Jakarta, Teritorial.Com – Berbagai penilaian mengenai peran strategis Indonesia dalam diskursus Indo-Pasifik tentunya menjadi sebuah pembahasan yang menarik perhatian hampir seluruh pengambilan keputusan di Indonesia. Menyadari bahwa Indo-Pasifik merupakan peluang bagi Indonesia, Kementerian Luar Negeri jauh-jauh hari dalam acara bedah buku “Indonesia’s Foreign Policy and Grand Strategy in the 21st Century: Rise of an Indo-Pacific Power telah menggarisbawahi, Indonesia harus hadir menjadi negara yang turut memainkan peran penting terhadap fenomena pergeseran geopolitik tersebut.
Selain itu seoarang akademisi sekaligus analis senior politik luar negeri Indonesia, Philips Vermonte Direktur Eksekutif Centre For Strategic and International Studies (CSIS), menyatakan bahwa kaitanya dengan Indo-Pasifik tentu Indonesia mampun memainkan posisi ganda, baik hadir sebagai “single player” dengan menitikberatkan pada posisi geografis Indonesia yang sangat strategis bagi terbentuknya Indo-Pasifik, maupun dalam kerangka regional yakni melalui Association of Southeast Asian Nations (ASEAN).
Adapun mantan Meteri Luar Negeri Indonesia Bersatu Jilid II Marty Natalegawa lewat sebuah artikel di Strait Times menyatakan bahwa sudah sewajarnya jika Indonesia menjadi penentu sekaligus negara berpengaruh terhadap pencapaian visi misi Indo-Pasifik. Baginya, penekanan geografis sebagai paradigma utama tentang makna pergeseran geopolitik Asia-Pasifik menuju Indo-Pasifik akan sulit terwujud dengan tanpa keterlibatan Indonesia. Hal tersebut diungkapkan Marty lantaran secara geografis keberadaan selat Malaka merupakan kunci dari pada Indo-Pasifik dimana selat Malaka layaknya sebuah “gerbang” yang mempertemukan Pasifik Barat dengan Samudera Hindia.
Secara tidak langsung, diskursus Indo-Pasifik sama halnya dengan kembali menggali potensi letak geografis Indonesia. Dimana kita ketahui bersama bahwa Selat Malaka memegang peranan pernting sebagai Sea lines of communication (SLOC) yang menjadi penghubung jalur pelayaran internasional dari Pasifik Barat menuju Samudera Hindia bahkan sebaliknya. Dalam diskursus Indo-Pasifik yang didalamnya mengusung konsep Free Open Indo-Pacific (FOIP) dijadikan sebagai prinsip dasar yang memfasilitasi kepentingan setiap negara-negara di kawasan baik dalam segi akses geografis maupun regulasi. Dengan demikian, tentunya banyak yang bisa dimanfaatkan oleh Indonesia dalam hal pelayanan, jasa tranportasi, shipping dll.
Tantangan Masa Depan Sea Power Indonesia
Menjadi salah satu penentu akan keberhasilan diskursus Indo-Pasifik, sudah merupakan kewajiban bagi Indonesia untuk semakin memberikan perhatian lebih terhadap perkembangan luas wilayah laut atau besaran perairan yang berada dalam legitimasi kedaulatan Indonesia. Bicara Selat Malaka sebagai titik sentral dari pertemuan kepentingan geografis antara Pasifik Barat dan Samudera Hindia mengacu pada prinsip mendasar Indonesia sebagai negara kepulauan (Archipelagic state).
Fenomena tersebut menunjukan bahwa wilayah laut telah berkembang menjadi aset nasional, sebagai wilayah kedaulatan, ekosistem, sumber daya yang digunakan sebagai sumber energi, sumber makanan serta berperan sebagai media perhubungan antar pulau, kawasan perdagangan, pertukaran sosial budaya dan berperan sebagai media wilayah pertahanan sekaligus media untuk membangun pengaruh kepada pihak asing (Marsetio, 2014).
Dengan begitu, penekanan terhadap Sea Power tentunya menjadi agenda utama pemerintah Indonesia dalam menghadapi fenomena persaingan strategis negara-negara di kawasan hingga transformasi geopolitik bersamaan dengan perdebatan mengenai diskursus tersebut. Berbicara Sea Power, tentunya terdapat beberapa komponen yang harus terpenuhi oleh Indonesia seabagi negara Archipelagic state. Kekuatan militer dalam hal ini menjadi kebutuhan primer dimana aspek terpenting daripada stabilitas keamanan sebuah sebuah wilayah kedaulatan terletak dari sejauhmana kepemilikan tershadap kekuatan militer suatu negara.
