Jakarta, Teritorial.Com – China dan Rusia akan menggelar latihan militer bersama. Latihan perang ini berlangsung di lima wilayah termasuk Laut Jepang, Laut Bering, dan Laut Okhotsk. Rusia juga mengajak China bergabung. Lantas, siapa yang jadi musuhnya?
Beberapa divisi pasukan Rusia, termasuk divisi Pasifik dan armada utara, berpartisipasi dalam latihan perang Vostok 2018 yang digelar pada 11-17 September.
Secara total ada sekitar 300.000 pasukan, 1.000 pesawat, 36.000 kendaraan tempur, dan sebanyak 80 kapal akan terlibat, menurut Kementerian Pertahanan Rusia.
Operasi pelatihan militer ini besarannya mengalahkan latihan terbesar yang pernah dilakukan Uni Soviet tahun 1981. Namun para pengamat seperti dari European Council on Foreign Relations (ECFR) mengatakan tidak terkejut dengan besarnya latihan ini.
Pengamat senior kebijakan militer dari ECFR, Gustav Gressel, mengatakan latihan militer Rusia ini sebagai “salah satu pengarahan strategis” yang dilakukan setiap tahun dan merupakan “bagian dari rencana manuver reguler.”
Persiapan perang dunia?
Senada dengan Gressel, Sarah Pagung, seorang pakar Rusia dari Dewan Hubungan Luar Negeri Jerman mengatakan “Latihan militer yang digelar di (negara) timur selalu lebih besar daripada yang digelar oleh negara-negara barat,” kata Pagung kepada DW.
“Hal ini karena di barat ada Perjanjian Dokumen Wina yang membatasi jumlah pasukan yang terlibat dalam sebuah latihan. Di timur tidak ada pembatasan semacam ini,” ujarnya lebih lanjut.
Perjanjian Dokumen Wina tentang angkatan bersenjata konvensional di antara anggota Organisasi untuk Keamanan dan Kerjasama di Eropa (OSCE) diberlakukan tahun 1990 dan terakhir direvisi tahun 2011.
Tujuannya adalah untuk memastikan pembangunan keamanan terkait kemampuan militer para anggotanya dan pembatasan pengerahan pasukan Rusia di wilayah barat negara itu.
Ukuran latihan perang Rusia tahun ini mungkin juga ada hubungannya dengan tujuan operasi itu, kata Pagung.
“Melihat seberapa besar pasukan yang terlibat, jelas bahwa Rusia sedang berlatih untuk perang dunia,” katanya, seraya menambahkan bahwa pasukan di wilayah barat Rusia juga telah dimobilisasi.
China terlibat
Para ahli secara khusus mencatat keterlibatan China tahun ini, meskipun dengan pasukan yang relatif sedikit, yaitu hanya 3.000 tentara dan beberapa pesawat serta helikopter.
Rusia dan China telah berlatih bersama sekitar 30 kali sejak 2003, tetapi ini adalah yang pertama bagi China untuk berpartisipasi di tingkat strategis. Kehormatan itu sejauh ini hanya diperuntukkan bagi negara sekutu dekat, seperti Belarusia.
Sebagai negara tetangga yang berbatasan langsung, Gustav Gressel mengatakan kalau China telah lama berkeinginan agar bisa diundang dalam latihan militer yang bersifat ‘hardcore’, dan bukan hanya dalam tingkat kebijakan atau pelatihan kontrateror. Tahun ini keinginan itu jadi kenyataan.
China mungkin memiliki peralatan yang lebih modern, tambahnya. Namun “tertinggal jauh dari Rusia di bidang pelatihan perwira, dan pergerakan, penyebaran dan pengkomandoan pasukan.” China juga dinilai bisa mengambil keuntungan dari pengalaman perang Rusia di Suriah dan Ukraina, Gressel menjelaskan.
Mimpi buruk bagi AS?
Eratnya hubungan militer antara Rusia dan China adalah “mimpi buruk” bagi AS, menurut Gressel. Kerjasama ekonomi dan militer antara dua kekuatan besar ini telah berkembang selama beberapa waktu.
“Bagi kepemimpinan Rusia, keamanan berarti adalah bagaimana caranya mengamankan rezim,” kata Gressel. Selama ini Kremlin memandang barat yang dipimpin AS sebagai musuh utama, dan daya tarik budaya Barat dilihat sebagai bahaya.
Meskipun China dapat menimbulkan ancaman militer yang lebih besar, Gressel mengatakan itu tidak mengancam stabilitas internal Rusia dengan cara yang sama.
“Karenanya China bukan penantang strategis. Melainkan Barat,” katanya.
Namun Sarah Pagung tidak setuju dengan istilah “mimpi buruk.” “Ini jelas menunjukkan kekuatan Rusia terhadap AS dan juga persepsi status adidaya,” katanya. “Tapi manuver semacam ini relatif normal dilakukan semua (negara dengan) kekuatan besar.”