Jakarta, Teritorial.Com – Dalam era senjata nuklir, yang penting adalah apa yang berlangsung sebelum perang tercetus bukan apa yang terjadi setelah perang nuklir tercetus. Pandangan serupa itu sangat benar bila membaca cerita di bawah ini, Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Hiroshima dengan kekuatan ledak kira-kira 15 kiloton pada 6 Agustus 1945. Sekitar 80 ribu hingga 140 ribu orang tewas seketika, sejumlah 100 ribu lainnya luka parah.
Ledakan bom menciptakan panas lebih dari sejuta derajat Celsius. Gelombang panas dari ledakan itu memporak porandakan jendela-jendela 10 mil jauhnya dan dapat dirasakan dari jarak 37 mil.Seorang wanita yang tiarap ketika gelombang panas melanda, kulit punggungnya robek. Tanggal 9 Agustus 1945, bom atom seberat 21 kiloton diledakkan di atas Nagasaki. Hampir 24 ribu orang tewas dan 23 ribu lainnya terluka. Kenapa korban lebih sedikit? Nagasaki merupakan kawasan perbukitan. Tipe bomnya lebih rumit dari yang dijatuhkan di Hiroshima.
Senjata Nuklir Buat Apa
Senjata nuklir merupakan status simbol, indikator atau menunjukkan negara yang bersangkutan sebagai negara adikuasa. Amerika Serikat yang pertama kali mengembangkan senjata nuklir dengan nama Proyek Manhattan pada awal 1940-an. Uni Soviet mengikutinya pada 1949, Inggris tahun1952, Prancis (1960), China (1964), Israel (1966/67), India (1974 dan 1998), Pakistan tahun 1998 dan Korea Utara tahun 2006. Iran kemungkinan mempunyai pula senjata nuklir. Walaupun mantan Menlu AS Henry Alfred Kissinger berpendapat bila ingin damai bersiaplah untuk perang, namun peran senjata nuklir sebagai intrumen penjera dianggap ada dan tiada.Washington dan Kremlin punya senjata nuklir, tetapi intervensi secara kasar dan halus tetap terjadi.
Uni Soviet menyerbu Afghanistan sekalipun tahu Amerika Serikat mempunyai senjata nuklir.Trump mendukung politikus oposisi Venezuela, Juan Guaido, menentang Presiden Nicolas Maduro yang didukung Russia dan China. Argentina menyerbu Kepulauan Falkland tahun 1982, sungguhpun tahu Inggris punya senjata nuklir. Masih banyak contoh serupa. Sekalian contoh di atas menunjukkan, perang konvensional kembali menggantikan ancaman perang nuklir, setelah penggunaan bom atom di Jepang. Nah, ketika AS kali ini akan menarik diri dari Pakta INF, apakah ancaman perang nuklir uncul lagi?
Penangguhan Pakta Nuklir
Resiko perang nuklir terungkap kembali belakangan ini, setelah Presiden Donald Trump menyatakan akan menarik diri dari Pakta Nuklir Jarak Menengah (INF). Sementara Menlu AS Mike Pompeo pada Selasa, 4/12/2018 menambahkan pengunduran diri AS dari Pakta INF akan dilakukan bila Russia tidak membongkar fasilitas rudal Novator dalam waktu 60 hari, terhitung Februari 2019. Dalih Amerika Serikat Rusia telah melanggar perjanjian INF itu dan Sekjen NATO Jens Stoltenberg juga sepakat serta menegaskan NATO tidak mencari konfrontasi tetapi siap membela diri dari setiap ancaman.
AS mengungkapkan Russia memiliki rudal baru jarak menengah yang disebut Novator 9M729 dan oleh NATO diberi kode SSC-8..Berkat senjata baru ini, Russia mampu melancarkan konvensional atau nuklir terhadap anggota-anggota NATO dalam waktu singkat. Russia hanya memberi sedikit informasi tentang Novator, tetapi membantah melanggar kesepakatan. Pakta itu ditandatangani Presiden Ronald Reagan dan Pemimpin Uni Soviet Mikhail Gorbachev pada 1987. Pakta melarang semua rudal nuklir maupun nuklir jarak pendek dan menengah yakni, 500 hingga 5.500 km, kecuali yang diluncurkan dari laut.
Russia juga mengutarakan penangguhan pakta tersebut sebagai reaksi atas pernyataan Trump. Presiden Vladimir Putin kemudian meminta para anggota kabinetnya tidak memulai perundingan perlucutan senjata dengan Amerika Serikat. Putin memperingatkan Russia akan memberi tanggapan sejenis bila AS menempatkan rudal nuklir di Eropa. “Negara-negara Eropa yang ditempati missil itu akan beresiko diserang Russia.” Penarikan dari perjanjian mengingatkan sikap Trump pada 8 Mei 2018yang secara sepihak menarik diri dari Perjanjian Nuklir Iran. Perjanjian yang membatasi pengembangan nuklir Iran.
Terdapat dugaan sekalian pembatalan berkat pengaruh penasehat keamanan John Robert Bolton yang menjabat posisi itu sejak 9 Apri 2018. Dia berpendapat penandatanganan telah menghambat pengembangan senjata nuklir Amerika Serikat. Secara umum, Donald Trump berupaya mengembalikan posisi negaranya yang tererosi dengan mendesak para mitranya, seperti Jepang, Korea Selatan dan Eropa, turut menanggung anggaran militer. Kemudian mengalahkan Cina melalui tekanan ekonomi, mengembalikan Amerika Selatan sebagaimana dikehendaki dalam Doktrin Presiden James Monroe tahun 1823.
Sjarifuddin Hamid, Pemimpin Redaksi Teritorial.Com