Jakarta, Teritorial.Com – Keamanan yang didefinisikan oleh Barry Buzan “Security, in any objective sense, measures the absence of threat to acquired values, in a subjective sense, the absence of fear that such values will be attacked”[1], merupakan suatu landasan yang dapat dijadikan sebagai dasar pembentukan bagi penentuan arah kebijakan Pertahanan Indonesia.
Beberapa elemen yang terdapat pada Security ini yakni diantaranya adalah actor, common issue yang dapat menjadi ancaman (threat), speech of act, serta public/audience. Pemerintah melalui Kementerian Pertahanan dapat diposisikan sebagai pelaku (actor) yang mendefinisikan dan menentukan apa yang akan menjadi ancaman dan bagaimana tindakan speech of act-nya. Ancaman (threat) adalah yang akan berpotensi masuk ke dalam wilayah Indonesia. Speech Act yang dapat dilakukan adalah bagaimana Pemerintah berusaha mempengaruhi publik untuk menjadikan satu hal sebagai ancaman keamanan yang sedang dihadapi.
Susunan Kementerian Pertahanan periode 2019-2024 sudah ditetapkan oleh Presiden. Prabowo dan Trenggono menjadi duet Menteri dan Wakil Menteri Pertahanan. Untuk menentukan arah kebijakan Pertahanan ke depan, keduanya perlu melakukan kajian terhadap empat elemen security di atas.
Namun sebelum menentukan arah kebijakan Pertahanan, menurut Soleman Ponto Mantan Kepala BAIS bahwa Menteri dan Wakil Menteri Pertahanan merupakan “orang baru” di Kementerian Pertahanan, maka yang harus dilakukan pertama kali adalah mempelajari dulu dengan saksama apa tugas pokok Kementerian Pertahanan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Setelah itu baru mereka membuat rencana kerja atau road map untuk dipublikasikan ke masyarakat.
Kami melakukan analisis beberapa isu strategis dan potensi ancaman yang perlu menjadi pertimbangan Kementerian Pertahanan dalam membuat rencana kerja, beberapa diantaranya sebagai berikut:
Ancaman Konflik Perbatasan dan Perang Asimetris
Indonesia sebagai negara yang berada di titik silang geopolitik dunia (Diapit dua samudera dan dua benua) dan sebagai negera kepulauan terbesar, kerap menghadapi ancaman yang tak terhitung jumlahnya pada lingkup kedaulatan negara. Terdapat dua ancaman aktual dan potensial yang memiliki tingkat ancaman paling mengkhawartikan keutuhan kedaulatan Indonesia, yaitu konflik perbatasan dan kejahatan perang asimetris. Hal ini dikarenakan Indonesia berbatasan darat dan laut dengan sepuluh negara diantaranya Malaysia, Singapura, Papua Nugini, Thailand Kepulauan Palau, Filipina, Vietnam, Timor-Timur, Australia dan India.
Dapat diambil contoh Nusa Tenggara Timur yang berbatasan dengan Timor Timur dan Kalimantan yang berbatasan dengan Malaysia. Di kedua wilayah tersebut sering terjadi penggeseran patok perbatasan. Tidak hanya berhenti di konflik perbatasan, kejahatan perang asimetris pun menjadi ancaman yang serius dan nyata bagi kedaulatan NKRI. Kita lihat agresifitas dari kebijakan One Belt One Road yang digagas Cina. Suka tidak suka, kebijakan Den XiaoPing yang ingin membangun jalur sutra maritim baru tentu saja akan menempatkan keistimewaan geografis Indonesia untuk memenuhi kepentingan negaranya, yaitu become a super power state by control the sea lanes of trade. Maka dari itu tidak berlebihan ketika diperlukannya strategi pertahanan nasional sebagai langkah mempertahankan keutuhan nusantara.
Ancaman Cyber dan Kondisi Cyber Security di Indonesia
Teknologi Informasi dan Komunikasi di era globalisasi yang semakin berkembang cepat telah mengubah perang tradisional dengan cara konvensional tidak lagi digunakan oleh sebagian besar negara di dunia. Kondisi ini menimbulkan konsekuensi percepatan global yang mendorong setiap negara meningkatkan perekonomiannya. Untuk menjamin keberlangsungan aktivitas ekonomi negara, persenjataan dan pertahanan juga ditingkatkan kemampuannya.[2] Hal ini membuat persaingan dan peperangan menjadi semakin kabur batas-batasnya. Persaingan ekonomi dilengkapi dengan kekuatan-kekuatan fisik yang digunakan untuk meningkatkan seluruh kapabilitas dalam menghadapi persaingan tersebut. Dengan demikian, episentrum peperangan berada pada irisan ruang kerjasama ekonomi dan perang, yakni TIK yang menjadi pondasi dibentuknya ruang cyber.
