Jakarta, Teritorial.com – Dalam Pidato Kenegaraan Presiden Joko Widodo Pada 16 Agustus 2018 jelang HUT Kemerdekaan RI ke-73, di depan Sidang Tahunan MPR (DPR-DPD) Jakarta, Senayan. Jokowi menyampaikan Salah satu poin pencapaian pemerintan Jokowi terkait penyelesaian kasus-kasus HAM berat masa lalu masih akan menempuh proses panjang dan tidak mudah.
Jokowi memberikan perhatian yang kuat pada upaya penghormatan, perlindungan, pemenuhan, dan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM). Itu yang menjadi semangat pemerintah dalam mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 33 tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2015 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) Tahun 2015-2019.
Pemerintah berupaya mempercepat penyelesaian kasus-kasus HAM masa lalu serta meningkatkan perlindungan HAM agar kejadian yang sama tidak terulang lagi di kemudian hari. Saat kampanye lisan Pilpres 2014, Capres Jokowi berjanji menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu semisal kasus tragedi Pembantaian Massal 1965-1966, tragedi Trisakti, tragedi Semanggi I dan II serta tewasnya aktivis HAM, Munir.
Kampanye tertulis Jokowi tertuang di dalam dokumen Tri Sakti dan Nawacita. Ia berjanji, akan penghormatan HAM dan penyelesaian berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Setelah berhasil menjadi Presiden, diterbitkan RPJMN 2015-2019. Di bidang HAM, Jokowi akan mencapai sasaran antara lain terwujudnya penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM melalui penegakan HAM, penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta pendidikan HAM.
Universal Periodical Review Dewan HAM PBB (UPR) telah meninjau kondisi pelaksanaan HAM di Indonesia pada 2017. Beberapa isu yakni memburuknya toleransi agama, pelanggaran HAM di Papua, pelaksanaan hukuman mati, penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu serta kekerasan terhadap perempuan, terutama kekerasan seksual.
Beberapa aktor pejuang HAM juga menilai kritis kondisi penegakan HAM di Indonesia era Jokowi. Salah satunya YBHI, menilai Jokowi cenderung fokus ke bidang ekonomi dan infrastruktur. Kurang memperhatikan soal penegakan HAM. Hal ini terlihat dari bagaimana Pemerintah saat ini menanggapi kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu. Juga korban-korban minoritas di berbagai tempat tidak bisa mendapatkan hak. dalam ha ini Jokowi gagal dalam menuntaskan pelanggaran HAM.
Parameter persekusi dapat dijadikan kriteria penilaian kinerja Jokowi urusan penegakan HAM. Kata ‘Persekusi’ menjadi populer di Indonesia terutama di era Jokowi ini. Persekusi bermakna perlakuan buruk atau penganiyaan secara sistematis oleh individu atau kelompok terhadap individu atau kelompok lain, khususnya karena suku, agama, atau pandangan politik. Persekusi adalah salah satu jenis kejahatan kemanusiaan, HAM dan juga pelanggaran hukum pidana.
Komnas HAM mengakui, telah menyelidiki enam kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu yang menjadi perhatian khusus. Kasus tersebut yakni Tragedi 1965-1966; (2) Peristiwa Talangsari, Penembakan misterius (Petrus), Peristiwa Semanggi I dan II, serta penghilangan paksa para aktivis. Kasus-kasus dimaksud sudah dikirim kepada Jaksa Agung. Itu juga bukan kasus-kasus kemarin sore, sudah puluhan bahkan belasan tahun. Komnas HAM sudah menyelesaikannya.
Pada kondisi kinerja buruk dan gagal menepati janji, Pemerintah melalui Menko Polhukam Wiranto memprakarsai pembentukan Tim Terpadu dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu di luar jalur hukum. Tim dimaksud DKN (Dewan Kerukunan Nasiobal), suatu solusi penyelesaian kasus HAM di luar hukum. Prakarsa ini bukan dari suara korban. Tetapi, DKN belum ada payung hukum. Tujuannya, kata Menko Polkam Wiranto (7 Nopember 2017) untuk menegakkan kembali rasa musyawarah mufakat merupakan budaya Indonesia.
Komnas HAM menolak prakarsa ini. Tak hanya menolak bergabung dengan Tim itu, Komnas HAM mengatakan berkas kasus yang sudah diajukan ke Jaksa Agung akan tetap menjadi berkas hukum meski ada lproses lain yang sedang berlangsung. Salah satu penilaian kondisi kinerja Jokowi datang dari Human Rights Watch (HRW). Kepemimpinan Presiden Jokowi dinilai tidak mampu menggerakkan aparat negara untuk menuntaskan kasus kejahatan HAM. Kegagalan tersebut menempatkan generasi mendatang dalam risiko besar.
Awalnya Pemerintah Jokowi dipuji berkat ‘langkah-langkah kecil’ melindungi hak sipil kaum minoritas. Langkah Kejaksaan Agung menggugurkan larangan LGBT dalam perekrutan tenaga kerja dan menyusutnya tahanan politik Papua dari 37 menjadi lima orang adalah dua kebijakan disambut hangat oleh organisasi HAM, HRW. Selebihnya Indonesia mendapat rapor merah dalam menuntaskan kasus pelanggaran HAM dan intoleransi.
Pemerintah dinilai gagal mewujudkan perlindungan HAM seperti yang dijanjikan Jokowi. Kaum minoritas agama tercatat masih sering menghadapi diskriminasi dan intimidasi dari otoritas pemerintahan dan ancaman kekerasan dari kelompok militan Islam. Sementara tahanan politik di Papua dibui hanya karena menyuarakan pendapat secara damai. Pemerintah Jokowi menutup mata tentang maraknya penganiayaan terhadap kelompok minoritas agama dan seksual.
Penilaian kritis terhadap kepemimpinan Jokowi terkait penegakan HAM ini terkandung di dalam laporan setebal 643 halaman tentang kondisi pelanggaran HAM di lebih dari 90 negara yang dirilis Human Rights Watch baru baru ini. Penilaian kritis ini memperkuat kesimpulan, empat tahun Jokowi berkuasa, kondisi kinerja di bidang HAM buruk dan gagal.
CR: Heni Pratiwi