Mengenal Sepak Terjang Sjafrie Sjamsoeddin (Part 1)

0

Jakarta, Teritorial.Com – Siapa yang tidak kenal dengan sosok Letjen (Purn) Sjafrie Sjamsoeddin, Wakil Menteri Pertahanan Republik Indonesia di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini merupakan tokoh militer yang diakui oleh dunia.

Sjafrie Sjamsoeddin sendiri merupakan purnawirawan Letnan Jenderal yang dilahirkan di Makassar Sulawesi Selatan. Menyelesaikan pendidikan AKABRI tahun 1974 dengan mengawali karirnya di Komando Pasukan Khusus tahun 1975 dan menyandang berbagai tugas di lingkungan TNI/DEPHAN hingga purna tugas sebagai militer aktif tahun 2011.

Sjafrie juga bertugas sebagai Ketua Delegasi Indonesia dalam kegiatan Kerjasama Internasional di bidang pertahanan sejak 2005-2014, Wakil Ketua Dewan Pembina Pusat Kajian Strategi Nasional (PPSN).

Meskipun sudah pensiun Sjafire sendiri mendapatkan sebuah tempat kehormatan lantaran saat ini dipercaya negara selaku Wakil Ketua Pelaksana Indonesia Asian Games (INASGOC) 2018. Bersama pengusaha kondang Erick Thohir Sjafrie sukses membuat perhelatan olahraga terbesar se Asia tersebut berjalan dengan sukses. Nama Sjafrie semakin dikenal oleh Masyarakat Indonesia setelah menjabat sebagai Mantan Komandan Grup A Pasukan Pengaman Presiden. Sjafrie kerap mendampingi Soeharto .engunjungi negara lain.

Satu yang ceritanya tetap dikenal ialah kunjungannya ke Sarajevo, Bosnia. Kunjungan itu dilakukan Soeharto pada tahun 1995. Kunjungan ke Sarajevo itu dilakukan Soeharto usai mengunjungi Kroasia. Sjafrie mengatakan, dia mendapatkan kabar saat itu baru saja ada pesawat yang ditembaki di sekitar tempat itu. Pesawat tersebut mengangkut utusan khusus PBB, Yasushi Akashi saat hendak ke Bosnia.

Beruntung insiden itu tidak memakan korban. Dalam penerbangan dari Zagreb-Sarajevo, Soeharto sama sekali tidak mengenakan rompi pengaman, dan helm. Padahal, menurut Sjafrie saat itu semua penumpang pesawat sudah mengenakannya. Namun, Soeharto tiba-tiba saja menanyakan sebuah hal kepada Sjafrie. “Ini tempat duduk, di bawahnya sudah dikasih antipeluru, belum”? tanya Soeharto ditirukan Sjafrie.

Sjafrie kemudian menjawab, semua bagian sudah ditutup dengan bulletproof, termasuk bagian samping. Melihat Soeharto masih tak mengenakan helm dan rompi pengaman, Sjafrie terus memutar otak. Akhirnya, Sjafrie pun sengaja duduk di kursi yang terletak di depan Soeharto, sambil memegang rompi dan helm.

Sjafrie melakukan hal itu agar Soeharto meminta kedua benda itu, dan bersedia mengenakannya. Namun, harapan Sjafrie justru pupus. Bukannya mengenakannya, Soeharto justru melakukan sebaliknya. “Helmnya nanti masukkan ke Taman Mini ya,! Nanti helmnya masukkan ke (museum) Purna Bhakti, Sjafrie. Itu, rompi itu cangking (bawa) saja. Kamu cangking saja,” ujar Soeharto.

Mendapatkan permintaan dari Soeharto seperti itu Sjafrie hanya bisa pasrah, dan menaatinya. “Siap, Pak!” ucap Sjafrie yang mengerti maksud Soeharto.

Tepatnya, dia mengerti betul Soeharto tidak akan mau menggunakan rompi antipeluru. Padahal, saat itu semua rombongan sudah memakai rompi antipeluru yang cukup tebal, dan memiliki berat 12 kilogram. “Saya juga, rompi saya taruh di jas, terus ditutup dengan overcoat sehingga tidak kelihatan,” kata Sjafrie.

