Memasuki tahun politik 2018-2019, dapat terlihat telah banyaknya kampanye politik yang dilaksanakan beberapa tahun sebelum dimulainya tahun pemilihan umum. Hal tersebut kurang disadari karena terdapat kecenderungan kampanye dilakukan melalui operasi undercover dan penggiringan opini publik secara tidak langsung untuk menciptakan simpati terhadap pasangan calon pemimpin tertentu. Berkaca dari Pilkada DKI Jakarta lalu, momen Pilkada menjadi katalisator pemecah belah integritas bangsa. Hal tersebut diakibatkan adanya permainan politik identitas yang berlandaskan agama dan etnis yang mampu memobilisasi massa untuk turun ke jalan dalam jumlah jutaan jiwa.
Adapun dampak yang paling terlihat dari Pilkada DKI Jakarta tersebut, masyarakat Indonesia telah terbagi-bagi dalam beberapa kubu dan lebih mudah untuk dipetakan siapa pendukung siapa. Selain itu, sistem pelabelan dan sentimen yang bernuansa SARA juga semakin kental sehingga mudahnya terjadi konflik apabila terdapat sedikit gesekan. Kondisi diperparah dengan pelabelan dan sentimen SARA tersebut terus diangkat dan digunakan oleh kelompok-kelompok tertentu sebagai instrumen politik. Selain itu, isu-isu sensitif bagi Indonesia juga kembali diangkat, seperti kebangkitan Komunisme, Sentimen anti-Tiongkok, LGBT dan mispersepesi dalam lembaga pertahanan dan keamanan Indonesia.
Kuatnya pertarungan politik identitas tersebut telah memicu asumsi adanya keterlibatan intelijen asing dalam proses politik Indonesia. Sebelum menjawab asumsi tersebut, terlebih dahulu perlu dipahami definisi intelijen yang akan digunakan untuk membedahnya. Dalam kajian akademik, intelijen masih menjadi konsep yang diperdebatkan, sehingga kerap kali dalam penggunaan konsep intelijen untuk memahami isu di suatu negara akan bersandar pada intepretasi intelijen oleh negara tersebut yang dapat dilihat dari legislasinya. Indonesia sendiri berdasarkan UU No. 17 Tahun 2011 Tentang Intelijen Negara, Pasal 1, Ayat 1, mendefinisikan intelijen sebagai:
“Intelijen adalah pengetahuan, organisasi, dan kegiatan yang terkait dengan perumusan kebijakan, strategi nasional, dan pengambilan keputusan berdasarkan analisis dari informasi dan fakta yang terkumpul melalui metode kerja untuk pendeteksian dan peringatan dini dalam rangka pencegahan, penangkalan, dan penanggulangan setiap ancaman terhadap keamanan nasional”.
Berdasarakan definisi tersebut, secara garis besar fungsi utama intelijen adalah sebagai sistem peringatan dini (early warning system) terhadap pengambil kebijakan (otoritas) di dalam lingkup keamanan nasional. Sebagai sistem peringatan dini, tulisan ini akan mengambil sisi intelijen sebagai informasi, seperti halnya yang disampaikan Shulky dan Schmitt (2002) dalam bukunya Silent Warfare. Understanding The World of Intelligence, Intelijen mengacu pada informasi yang relevan bagi formulasi dan implementasi kebijakan pemerintah untuk mengejar kepentingan-kepentingan keamanan nasionalnya dan untuk menghadapi ancaman dari aktual dan potential adversaries (baca: pihak lawan dalam peperangan informasi).
Informasi intelijen sangat lekat dengan kapabilitas dan rencana aksi militer pihak lawan. Tentunya pihak lawan (adversaries) akan berupaya agar informasi mengenai hal tersebut amat dijaga kerahasaiannya. Tipe-tipe informasi intelijen yang juga sama pentingnya ialah informasi mengenai aktivitas dan tujuan perwakilan asing dan juga aktivitas intelijen mereka pada suatu negara. Termasuk dalam hal ini adalah apa yang mereka lakukan dan kerjasamakan dengan aktor-aktor domestik di negara-negara tempat mereka beroperasi (Bakti, 2015).