Contohnya sebagai garda terdepan menjaga kedaulatan wilayah perairan Indonesia, TNI Aangkatan Laut dalam menjalankan fungsinya yakni Anti-Access Area-Denial (A2AD) kian diperkuat dengan melakukan sejumlah kebijakan baik yang bersifat peningkatan terhadap mutu dan kualitas tagtis operasional maupun modernisasi alutsista. TNI AL sejauh ini mengalami peningkatan yang cukup signifikan dalam hal penambahan unit kapal selam yang dua diantaranya telah berhasil didatangkan dari Korea Selatan hasil kerja sama antara PT PAL Indonesia bekerja sama dengan perusahaan galangan Korea Selatan, Daewoo Shipbuilding and Marine Engineering (DSME).
Diresmikan oleh Kementerian Pertahanan RI, dua Kapal selam Indonesia KRI Ardedali 404 dan KRI Nagapasa 403 kini telah bertugas sebagaimana mestinya menjaga kedaulatan wilayah perairan Indonesia. Adapun tersisah satu uni lainnya yakni KRI Aluguro 405, masih dalam proses pengerjaan yang diproduksi oleh PT PAL Indonesia. Selain itu, pada tanggal 26 September dikabarkan TNI Angkatan Laut dipimpin oleh Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana TNI TNI Siwi Sukma Adji meresmikan Shipnaming tiga unit kapal perang yakni dua unit Kal Latih 45 M di galangan PT Karimun Anugrah Sejati dan satu unit kapal Bantu Cair Minyak (BCM) dari galangan PT Batamec bertempat di galangan PT Karimun Anugrah di Batam, Kepulauan Riau.
Penambahan-penambahan sejenisnya masih akan terus berlanjut sebagaimana yang telah tertera dalam proyeksi anggaran budget pertahanan Indonesia yang dijelaskan secara detail dalam Minimum Essential Force (MEF). Namun bicara Sea Power bukan merupakan kekuatan Angkatan Laut semata tetapi memiliki arti lebih luas yang berkaitan dengan kontrol terhadap perdagangan dan perekonomian internasional melalui laut, penggunaan dan kontrol terhadap sumberdaya laut, penggunaan kekuatan Angkatan Laut dan perekonomian maritim sebagai instrumen diplomasi, penangkalan, dan pengaruh politik pada masa damai dan pengoperasian Angkatan Laut pada masa perang. Dimana tokoh geopolitik terdahulu Geoffrey Till telah mengingatkan bahwa terdapat empat komponen dasar persyaratan suatu Negara untuk memiliki Sea Power yaitu:
- Masyarakat yang memiliki preferensi terhadap laut (maritim community),
- Sumberdaya maritim (sumberdaya laut, infrastruktur,
perkapalan), - Posisi geografis, dan
- Political will pemerintah.
Indonesia merupakan negara yang memilki keempat komponen dasar yang disebutkan oleh Geoffrey Till. Poin pertama terkait kesadaran masyarakat terhadap preferensi laut atau prespektif kemaritiman, sejauh ini terus diupayakan pemerintah beserta para stakeholder lainnya terutama TNI AL. Dalam buku berjudul “Maritime Domain Awareness” 2017 Karya mantan Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI (Purn) Marsetio disebutkan bahwa Indonesia dalam satu dekade terakhir telah menunjukan kemajuan yang luar biasa terhadap kesadaran terhadap domain maritim. Dimana hal ini akan terus meningkat sejalan dengan upaya keras yang dilakukan oleh seluruh pihak yang bertanggungjawab terhadap kemaritiman seperti TNI AL, Bakamla. KKP, hingga Kemenkomaritim, Polri dll.
