Jakarta, Teritorial.Com – Kementerian Pertahanan (Kemhan) merupakan salah satu komponen Kabinet Kerja Kerja II pemerintahan Joko Widodo yang paling menarik perhatian. Alasannya, anggaran belanja Kemhan tahun 2020 paling besar yakni Rp 131,2 triliun dibandingkan dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Rp 120, 2 triliun, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Rp. 42,2 triliun, dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Rp. 36,6 triliun. Selain itu, Kemhan dipimpin Letjen (Purn) Prabowo Subianto Djojohadikusumo yang dikenal sebagai tentara karir dan ingin membuat Indonesia menjadi negara yang kuat.
Ketika berkampanye dalam pemilihan presiden yang lalu, Prabowo antara lain menyatakan (1) ingin meningkatkan kemampuan industri strategis nasional dalam memenuhi kebutuhan alat utama sistim senjata (alutsista), (2) meningkatkan jumlah anggaran pertahanan setiap tahun demi memenuhi kekuatan minimum dan melakukan modernisasi alutsista, (3) ingin memperkuat dan mengembangkan kapabilitas badan pertahanan siber, (4) memperkuat kehadiran TNI di daerah perbatasan dan pulau terluar yang rawan konflik, dan (6) memperkuat sinergi TNI dan Polri dalam pencegahan serta penanggulangan aksi terorisme.
Dengan demikian, bila melihat tekad menteri pertahanan yang baru, maka jumlah anggaran sekalipun besar masih belum mencukupi untuk mencapai kekuatan pokok minimum TNI (MEF/minimum essential force). Sebagian besar anggaran akan digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan prajurit dan pengamanan 240 pemilihan kepala daerah/kabupaten/kota pada tahun 2020.
Anggota DPR Komisi 1 Meutya Hafid beberapa waktu lalu mengingatkan Menhan tentang pemenuhan target kekuatan pokok minimum yang merupakan proses untuk modernisasi alutsista Indonesia sebesar 100% pada 2024; saat ini sudah tercapai 70%. Kedua, untuk fokus kepada industri pertahanan dalam negeri hingga Indonesia mampu memproduksi sendiri alutsista tanpa bergantung atau dikontrol negara lain. Dan, ketiga, pembentukan perusahaan induk IndustriTeknologi Tinggi dan Pertahanan Nasional.
Menurut survei Global Firepower 2019 tentang jumlah tentara, Indonesia menduduki peringkat ke 17 dari 20 negara dengan 400 ribu tentara aktif dan 400 ribu lainnya cadangan. Di tempat pertama Tiongkok dengan 2,2 juta, India 1,4 juta, Amerika Serikat 1,3 juta, Korea Utara 1,3 juta, dan Russia dengan jumlah satu juta jiwa.
Global Firepower 2019 juga mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki antara lain 315 tank tempur, 1.300 kendaraan tempur berlapisbaja, 141 artileri self-propelled, 356 towed artillery, 36 proyektor roket, dan berbagai persenjataan lain termasuk jet tempur, kapal selam dan kapal perang.
Yang tidak diungkapkan lembagai survei itu adalah bahwa Indonesia telah membentuk Komando Gabungan Wilayah Pertahanan yang terdiri dari tiga markas di Tanjung Pinang, Balikpapan dan Biak serta satu Komando Operasi Khusus. Selain itu juga ada peningkatan status 23 Komando Resort Militer dari Tipe B menjadi Tipe A; Korem Tipe A akan dijabat perwira bintang satu (brigadir jenderal).
Dalam konferensi pers pertama di Kemhan pada Kamis (23/10/2019), Menhan Prabowo Subianto Djojohadikusumo belum menyinggung masalah anggaran, tetapi dalam kampanye Pilpres 2019 sempat menyinggung tentang pentingnya mencegah kebocoran agar anggaran dapat diarahkan ke tujuan yang tepat, berdaya guna, dan berhasil guna.
Helikopter AW-101
Kasus pembelian helikopter AW-101 menjadi pembicaraan karena diungkapkan secara terbuka. Bahkan kemudian menjadi polemik karena menyangkut pemahaman UU APBN dan mekanisme anggaran APBN, peraturan Menteri Pertahanan no 17 tahun 2011 dan nomor 23 tahun 2012 dan proses pengadaan barang di TNI.
Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo (2015-2017), atas perintah Presiden Jokowi mengawal penanganan kasus dugaan korupsi Augusta Westland (AW) 101. Kasus ini diungkapkannya dalam dengar pendapat dengan Komisi 1 DPR RI pada 6/2/2017. Langkah yang kemudian diikuti penerusnya Marsekal Hadi Tjahjanto.
Selain Pusat Polisi Militer (POM) TNI, diikusertakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) karena kasus ini melibatkan personel TNI maupun sipil.
POM TNI menetapkan lima tersangka anggota aktif TNI Angkatan Udara, sedangkan Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan pemilik PT Diratama Jaya Mandiri yaitu Irfan Kurnia Saleh sebagai tersangka. Dalam proses lelang proyek pada April 2016, Irfan Kurnia Saleh diduga mengikutsertakan dua perusahaan miliknya, PT Diratama Jaya Mandiri dan PT Karya Cipta Gemilang.
Sebelum proses lelang, Irfan Kurnia Saleh diduga sudah menandatangani kontrak dengan Agusta Westland sebagai produsen helikopter AW 101 dengan nilai kontrak US$ 39,3 juta atau sekitar Rp 514 miliar. Sementara saat PT Diratama Jaya Mandiri memenangkan proses lelang pada Juli 2016, Irfan Kurnia Saleh menandatangani kontrak dengan TNI AU senilai Rp 738 miliar. Jadi ada selisih Rp 224 miliar.Penyelidik kemudian berhasil memblokir rekening bank yang berisi dana Rp 139 miliar.
Pada permulaannya, heli tersebut direncanakan digunakan untuk kegiatan kepresidenan tapi ditolak sebab sudah memiliki Super Puma. TNI-AU kemudian memakai heli itu dengan alasan untuk kegiatan search and rescue (SAR), alat angkut berat, evakuasi dan rumah sakit.
Irfan Kurnia Saleh disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
KPK juga meminta Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk mencegah yang bersangkutan ke luar negeri sampai dengan 30 Mei 2018.
Irfan Kurnia Saleh yang telah bebas cekal kemudian mempradilankan KPK di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, pada November 2018. Tetapi pengadilan melalui Hakim Tunggal Kusno menolak seluruh permohonan praperadilan serta menolak dalil pemohon yang menyebutkan KPK tidak berwenang untuk mengangkat penyelidik yang tidak berasal dari instansi Kepolisian. “Penetapan tersangka terhadap Irfan Kurnia Saleh sah menurut hukum.”
Mencegah Kolusi
Bukan tanpa alasan bila Jenderal (Purn.) Ryamizard Ryacudu mengatakan agar penggantinya tidak terlena dengan besarnya anggaran. “Anggaran, besar kecil sama saja, karena itu duit rakyat, jangan sampai besar terus kita ngiler.”
Anggaran besar cenderung membuat para pihak dari mana saja melakukan cawecawe. Bila kolusi berlangsung maka hanya sedikit yang diuntungkan tetapi banyak yang dirugikan. Kesejahteraan prajurit terganggu. Kualitas maupun kuantitas alutsista tak banyak beranjak.
Dalam konteks ini, sangat menarik mengutip pernyataan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Agung Firman Sampurna yang menyatakan akan menyoroti secara khusus anggaran di beberapa kementerian/lembaga yang dianggap memiliki resiko besar. Di antaranya adalah Kementerian Pertahanan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, dan Kepolisian Republik Indonesia.
Kementerian-kementerian tersebut, khususnya Kementerian Pertahanan, mempunyai resiko tinggi karena menggunakan anggaran yang sangat besar. BPK akan menggunakan pemeriksaan laporan keuangan secara bertahap, katanya seusai pengucapan sumpah jabatan Ketua dan Wakil Ketua BPK RI, di Gedung Mahkamah Agung, Jakarta, Kamis (24/10/2019).
Sikap optimis pantas dilontarkan bila menyimak pernyataan Ketua BPK RI Agung Firman Sampurna. Badan yang dipimpinnya bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan ‘penjaga hukum’ lainnya akan bekerjasama mengawasi serta menindak segenap komponen Kabinet Kerja Jilid II.
Kerjasama itu hendaknya sampai kepada aspek yang lebih rinci. Sebagai misal, jangan sampai para pihak yang terjaring terpaksa harus dilepas karena melampaui batas waktu, sebagaimana diamanatkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Sumber:
- Dikutip dari berbagai Sumber
- https://www.globalfirepower.com/countries-listing.asp
Penulis: Sjarifuddin Hamid Pemimpin Redaksi Teritorial.Com