Namun disisi lain, adversaries dapat pula berbentuk aktor-aktor transnasional bukan negara yang ingin melakukan aktivitas-aktivitas yang dapat mengancam keamanan nasional suatu negara. Dalam kaitan ini agen-agen intelijen strategis (luar negeri) dan intelijen militer memiliki wewenang untuk mengumpulkan informasi intelijen mengenai berbagai kegiatan para aktor negara asing, transnasional dan domestik tersebut (Bakti, 2015). Lalu adakah keterlibatan intelijen asing dalam proses politik di Indonesia? Tentu setiap negara memilki kepentingan terhadap negara lain akan melakukan aktivitas intelijen di negara sasarannya, dimana dalam dewasa ini lebih difokuskan pada pengaruh kebijakan politik dan ekonomi.
Di Indonesia sendiri, telah terdapat beberapa peristiwa yang terbongkar adanya keterlibatan intelijen asing. Salah satu kasus yang mengemuka adalah tertangkapnya Perwira Angkatan Laut Letkol Susdaryanto oleh Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) pada tahun 1980. Susdaryanto ditangkap setelah jaringan telepon di kediamannya disadap, dimana dia akan memberikan sebuah dokumen rahasia mengenai pemetaan laut Indonesia kepada seorang agen intelijen Uni Soviet bernama Alexander Pavlovich Fineko yang menyamar sebagai perwakilan perusahaan penerbangan Aeroflot Indonesia (Sumandoyo, 2016).
Secara garis besar aktivitas intelijen asing di Indonesia lebih dominan dalam pengumpulan informasi dan data (spionase), mereka juga secara tidak langsung merekrut warga negara Indonesia untuk menjadi penyuplai informasi. Kegiatan spionase pada dasarnya dipahami oleh masing-masing negara. Namun, jika sudah dalam tahap melakukan operasi intelijen yang dinilai sensitif, setiap negara memiliki kewenangan untuk menindak kegiatan spionase tersebut. Mantan Kepala Badan Intelijen Stategis (BAIS) TNI, Laksda Soleman B. Ponto mengungkapkan perekrutan warga negara Indonesia untuk dijadikan agen penyuplai informasi cukup masif, bahkan dengan cara-cara yang cukup halus seperti kerja sama secara formal. Selain itu, lembaga pemerintahan juga kerap menjadi target dari intelijen asing, biasanya dimasuki oleh cara-cara normatif seperti pendidikan dan kebudayaan (Sumandoyo, 2016).
Terkait keterlibatan intelijen asing di tahun politik ini, dapat dirunut dari pernyataan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Jenderal Budi Gunawan yang mengatakan bahwa Indonesia tengah menghadapi operasi intelijen asing. Adapun operasi yang perlu diwaspadai adalah black ops intelligent dan psycho ops intelligent. Black ops intelligent adalah operasi intelijen yang dilakukan negara, lembaga, atau organisasi asing yang bertujuan untuk melemahkan dan mengganti rezim pemerintahan, sedangkan psycho ops intelligent adalah operasi intelijen menyebarkan informasi-informasi dengan indikator-indikator tertentu melakukan brain wash, bisa melalui berita yang menyesatkan atau hoaks/informasi palsu terhadap target atau kelompok tertentu. Informasi-informasi palsu itu biasanya digunakan untuk mempengaruhi emosi, motif, dan cara berpikir orang-orang. Mereka bermaksud mengubah perilaku perorangan, kelompok, kemudian pemerintah (Fauzi, 2017).
Dengan melihat isu-isu yang kerap berkembang dalam beberapa tahun belakangan di Indonesia, maka sangat terlihat pola psycho ops intelligent sedang terjadi. Adapun isu-isu yang kerap menjadi instrumen adalah pembedaan identitas dan pemecahan integritas berdasarkan etnis dan agama. Terdapat pula beberapa isu yang digunakan untuk menguji dan memetakan dukungan masyarakat, seperti halnya isu kebangitan Komunisme dan LGBT yang berjalan relatif singkat. Selain itu instansi negara khususnya dalam sektor pertahanan dan keamanan juga dibenturkan dengan isu-isu ketidaksinergitasan.
