Disamping letaknya yang sangat strategis bagi jalur pelayaran Internasional, kekayaan akan sumber daya alam berupa kandungan minyak dan gas alam juga menjadi daya tarik tersendiri bagi beberapa negara yang merasa berkepentingan terhadap Laut Cina Selatan (LCS). Hal tersebut tidak terkecuali bagi Tiongkok yang memang telah lama menaruh perhatian khusus bagi LCS. Seiring dengan fenomena kebangkitan Tiongkok, LCS menjadi layaknya “ajang” pembuktian bagi pengaruh Tiongkok di kawasan.
Maka tidak heran jika dalam beberapa dekade belakangan ini, LCS layaknya sebuah area yang hampir tidak pernah dalam kondisi yang stabil. Dimana sengketa kepemilikian atas LCS menjadi permasahalan utama ketika Tiongkok secara terang-terangan menunjukan sikap yang sangat kontraproduktif dengan kepentingan Amerika Serikat (AS). Klaim sepihak Tiongkok berdasarkan historical right yang kemudian dipublikasikan dan dimuat dalam peta nine-dashed line telah menyalahi aturan konvensi hukum laut internasional UNCLOS 1982.
Namun terlepas dari segala bentuk polemik yang mewarnai rentetan sejarah konflik LCS, faktor geografis LCS menjadi sangat menentukan bagi perkembangan geostrategi Tiongkok di masa depan. Bicara geostrategi, dalam prespektif Tiongkok, LCS merupakan wilayah buffer zone, dimana keamanan di LCS sama dengan keamanan nasional Tiongkok secara menyeluruh. LCS selanjutnya akan sangat menentukan arah kebijakan pertahanan Tiongkok. Hal tersebut ditunjukan dengan adanya proyek reklamasi terhadap sejumlah gugusan karang di sekitar kepulauan Spratly dan Paracell untuk kepentingan pembangunan pangkalan militer (Dutton, 2011).
LCS menjadi langkah awal bagi perwujudan restrukturasi maritime power Tiongkok, dimana penekanannya terletak pada modernisasi angkatan bersenjata Tiongkok demi pencapaian sea power. Kebijakan tersebut merupakan realisasi buku putih pertahanan Tiongkok tahun 2008. Dimana LCS menempati prioritas utama bagi proyeksi kekuatan Tiongkok ditengah persaingan srategis menghadapi hegemoni AS. Sebagai wujud realisasi atas proyeksi keuatan tersebut, sejak tahun 2012 Tiongkok telah mengembangkan kemampuan anti-Access/ area denial capabilities–submarines melalui instalasi anti-ship cruise (ASCMs) atau anti-ship ballistic missiles (ASBMs). Instalasi tersebut juga dilengkapi dengan surface-to-air missiles (SAMs) yang ditempatkan di pulau Woody bagian dari kepulauan Paracels yang telah diduduki Tiongkok lebih dari lima dekade lalu.
Mengamankan kepentingan di LCS, juga merupakan faktor yang sangat mempengaruhi orientasi kebijakan pertahanan Tiongkok yang bersifat outward looking dengan mempersepsikan ancaman berumber dari lingkungan external. Klaim sepihak Tiongkok yang juga bertolak belakang dengan freedom of navigation merupakan upaya guna mengambil bagian dalam pengelolaan dan penataan kembali struktur kekuasaan terhadap zona maritim. Dengan demikian, penguasaan terhadap LCS tentunya menempati aspek terpenting bagi geostrategi Tiongkok, terlebih kepentingan nasional Tiongkok selanjutnya tertuju pada aspek yang lebih luas, yaitu membuka akses serta kontrol terhadap jalur lintas pelayaran internasional (Thomas, 2011).
Dalam mendukung proyeksi geostrategi Tiongkok di masa mendatang, kemampuan penguasaan Blue Water Navy tengah menjadi fokus utama Tiongkok seiring dengan pergeseran orientasi kebijakan pertahanan yang lebih bersifat outward looking. Proyeksi kekuatan yang hendak dibangun tersebut diupayakan hingga menjangkau garis area pertahanan terluar atau yang diistilahkan dnegan Second Island Chains.
Dilansir dari pemberitaan media nasional Tiongkok xinhuanet.com, sampai dengan awal tahun 2017 Departement of Defense (DOD) Tiongkok telah memiliki antara tujuh belas dan delapan belas SRBM dan rudal balistik menengah 1.300km serta rudal balistik 1.800km, dan rudal jarak menengah seperti jenis rudal DF-26 rudal dan DF-21d yang dapat melakukan penembakan hingga jarak 500km dari pesisir pantai Tiongkok. Pemerintah Tiongkok juga tengah mengembangkan industri pertahanan dalam negeri, dengan memproduksi jet tempur generasi 4.5 J-10, kapal selam tenaga nuklir, Anti-Ship Supersonic Ballistic Missiles (ASSBMs) dan pengembangan kapal induk Liaoning. Untuk mempertegas kepentingan Tiongkok di LCS, kapal angkut amfibi tipe 071 yang mampu mengangkut satu batalyon pasukan infantri, 18 kendaraan berlapis baja serta dilengkapi anjungan untuk pendaratan helikopter pada pertengahan 2016 lalu.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa penguasaan terhadap LCS sama artinya dengan membuka peluang strategis Tiongkok ke tahap selanjutnya yaitu regional Asia-Pasifik. Selain faktor keamanan, kebijakan tersebut juga bedasarkan pertimbangan ekonomis dimana LCS menghadirkan “transaksi” ekonomis yang lebih luas bersamaan dengan terbentuknya jalur suplai logistik dan komunikasi yang mendukung pergerakan militer Tiongkok di kawasan Asia-Pasifik. Dengan demikian LCS merupakan prasyarat utama bagi Tiongkok dalam menentukan arah geostrategi yang menunjang proses politik, diplomatik, militer dan ekonomi sebagai superpower baru di Asia (Osbourne, 2007).
Sony Iriawan – Alumnus Universitas Pertahanan Indonesia, Pemerhati Keamanan Internasional dan Geopolitik Asia Pasifik
Referensi:
- Dutton, Peter, 2011, Three Disputes And Three Objectives: China and the South China Sea, Naval War College Review, Autumn, Vol. 64, No. 4.
- Thomas L., Timothy, 2011, Geothinking Like The Chinese: A Potential Explanation of China’s Geostrategy, United State Department of Defense: Washington DC.
- Osbourne, Milton, 2007, The Paramount Power, The Lowy Institute, tersedia di
http://www.lowyinstitute.org/Publication.asp?pid=370 diakses pada 12 Januari 201