Pembina terhadap desa-desa maritim yang menghuni pulau terdepan di Indonesia kian mendapat perhatian khusus dengan berbagai kebijakan yang menunjang tidak hanya bagi keberlangsungan hidup mereka, namun juga terkait tentang bagaimana eksistensi mereka yang tentunya sangat berperan penting dalam melegitimasi kedaulatan Indonesia di wilayah kepulauan terdepan di Indonesia. Kemudian dalam tahapan kedua, yakni Posisi geografis, tentunya sudah tidak lagi menjadi hambatan bagi Indonesia. Diskursus Indo-Pasifik pada intinya bagaikan dua mata pisau yang berlainan, yakni besar kemungkinan posisi geografis tersebut menghadirkan peluang sekaligus tantangan tersendiri bagi Indonesia jika tidak dikelola dengan sebaik-baiknya.
Dua poin selanjutnya yakni sumber daya maritim dan political will pemerintah, hingga saat ini tengah diupayakan guna membangun visi misi Indonesia sebagai poros maritim dunia. Keinginan besar pemerintah telah mengakomodir berbagai bentuk pembangunan fasilitas dalam menunjang aktivitas masyarakat terutama pelabuhan dan unit kapal sebagai sarana dan prasarana dalam menunjang kehidupan masyarakat yang lebih baik, dan juga sebagai akses laut yang mempermudah segala bentuk aktivitas dan transportasi perkapalan baik dalam keperluan bisnis, perdagangan maupun layanan jasa.
Indo-Pasifik sebagai sebuah kenyataan yang dihadapi Indonesia terkait pergeseran geopolitik, harus menjadi catatan penting terkait apakah dengan upaya pembangunan Sea Power yang selama ini ditunjukan oleh pemerintah sudah berada pada titik yang sepadan degan proyeksi besar Indonesia menghadapi fenomena Indo-Pasifik. Adapun jawabannya dari pertanyaan tersebut tergantung tentang bagaimana Indonesia mempersepsikan Indo-Pasifik. Akan sangat disesali jika peluang tersebut berlalu begitu saja dengan tanpa persiapan dan kemampuan yang memadai bagi Indonesia yang secara tidak langsung diuntungkan dengan adanya kemunculan diskursus tersebut.
Adapun terkait pada persoalan akses strategis tentu satu-satunya yang menjadi cerminan bagi Indonesia adalah soal kinerja dari TNI AL. Tidak hanya menjaga kedaulatan di wilayah laut Indonesia, hal tersebut tentunya akan sangat berkaitan dengan upaya menjaga stabilitas keamanan kawasan. Hal ini menjadi penting lantaran ketebukaan akses maritim dengan yang menghubungkan kedua samudera tersebut malalui SLOC yakni selat Melaka, kemungkinan akan membuka potensi ancaman yang tidak mudah. Persaingan strategis AS-China dalam hal penguasaan dominasi laut lantaran besinggungan langsung dengan konflik Laut China Selatan membutuhkan kewaspadaan dan penanganan yang efektif terutama dari segi kebijakan pertahanan negara. Selain itu, TNI AL dipastikan semakin disibukan dengan potensi ancaman non-tradisional, seperti pembajakan kapal, Illegal Unreported Unregulated Fishing (IUU Fishing) , penyelundupan, human trafficking, drugs dan yang tidak kalah penting adalah ancaman terorisme maritim.
Untuk itu perlu dipahami bahwa, membuka tabir Indo-Pasifik sebagai peluang bagi Indonesia sama halnya dengan menuntut perang penting Indonesia melalu kemampuan militer yang dalam hal ini TNI AL untuk terus bertransformasi, melakukan inovasi-inovas terbarukan,serta membangun koordinasi serta penanganan terpadu antar sesama badan ataupun institusi penegak hukum lainnya yang juga bertanggungjawab terhadap keamanan di laut sesuai dengan tugas pokoknya masing-masing.
Kerja sama terkait penanganan dalam menciptakan keamanan maritim juga merupakan hal yang sangat krusial bagi TNI AL, hal tersebut mendesak pemerintah Indonesia guna membuka kerja sama yang komperhansif antar aparat penegak hukum di laut dengan beberapa negara tetangga ASEAN sebagaimana yang telah eksis sebelumnya baik melalui mekanisme multilateral maupun regional. Joint Patrol, Joint military exercise, Vessel visit, Military Exchange bahkan Naval Simposium menjadi langkah-langkah yang setidaknya akan selalu menjadi alternatif cara yang dapat diandalkan mengingat akan kompleksitas ancaman keamanan maritim yang tentunya juga akan terus bertransformasi seiring dengan perubahan dinamika geopolitik Indo-Pasifik.