Secara garis besar, operasi intelijen asing cenderung berada di wilayah yang memiliki banyak aset asing, dan biasanya agen atau kantor dalam menjalankan operasi berada di non-governmental organization (NGO), sedangkan operasinya dilaksanakan melalui kegiatan CSR perusahaan dan kegiatan kemasyarakatan. Untuk dalam konteks keterlibatan dalam kegiatan politik praktis seperti Pemilihan Umum, pihak intelijen asing cenderung bergerak dalam mendukung, menjatuhkan, memecah-belah atau bahkan hanya sekedar mengacaukan calon pejabat tertentu tergantung dari kepentingan dan tujuan negaranya, apakah calon pejabat tersebut memberikan keuntungan atau malah menghambat kepentingan negaranya. Dimana dalam setiap operasinya tidak dilakukan secara langsung, tetapi melalui pihak-pihak dari Indonesia sendiri, bahkan yang berafiliasi dengan kader partai politik dan pemerintahan. Jauhnya jarak keterlibatan langsung intelijen asing dalam melaksanakan operasi tersebut membuat cukup sulit untuk dideteksi.
Dengan melihat akan semakin banyak permainan isu pada tahun politik ini. Maka mengharuskan Indonesia lebih giat lagi dalam melakukan operasi kontra-intelijen. Kontra-intelijen dalam konteks ini mengacu pada upaya dalam mengatasi tindakan-tindakan rahasia yang ditujukan oleh entitas-entitas yang menunjukkan sikap tidak bersahabat yang (harusnya) berasal dari luar negeri. Namun, yang lebih penting pemerintah tidak boleh terbawa oleh isu dan mengeluarkan kebijakan sesuai dengan yang diharapkan negara lain. Hal tersebut dapat diminimalisir dengan secara maksimum memanfaatkan informasi intelijen dalam perumusan kebijakan. Sebagai catatan, hal ini membutuhkan sinergitas yang baik pada setiap lembaga yang memilki fungsi intelijen.
Rizky Reza Lubis – Alumnus Pascasarjana Universitas Pertahanan, Pemerhati isu pertahanan dan keamanan
Referensi:
- UU No. 17 Tahun 2011 Tentang Intelijen Negara
- Shulky, Abram N. dan Schmeitt, Gary J., 2002, Silent Warfare, Understanding the World of Intelligence, Washington D.C: Brassey Third Edition.
- Ikrar Nusa Bakti, dkk., 2015, Intelijen dalam Pusaran Demokrasi di Indonesia Pasca Orde Baru, Pusat Penelitian Politik, LIPI:Jakarta.
- Ikrar Nusa Bakti, 2015, Studi Strategi Intelijen, Paparan Mata Kuliah Diplomasi Pertahanan, Universitas Pertahanan Indonesia.
- Widjayanto, A. dan Wardhani A., 2008, Hubunga Intelijen Negara 1945-2004, Pacivis UI: Jakarta.
- Widjayanto, A., 2006, Negara, Intel, dan Ketakutan, Pacivis UI: Jakarta.
- Sumandoyo, Arbi, 31 Oktober 2016, Misi Rahasia Mata-mata di Indonesia, https://tirto.id/misi-rahasia-mata-mata-di-indonesia-bZnz diakses pada 12 Januari 2018
- Sumandoyo, Arbi, 31 Oktober 2016, Mencari Para Penghianat di Indonesia, https://tirto.id/mencari-para-pengkhianat-di-indonesia-bZny diakses 12 Januari 2018 diakses pada 12 Januari 2018
- Sumandoyo, Arbi, 31 Oktober 2016, Jejak-jejak CIA di Indonesia, https://tirto.id/jejak-jejak-cia-di-indonesia-bZnM diakses pada 12 Januari 2018