Taheran, Teritorial.com – Baru saja dunia disibukan dengan memanasnya konflik Israel-Palestina, Timur Tengah kini kembali bergejolak dengan adanya demonstrasi besar-besaran anti pemerintah di Iran sejak rabu 27/12/2017 lalu. Masshad sebagai kota terbesar ketiga di Iran setelah Teheran dan Qom, memjadi awal dari aksi unjuk rasa besar-besaran dimulai. Para demonstran kemudian menyebar dan pecah di sejumlah kota di Iran sejak dua hari terakhir.
Dilansir dari kantor berita BBC 1/01/2018, para demonstran memadati hingga memblokir jalan sambil meneriakan slogan antipemerintah dan menentang ulama tertinggi Iran Syeikh Ali Khamenei. Di Kota Qom, demonstran berteriak “Mati Hizbullah”. Aksi swepping pemerintah terhadap para demonstran antipemerintah hingga memakan korban tiga orang tewas di tempat dan ratusan lainnya luka-luka bahkan diantara mereka banyak yang mengalami luka berat. Dan terdapat puluhan lainnya ditangkap aparat.
Ada juga yang berteriak “Syaid Ali Khamenei Malulah Anda, Lepaskan Negeri Kami.” Ungkapan “Not Gaza. Not Lebanon. I Give My Life for Iran” mengemuka selama demonstrasi berlangsung. Menurut laporan dari Peoples Mojahedin Organization of Iran (PMOI/MEK), demonstrasi pecah di belasan kota pada Jumat (29/12). Di antaranya Qom, Ahvaz, Isfahan, Zahedan, Qazvin, Kermanshah, Quchan, Sari, Qaemshahr, Rasht, Hamedan, dan Sabzevar. Apakah ini awal revolusi Islam Iran jilid kedua?
Protes politik secara terbuka jarang terjadi di Iran, yang disebabkan oleh ketidakpuasan atas tingginya tingkat pengangguran, inflasi, dan dugaan korupsi. Beberapa unjuk rasa telah membawa isu-isu politik termasuk keterlibatan Iran dalam konflik regional seperti konflik di Suriah, Irak, dan Palestina.
Faktor ekonomi
Pangkal persoalan aksi ini adalah ekonomi. Mirip dengan awal-awal Arab Spring yang menghempas Tunisia di mana tingkat kemiskinan tinggi, pengangguran banyak, dan kesenjangan menganga. Sementara harga kebutuhan pokok begitu tinggi dan biaya hidup semakin tak terjangkau kaum miskin. Fenomena ini pun terjadi di Iran saat ini ketika sebagian rakyat susah secara ekonomi sementara negara begitu sibuk mengurusi urusan eksternal.
Secara umum, perekonomian Iran sebetulnya membaik setelah sanksi dicabut menyusul kesepakatan nuklir Iran. Iran harus mengurangi pengayaan uraniumnya namun diperbolehkan menjual minyaknya ke pasar global. Iran juga boleh menaikkan produksi minyak, membeli pesawat angkut penumpang senilai miliaran dolar AS, serta melakukan transaksi keuangan dan pembiayaan dengan negara-negara lain.
Ekonomi sempat terangkat dengan pertumbuhan di atas 10 persen. Seiring waktu berjalan, bom ekonomi Iran tertahan di sepanjang 2017 ini. Dana Moneter Internasional (IMF) menyebut pertumbuhan ekonomi Iran tidak lebih dari 4 persen pada tahun ini.
Yang terjadi kemudian, tingkat pengangguran tetap tinggi mencapai 12,5 persen. Angka ini melampuai batas lazim rata-rata yang diakui dunia sekitar 5-6 persen. Ini berarti pengangguran naik 1,4 persen yang menyebabkan sekitar 3,2 juta warga Iran menganggur. Presiden Iran Hassan Rouhani berjanji akan membuka lapangan kerja baru bagi 850 ribu angkatan kerja pada 2018.
Inflasi versi pemerintah naik mendekati 10 persen. Harga makanan pokok dan telor naik 40 persen. Kekurangan beberapa makanan juga berkontribusi pada kenaikan harga dan kesulitan bagi banyak keluarga. Pada 10 Desember Presiden Rouhani menyampaikan rencana anggaran pendapatan dan belanja negara yang dinilai tidak memberikan solusi ekonomi. Kebijakan ekonomi Rouhani malah menyebabkan biaya hidup menjadi lebih mahal sementara dana untuk diberikan kepada organisasi keagamaan di luar Iran begitu tinggi.
Faktor eksternal
Pengunjuk rasa juga memprotes kebijakan Pemerintah Iran yang begitu getol terlibat aktif dalam konflik-konflik di kawasan, menggelontorkan duit ratusan juta dolar untuk lembaga-lembaga sosial keagamaan di luar Iran, dan begitu asyik mempersenjatai pemberontak di beberapa negara.
Tak heran jika slogan “Not Gaza, Not Lebanon, I Give My Life for Iran” terus diulang-ulang para demonstran. Mereka marah atas royalnya Iran kepada pemberontak Houthi di Yaman, sementara rakyat semakin susah hidupnya.
Iran bersama Rusia secara langsung dan tidak langsung terlibat perang proksi dengan Arab Saudi-AS di Suriah, Lebanon, Yaman, hingga Gaza. Krisis politik di Lebanon tak lepas dari perang Iran dan Saudi sampai muncul drama pengunduran PM Lebanon Saad al-Hariri. Tapi kemudian Hariri menganulir pengunduran dirinya itu.
Presiden AS Donald Trump ikut memberikan komentar atas apa yang terjadi di Iran. Dalam cuitannya pada Jumat (29/12) malam, Trump mendukung demonstrasi warga Iran di seluruh pelosok negeri. Trump menyebut banyak masyarakat Iran yang menginginkan terjadinya perubahan. “Pemerintah Iran harus menghormati hak rakyat mereka, termasuk hak untuk mengekspresikan diri mereka sendiri. Dunia sedang menonton! #IranProtests,” kata Trump.
Mantan koresponden Newsweek dan editor diIranwire, Maziar Bahari, menulis aksi unjuk rasa rakyat Iran saat ini belum bisa dikatakan sebagai sebuah revolusi jilid kedua. Aksi unjuk rasa ini, tulis Maziar, semakin meneguhkan bahwa lawan terberat penguasa Iran saat ini bukanlah negara-negara asing atau konspirasi imperialis zionis Yahudi. “Penguasa Iran sekarang menyadari bahwa bahaya nyata yang mengancam kekuasaan mereka ada di rumah mereka saat ini,” kata Maziar dalam kolomnya di Washington Post, Sabtu (30/12).
Selama 40 tahun hidup di bawah Republik Islam Iran, rakyat Iran telah belajar bagaimana memperjuangkan suara mereka melalui jalan damai. Rakyat Iran menyadari Pmerintah Iran saat ini merupakan musuh utama mereka. Pemerintah Iran, jelas Maziar, tidak hanya gagal dalam ekonomi, mereka juga terlibat skandal korupsi besar. (SON)