Moscow Khawatir, NATO Jadikan Konflik Krimea Perlombaan Senjata Baru

0

Krimea, Teritorial.Com – Keinginan rakyat Krimea kembali bergabung dengan Rusia melalui referendum demokratis pada tahun 2014 menjadi pusat perhatian dunia. Bagaimana tidak, usulan Krimea tersebut angsung disikapi oleh NATO dengan ancaman terhadap Rusia, bahkan NATO dengan dalih “pencegahan” telah menempatkan pasukan siaga yang dilengkapi dengan peralatan tempur siap perang berjaga di sejumlah titik perbatasan negara-negara Eropa timur.

Dalam sebuah wawancara dengan media Jerman, Sekretaris Jenderal NATO Anders Fogh Rasmussen menyebut bahwa unifikasi Krimea melalui referendum yang demokratis itu sebagai “pencaplokan” wilayah oleh Rusia. Terkait dengan itu, Rasmussen mengkritik negara-negara anggota NATO yang telah memotong anggaran pertahanan mereka sebesar 40%, dan mengingatkan bahwa Rusia telah meningkatkan anggaran pertahanannya sebesar 30%.

Rupanya krisis ini dengan cepat dimanfaatkan oleh AS melalui tangan NATO untuk meningkatkan eskalasi militer di wilayah tersebut – terutama untuk menekan negara-negara Eropa Barat agar meningkatkan anggaran pertahanan mereka sedikitnya 2% dari PDB. Sambil menyelam minum air, Washington dengan mulus akhirnya dapat menjual sistem persenjataaannya untuk pertahanan Eropa.

Jadi tidak mengherankan bila baru-baru ini Komando Eropa mengumumkan rencana mereka untuk menempatkan sistem anti-rudal THAAD di Rumania pada musim panas ini. Bukan itu saja, NATO juga mengumkan rencana mereka untuk memperbanyak latihan militer dan patroli di laut Hitam. Dalam posisi tersudurkan, Moscow khawatir bahwa upaya NATO tersebut mendorong Rusia untuk terseret dalam arus Perlombaan Senjata Baru atau Perang Dingin Baru (New Cold War).

Sebagai catatan, INF Treaty (The Intermediate-Range Nuclear Forces Treaty) adalah sebuah perjanjian kontrol senjata antara AS dan Uni Soviet pada 8 Desember 1987 – antara Presiden AS Ronald Reagan dan Sekretaris Jenderal Soviet Mikhail Gorbachev – yang tujuannya menghapuskan semua rudal balistik darat, rudal jelajah, dan peluncur rudal darat kedua negara yang memiliki jangkauan 500–5.500 km.

Namun, pada 20 Oktober 2018, Presiden Trump menarik diri dari perjanjian dan menuduh bahwa Rusia tidak patuh. Washington kemudian secara resmi menangguhkan perjanjian pada 1 Februari 2019, dan Rusia melakukannya pada hari berikutnya. Jadi memang sejak awal, AS selalu menekan Rusia dengan berbagai alasan. Ketika Moskwa kemudian menggelar sistem senjata serupa ke wilayah Krimea dan sekitar Laut Baltik – maka serempak media mainstream barat menyebarkan berita palsu tentang tindakan agresif Rusia yang mengancam keamanan Eropa.

Ibarat Quick Count, berita tersebut ternyata berhasil membangun ketakutan bagi masyarakat Eropa dan dunia internasional. Dinamika ini jelas menunjukkan bahwa Laut Hitam telah menjadi titik perebutan geopolitik AS dan Rusia. AS bahkan berencana memasukkan Georgia sebagai anggota NATO – bila hal itu terjadi maka diprediksi akan dapat melemahkan keamanan Rusia di Laut Hitam. Akibatnya, wilayah Laut Hitam kini jadi semakin termiliterisasi, tercipta semacam balance of power antara NATO dan Rusia. Namun, keseimbangan itu terancam dengan penempatan sistem THAAD (yang ofensif) dan peningkatan patroli dan latihan militer di Laut Hitam.

Sementara setiap tanggapan defensif Rusia atas Krimea malah digoreng oleh media mainstream barat sebagai tindakan “agresif” yang kemudian menjadi dalih bagi NATO untuk mengambil langkah-langkah yang lebih jauh. Moskwa tampaknya mesti berhati-hati menanggapi provokasi NATO untuk menghindari jatuh ke dalam salah satu perangkap yang memang sudah dipersipakan untuk itu.

Share.

Comments are closed.