Jakarta, Teritorial.Com – Setelah secara langsung maupun tidak langsung memporak porandakan negara mayoritas muslim yang kaya sumber daya alam berbasis mineral. Amerika Serikat melancarkan agresifitas baru. Di bawah slogan America First, Presiden Donald Trump menohok China dan Russia, pesaing-pesaing utamanya. Washington menaikkan pajak impor atas produk-prouk impor buatan China, serta mengenakan sanksi terhadap negara-negara yang mengimpor peralatan militer Russia.
Presiden Trump menuntut China agar mengurangi defisit yang mencapai US$200 miliar. Atas dasar itu, Washington sampai dua kali mengenakan tarif impor masing-masing 25% atau sejumlah US$25 miliar terhadap berbagai produk buatan China. Donald Trump juga mengancam keluar dari Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) karenaWTO dibentuk untuk menguntungkan semua orang kecuali AS… Kami kehilangan tuntutan hukum, hampir semua tuntutan hukum di WTO.”
Ternyata di dibawah Trump pengangguran turun menjadi 3,9 persen, pekerjaan di sektor manufaktur tumbuh, dan Produk Domestik Bruto (PDB) yang naik 4,2 persen pada kuartal II 2018. Kondisi ini membuat The Fed kemungkinan menaikkan sukubunga acuan pada Desember 2018. Setelah ‘selesai’ di ranah ekonomi, Trump menyatakan negara ingin menarik diri dari persetujuan pelarangan rudal jarak menengah-pendek yang diluncurkan dari darat dengan jarak 311 hingga 3.420 mil. Persetujuan itu ditandatangani Presiden Reagan dan pemimpin Russia Mikhail Gorbachev.
Russia mengkhianati perjanjian itu dan lagi China tidak ikut serta. AS akan mengembangkan persenjataan yang dilarang perjanjian tersebut, lanjutnya. Vladimir Putin membalas dengan menyatakan, negara-negara-negara Eropa yang menjadi pangkalan senjata-senjata baru itu akan menjadi sasaran serangan balasan. “Saya tidak dapat memahami, mengapa Eropa ditempatkan pada resiko yang besar.”
Penasehat keamanan nasional AS John R.Bolton, setelah bertemu dengan Putin di Moskow pada Selasa, 26/10/2018, menyatakan Russia sudah menempatkan Rudal SSC-8 yang mampu menghantam negara-negara Eropa. Rencana Trump menimbulkan perpecahan di kalangan anggota Organisasi Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Banyak pemimpin negara Eropa yang menolak rencana Trump, sekalipun mereka menghadapi ancaman SSC-8.
Sekjen Nato Jens Stoltenberg menyatakan, negara anggota tidak menyukai penempatan senjata-senjata baru. “Kami tidak menginginkan Perang Dingin baru. Saya tidak membayangkan penempatan lebih banyak senjata baru di Eropa sebagai jawaban terhadap Rudal Russia yang baru.” Sebetulnya, Presiden Barack Obama empat tahun menuduh Russia melanggar perjanjian dengan menempatkan SSC-8. Pertanyaan, mengapa baru sekarang tuduhan itu diungkapkan?
Bukan kebetulan jika Trump, Bolton dan Menlu Mike Pompeo dikenal sebagai penganut garis keras. Mereka juga pro bisnis, baik bisnis industri militer maupun non militer. Dengan demikian setiap kebijaksanaannya bernuansa meningkatkan permintaan atas produk-produk militer dengan berbasiskan penciptaan ketegangan.
Menanggapi perkembangan ini, Indonesia selayaknya mempunyai pemimpin yang mempengaruhi lingkungan. Diam-diam atau terus terang, negara-negara anggota Asean mengharapkan kepemimpinan Indonesia sebagai negara terbesar.
Sjarifuddin.Hamid Pemimpin Redaksi Teritorial.Com