Meski demikian, Sjafire tidak kehilangan akal untuk bisa melindungi Soeharto. Dia pun ikut mengenakan jas dan kopiah sepreti yang dikenakan Soeharto. Saat itu, dia meminjam kopiah tersebut dari seorang wartawan yang ikut dalam rombongan tersebut. “Ini dilakukan untuk menghindari sniper mengenali sasaran utamanya dengan mudah,”ujar Sjafrie

Cerita itu tersimpan rapi di dalam buku dalam buku Pak Harto, The Untold Stori.es

Pensiun sebagai Anggota TNI tidak membuat Sjafrie berhenti memberikan gagasan dalam dunia kekemilliteran di Indonesia. Sjafrie memberikan gagasan soal cyber space.

Sjafrie mengagas sebuah cyber Space suatu negara adalah potensi medan laga atau mandala perang baru dalam teknologi Informasi yang tidak mematikan tapi dapat melumpuhkan, dengan bekerja melumpuhkan sistem, mulai dari skala mikro sampai kepada mengganggu kedaulatan negara. Cyber space suatu negara urgensinya mendorong kemajuan teknologi dan informasi sehingga menjadi kemampuan daya saing antara suatu negara dengan negara lainnya.

Teknologi dan Informasi dalam cyber space memberikan kemungkinan kepada kelompok atau jaringan ancaman non state actors yang melakukan serangan ke akses internet – komputer atau telecommunication devices yang tidak mudah melakukan pembalasan, karena tidak jelas pihak yang mendukung dan mengkontrol operasinya, kecuali ada pengakuan dari pelaku.

Era perang asimetris dewasa ini ada altenatif dalam melakukan offensif terhadap negara lawan tanpa menyerang kekuatan militernya, tetapi pihak penyerang cukup melumpuhkan sistem komputer bandara yang berakibat sistem kontrol pesawat rusak dan terpaksa operasional bandara ditutup.

Cyber Space muncul merupakan mandala perang baru dalam dunia maya (cyber space) akibat kemajuan di bidang teknologi dan komunikasi. Selain hal yang positif untuk memudahkan interaksi interen dan antar negara, tetapi juga menghadirkan tantangan multidimensi sebagai ancaman baru di dunia maya, dikenal dengan cyber threat yang dapat dilakukan oleh aktor negara (state actor) dan juga bukan negara (non state actor).

Cyber Threat dapat bermotif kepentingan individu, kelompok dan negara yang tidak mudah diantisipasi karena sifatnya yang non konvensional, tidak mengenal front dan sasaran sangat luas. Ini juga yang menempatkan cyber space battlefield ada di dalam pola perang Asimetris.

Cyber space dalam realita telah terjadi peningkatan jaringan komputer secara global (Global Network) yang tentu saja tanpa kenal batas teritori (borderless) sehingga tidak mudah bagi pemerintah untuk melakukan kontrol atas on-line behaviour. Fenomena on-line dengan physical location menjadi tantangan bagi pemerintah untuk mengatur fenomena global ini. Pada era globalisasi yang paralel dengan kemajuan Teknologi Informasi yang mendorong perluasan ancaman non tradisional dimensi non militer mengharuskan negara memiliki cyber security.

Pertemuan CISO (Chief Information System Officer) ini sangat penting bahkan memiliki nilai yang strategis (strategic value) karena implikasi globalisasi telah menimbulkan perubahan karakter perang dari convensional warfare yang bersifat linier menjadi perang asymmetric (asymmetric warfare) yang tidak konvensional, penyelesaiannya tidak bisa dilakukan secara murni kekuatan militer tetapi perlu kolaborasi mengatasi ancaman itu yang dikenal dengan ancaman non tradisional. Kolaborasi tersebut dalam bentuk kerjasama mengedepankan pola pikir non konvensional untuk meniadakan Asymmetric Enemy.

Bersambung.

Share.

Comments are closed.