Karakteristik politik yang akan selalu melekat pada dirinya adalah selalu bergerak sesuai kepentingan. Dalam hal ini, “political interest” selalu menjadi kata kunci. Timur Tengah saat ini merupakan arena pergulatan kepentingan oleh berbagai aktor yang bermain dan kemudian mempengaruhi terjadinya pergeseran yang begitu cepat dalam tatanan politik di kawasan.
Perubahan geopolitik di Timur Tengan tetus terjadi. Hingga hari ini, perkembangan dinamika politik, ekonomi dan ideologi yang paling mencolok di kawasan Timur Tengah adalah perseteruan antara Iran dan Arab Saudi. Perseteruan ini begitu kental dan terbaca dari beberapa peristiwa konflik yang ada, baik di Yaman, Suriah dan Palestina yang semakin memanas. Dibalik perseteruan kedua negara sunni dan syi’ah tersebut, muncul variabel politik Timur Tengah baru yaitu aliansi Arab Saudi da Israel.
Apa yang menjadi bukti bahwa terjalin kerjasana antara Israel dan Arab Saudi dalam beberapa tahun terakhir? Diberitakan oleh Jerusalem Post (06 November 2017) bahwa Pangeran Arab Saudi Muhammad bin Salman mengunjungi negara Israel. Kunjungan ini salah satu agendanya ditengarai sebagai penjajakan untuk membuat hubungan diplomatik kedua negara yang sebelumnya tidak ada. Begitu pula pada bulan yang sama, penasehat Presiden Amerika untuk Timur Tengah Jared Kushner yang juga merupakan keponakan Trump, mengunjungi dua negara sekaligus yaitu Arab Saudi dan Israel. Ini adalah isyarat yang jelas bahwa Arab Saudi, Israel melalui sponsor Amerika Serikat seakan sedang membangun aliansi baru.
Dan di saat pemimpin dan masyarakat dunia ramai-ramai mengecam pernyataan tentang rencana pemindahan Ibu Kota Israel ke Yerusalem, pada saat hampir bersamaan, seperti diungkap oleh New York Time (03 Desember 2017), Arab Saudi malah mengusulkan agar Abu Dis dijadikan Ibu Kota Palestina. Abu Dis adalah salah satu kota di Palestina yang dekat dengan Yerusalem Timur. Seakan-akan Arab Saudi dengan proposalnya tersebut menginginkan Yerusalem Timur diberikan kepada Israel, meskipun beberapa pejabat Saudi membantah adanya usulan tersebut.
Apa faktor pemicu terjalinnya kerjasama tersebut? Arab Saudi dan Israel membangun kerjasama, termasuk kerjasama intelejen untuk memata-matai Iran. Keduanya memiliki persepsi yg sama bahwa Iran harus dihentikan ambisinya untuk memperkuat dominasinya di Timur Tengah. Di sinilah dua kepentingan yang sama bertemu.
Faktor selanjutnya adalah terkait dengan pengembangan nuklir Iran. Arab Saudi dan Israel merasa dihadapkan pada ancaman nuklir Iran yang bisa melumpuhkan kekuatan negara-negara besar di Timur Tengah. Inilah yang menjadi kekhawatiran besar Arab Saudi. Ada rasa panik yang muncul bagi negeri terkaya minyak ini, jangan sampai Iran menjadikannya sasaran ketika proyek nuklir Iran sudah bertransformasi menjadi senjata penghancur massal.
Pada gilarannya, yang sangat menonjol, ada juga faktor pemicu yang bersifat ideologis. Antara Iran dan Arab Saudi sendiri terjadi konflik sektarianisme yang begitu tajam. Agresifitas Iran dalam berbagai model gerakannya di kawasan menghawatirkan Arab Saudi akan terus merebaknya pengaruh ideologi Syi’ah. Di sisi lain, Arab Saudi juga merasa bertanggung jawab untuk terus mempertahankan ideologi Sunni sebagai counter attack dari penyebaran ideologi Syi’ah. Inilah yang sering disebut oleh pengamat sebagai kontestasi ideologi Wahabisme dan Syi’ah untuk mendominasi dunia Islam.
Sedangkan bagi Israel, keberadaan Iran yang banyak mensponsori kelompok-kelompok militan Israel seperti Hamas dan Hizbullah, tentunya menjadi alasan utama untuk memusuhi negara Syi’ah tersebut. Bagi Israel, tidak ada jalan lain kecuali membangun strategi, dan kerjasama dengan siapapun untuk meredam kekuatan Iran yang begitu merugikannya.
Menguntungkan Israel
Dari sisi ekonomi, Arab Saudi tidak akan memperoleh banyak keuntungan dari upaya untuk membangun aliansi dengan Israel. Sebaliknya, Israel akan mendapatkan banyak keuntungan dari terbangunnya aliansi tersebut. Dalam hal ini, Israel bisa mengimpor energi dari Arab Saudi sehingga dapat menjamin kebutuhan energi dan menormalisasi harga minyak di negara Yahudi tersebut.
Juga secara ekonomi, Israel dapat memperoleh keuntungan dengan kebutuhan persenjataan yang cukup tinggi di Arab Saudi saat ini. Israel akan mendapatkan pasar baru untuk menjual produksi senjatanya sehingga mendongkrak ekonomi negaranya.
Bagi penulis, sangat disayangkan Arab Saudi sejauh itu melangkah dalam membangun aliansi negara yang jelas-jelas telah melakukan penjajahan dan pendudukan secara paksa pada wilayah yang sudah dihuni dan didiami sebuah bangsa sejak ribuan tahu lalu, yaitu Bangsa Palestina. Bukan karena pertimbangan negara Palestina merupakan negeri Islam saja. Tetapi, secara defacto, masyarakat dunia menyaksikan disana ada penindasan hak-hak kemanusiaan, ada ketidak adilan hukum internasional, ada perampasan wilayah, ada pembantaian dan lain sebagainya.
Selain itu, Arab Saudi dan Iran dengan manufer politik proxy dengan negara-negara besar dunia seperti Amerika Serikat dan Rusia, malah akan memperuncing sektarianisme yang bisa melanggengkan konflik. Kenapa tidak menggunakan instrumen yang lebih dekat seperti OKI dan Liga Arab untuk menyelesaikan masalah. Disana bisa didiskusikan dan dimusyawarakan masalah-masalah yang ada, termasuk persoalan Sunni-Syi’ah untuk dicarikan solusinya agar tidak terjadi perang saudara yang berkepanjangan.
Dibanding membangun koalisi dengan Israel untuk memusuhi satu sama lain, tentunya sangat merugikan Arab Saudi sendiri dan sebaliknya menguntungkan dan memuluskan agenda Israel di Palestina.
Dr. Mulawarman Hannase, MA.Hum Dosen Pascasarjana Institute PTIQ Jakarta Direktur Pusat Studi Arab dan Timur Tengah (PSATT)