, antara lain dengan cara menaikkan nilai tukar yuan terhadap greenback. Suatu permintaan tanpa hasil yang pernah diajukan para presiden pendahulu.

Tidak sekedar mengimbau, Trump seperti dalam serial TV The Aprentice mengumumkan pemberlakuan kenaikan bea masuk 25% atas impor dari China yang bernilai US$50 miliar pada 6 Juni Lalu. Trump menargetkan seluruh ekspor AS yang bernilai US$505,47 akan dikenai kenaikan bea masuk. Bahkan investasi China di Amerika Serikat juga akan dibatasi karena dipakai untuk mencuri teknologi.

Tetapi China tidak mudah digertak.Melakukan pembalasan setimpal dengan perlakuan yang sama, serta menyatakan seluruh negosiasi dagang kedua negara tidak berlaku lagi. Nyatalah aksi saling membalas sudah meluas kepada non tarif seperti pembatasan investasi.

Memahami Dampaknya

Trump tampaknya terlalu percaya dengan keyakinannya, Amerika Serikat akan menang mudah dalam perang dagang ini. China akan memenuhi permintaan AS untuk mengurangi defisit perdagangannya. Defisit yang masif dalam hubungan dagang dengan Cina, mengingatkan fenomena yang sama dengan Jepang. Hanya bedanya walaupun alot Tokyo cenderung mengikuti kehendak Washington.

Sekurang-kurangnya ada beberapa faktor yang penyebab defisit di pihak AS. (1)Rakyat/perusahaan Amerika Serikat membeli lebih banyak produk-produk turunan buatan luar negeri ataupun bahan mentah. (2)Perusahaan-perusahaan Amerika Serikat mendirikan pabrik-pabrik di Cina untuk memanfaatkan upah buruh yang murah. Misal, seorang buruh memperoleh upah US$12 untuk membuat satu unit handphone, yang dijual di luar Cina dengan harga US$300 per unit. Oleh perusahaan AS, keuntungannya ini tidak dikirimkan ke negaranya.

(3)Berbeda dengan China, Amerika Serikat membelanjakan US$ 700 miliar untuk keperluan militer. Besaran jumlah tersebut mempengaruhi anggaran belanja untuk sektor-sektor lain seperti riset dan pengembangan hingga membuat AS tertinggal.

Nasionalisme

Para analis khawatir Trump mengabaikan gambaran di atas sebab defisit tersebut sendiri mengandung berkah karena dinikmati perusahaan-perusahaan Amerika Serikat di Cina. Sebaliknya tindakannya itu memukul rakyatnya sendiri karena mengakibatkan harga-harga meningkat dan berdampak pada kenaikan inflasi.

Lebih parah lagi, perang dagang akan mempengaruhi negara-negara lain yang memiliki kaitan dagang dan mata rantai produksi dengan Cina dan Amerika Serikat Trump juga mengenyampingkan fakta para pemimpin dan rakyat Cina mempunyai nasionalisme yang tinggi.

Mereka sangat mengingat perilaku bangsa-bangsa Barat yang telah menipu dalam perang Candu 1 (1839-1842) dan perang Candu 2 (1856-1840). Perang tersebut melemahkan pemerintahan dinasti Qing dan menyusutkan Produk Domestik Bruto sampai separuhnya. Cina juga harus menyerahkan pulau Hong Kong kepada Inggris.

Bagi Cina, periode tersebut menjadi abad yang memalukan dan dihinakan. Kelak hal ini mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang cenderung mengeras sebagaimana terlihat sikap terhadap keputusan Trump. Dalam kaitan ini wajar bila dikhawatirkan konflik akan merembet ke luar dunia bisnis.

Sejumlah kalangan di Amerika Serikat meragukan Trump telah memahami secara rinci dampak tindakan yang diambilnya. Sekurang-kurangnya hal itu mengemuka ketika dia menemui pemimpin Korut Kim Jong-un di Singapura, 12 Juni 2018.

Bahkan dalam keputusannya ‘menghukum’ Cina pada 12 Juni lalu,Trump diragukan memahami kerumitan perdagangan bilateral. Mengingat yang terkena dampaknya selain konsumen (pribadi/perusahaan) di dalam negeri juga perusahaan- perusahaan AS yang memanfaatkan buruh murah di Cina.

Nilai investasiA S di China mencapai US$627 miliar, sedangkan penanaman modal langsung China di AS US$166,8 miliar. Dengan demikian yang dirugikan adalah-perusahaan Amerika Serikat di Cina yang membuat barang untuk dikapalkan ke negaranya.

Sementara sejumlah perusahaan di AS yang produknya berbahan baku baja atau alumunium menyatakan akan pergi dan mendirikan pabrik di Meksiko. Bila dalam krisis kenaikan harga minyak dunia tahun 1974, Eropa Barat yang paling terpukul. Apakah kali ini AS akan menjadi pemenang, ketika banyak kalangan di dalam negeri gerah dengan gaya pemerintahan Trump?

Penulis: Sjarifuddin Hamid, Pemimpin Redaksi Teritorial.Com

Share.

Comments are closed.