Jakarta, Teritorial.Com – Pernyataan Jokowi dengan merujuk hasil survey Global Firepower (GFP) kembali dipertanyakan. Indonesia memang berada di peringkat 15 sebagai negara dengan kekuatan militer terbaik di dunia, atau terbaik nomor satu di ASEAN, belum seutuhnya dapat dibenarkan lantaran GFP bagian beberapa pengamat pertahanan dianggap tidak objektif.
Semakin bermasalah ketika survei GFP yang dipakai kubu Jokowi sering dianggap bermasalah oleh para analis militer. GFP hanya menghitung angka secara kasat mata, tanpa melihat konteks apa yang dihitung. GFP sering menempatkan satu negara yang memiliki 100-an tank usang peninggalan Soviet akan mendapatkan posisi lebih tinggi ketimbang negara yang mempunyai 90 tank modern.
Survei GFP Bermasalah baik Dalam hal Metodologi
Metode statistik yang serba pukul rata itu membuat posisi Indonesia, menurut GFP, bisa lebih tinggi ketimbang Israel. Apakah adil jika membandingkan tank AMX-13 milik TNI AD, yang pernah dipakai pada Operasi Trikora pada 1960-an, disamakan dengan Tank Merkava milik Israel yang diproduksi tahun 2000-an? Atau, Jet F-35 milik Singapura bikinan tahun 2015 dan F-5 milik Indonesia buatan 1965 tentunya tidak dapat disetarakan dalam satu perhitungan yang setara.
Evan Laksmana, peneltiti CSIS Indonesia, menyebut kelemahan GFP bukan hanya kualitas data tapi jumlah 55 indikatornya dianggap terlalu banyak. Menurut Evan, secara statistik dan metodologi, survei GFP itu sangat bermasalah. Masalah lain adalah GFP tak pernah memapar sumber data, indikator yang tak dijabarkan secara rinci, termasuk pemilik situs dan siapa di belakang mereka.
Mengurutkan kekuatan militer sebuah negara yang hanya berpatok pada alutsista, kata Evan, amat tak berguna. Keberadaan alutsista canggih dan modern memang penting, tapi hal itu mesti dibarengi dengan efektivitas militer yang mumpuni. Hal tersebutlah yang dilupakan oleh Jookowi dalam mendeskripsikan atau memberikan pemahaman secara umum dan mendasar baik kepada lawan debatnya maupun publik terkait kekuatan real TNI saat ini.
Budget Pertahanan, Tolak Ukur Kekuatan TNI ?
Selain itu kemampuan kesiapan (readiness) TNI menghadapi ancaman perang justru lebih didominasi oleh pernyataan Prabowo. Dimana dalam kesempatan bicara Prabowo menyebutkan tidak hanya permasalahan sebatas budget anggaran pertahanan namun juga menyentuk pada hal-hal teknis yang dipengaruhi besar mulai dari ketersediaan alutsista yang memedai hingga kemampuan personel anggota dalam menjalan operasi tempur di lapangan.
Curie Maharani Savitiri, koordinator Penelitian untuk Transformasi Pertahanan di Pokja 8, menyebut kesiapan TNI bisa dilihat dari dua sisi, yaitu pemenuhan TOPP (tabel organisasi, personel, peralatan) atau MEF (Minimum Essential Force; proses modernisasi alutsista Indonesia sejak 2007). Curie memuji estafet yang dilakukan Jokowi sudah cukup baik, terutama pemenuhan alutsista produksi dalam negeri. Ia menyebut akan jadi hal semu jika kesiapan TNI tinggi tapi semua alutsista impor.
Adapun pernyataan analis senior LIPI yang merupakan lulusan Universitas Pertahanan Diandra Megaputri Mengko menilai bahwa Masalah lain adalah soal kesejahteraan prajurit. Masalah elementer ini turut andil memengaruhi kesiapan TNI saat terjadi perang. Mengacu pada slot anggaran, Kementerian Pertahanan mendapatkan kue APBN kedua terbesar setelah Kementerian Pekerjaan Umum. Pada APBN 2019, Kemenhan mendapat alokasi Rp108,36 triliun. Dan, biasanya distribusi untuk gaji prajurit dan pegawai menghabiskan 40-45 persen anggaran.