Selain berubahnya paradigma pertempuran yang semakin nir-manusia, revolusi persenjataan juga semakin berkembang lagi ke arah pemanfaatan ruang bersama yang tidak bisa dimiliki kedaulatan negara manapun (the global commons), yakni ruang cyber sebagai medan pertempuran (battlefield) baru. Ruang cyber sebagai ruang bagi pertukaran informasi di dunia, menempatkan peperangan modern ke level yang lebih tinggi serta tersistematisasi dengan sangat canggih, dan yang pasti semakin tidak menimbulkan korban jiwa (bodyless).[3]
Menurut Akamai Technologies, salah satu perusahaan produk TIK di Amerika Serikat, Indonesia digolongkan sebagai negara terbesar ketiga yang rawan terhadap ancaman cyber. Hal ini menjadi peringatan bahwa serangan cyber dapat terjadi sewaktu-waktu karena keberadaannya di area yang virtual dan sulit dideteksi.[4] Hal ini senada dengan pendapat yang disampaikan Soleman Ponto (29/10).
Menurutnya, Kementerian Pertahanan perlu memahami bahwa isu strategis ke depan adalah ancaman non militer berupa cyber attack yang dapat terjadi sewaktu-waktu. “misalkan sudah dibayangkan bila tiba-tiba semua wifi yang ada tiba-tiba anjlok mendadak?” ke depan menurut Soleman target pemenuhan alat berat dalam MEF sudah tidak relevan lagi. Menurutnya, untuk menghancurkan sebuah negara tanpa alat berat pun sudah bisa dilakukan.[5]
Indonesia masih melihat ancaman cyber (cyberthreat) sebagai masalah hukum dan kejahatan transnasional. Hal ini dapat dilihat dari sistem yang masih menganut ancaman cyber sebagai praktek kriminal semata. Hal ini ditegaskan Kementerian Pertahanan (Kemhan) Republik Indonesia melalui Peta Jalan Strategi Nasional Pertahanan Siber:[6]
“Institusi yang secara legal formal bertindak selaku leading sector dalam menangani masalah keamanan cyber atau cyber security secara nasional adalah Kementerian Komunikasi dan Informatika. Namun saat ini yang ditangani adalah dalam penataan dan standarisasi kebijakan tentang keamanan informasi nasional”.
“Indonesia sudah memiliki cyberlaw yaitu Undang Undang No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Namun regulasi yang khusus untuk mengatur pertahanan cyber yang lebih spesifik dari regulasi keamanan informasi yang sudah ada, belum ada. Sebagai perbandingan di negara lain ada undang undang khusus pertahanan cyber.”
Postur Minimum Essential Force (MEF) yang ada saat ini belum secara optimal mengakomodasi upaya-upaya pembangunan kekuatan pertahanan cyber walaupun beberapa tindakan, inisiatif dan concern telah diarahkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Artinya, bahwa pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pertahanan, sudah menunjukkan upaya akomodatif untuk pembangunan kekuatan pertahanan cyber melalui postur MEF, namun alokasi sumber daya masih dalam skala kecil. Hal ini disebabkan permasalahan yang dihadapi dalam postur MEF, diantaranya postur MEF belum mampu mengakomodasi pembangunan kekuatan pertahanan cyber secara besar-besaran karena anggaran khusus pertahanan cyber belum memadai.
Namun, anggaran dalam jumlah terbatas sebenarnya sudah tersedia melalui anggaran informatika yang pengggunaannya untuk kepentingan cyber defense, tetapi masih dalam skala yang terbatas. Postur MEF selama ini masih menitikberatkan pada kebutuhan TNI akan alat persenjataan yakni berupa shopping list alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang hendak diakuisisi sehingga MEF masih terfokus pada prioritas pembangunan kekuatan alutsista. Perlunya Kemhan merevisi kembali postur MEF yang akan datang dengan memasukkan muatan pembangunan kekuatan pertahanan cyber dalam postur MEF. Hal ini diperkuat melihat bahwa pembangunan kekuatan cyber sangat penting bagi setiap negara. Hal tersebut tidak dapat ditunda lagi dan pembangunan kekuatan cyber dapat dilakukan beriringan dengan pembangunan kekuatan alutsista.
Cyber-defense sebagai bentuk Smart Power
Konsep smart power yang dikemukakan Joseph Nye merupakan bentuk perilaku baru yang paling relevan dalam menghadapi sistem internasional pasca-Perang Dingin, yang didominasi oleh kerjasama ekonomi dan diplomasi.[7] Landasan liberalisme yang digunakan Nye sebagai perspektifnya dalam memandang hubungan internasional, melihat dengan perspektif perdamaian demokratik (democratic peace), yakni bahwa negara demokrasi tidak mungkin melawan negara demokrasi lain. Dalam hal ini, soft power hanya dapat dimungkinkan oleh sistem yang demokratik.[8]
Melihat cyber-defense sebagai salah satu bentuk smart power tentu bukan menyederhanakan bahwa Indonesia harus menunjukkan gelar kekuatan yang ofensif dan ekspansif baik dari sisi kekuatan diplomatik maupun koersif. Hal ini tentu harus dikembalikan pada prinsip pertahanan Indonesia yang berdasarkan politik luar negeri “bebas aktif” dan berdasarkan kemampuan anggaran. Namun, dengan melihat dari perspektif smart power, kekuatan cyber-defense dapat menjadi kunci dalam melihat efektivitas dan efisiensi anggaran dengan mengurangi exposure berlebihan pada alutsista berat.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa pendekatan soft power sedikit lebih dikedepankan ketimbang hardpower. Prinsip peperangan memenangkan hati dan pikiran (winning the heart and mind) terbukti efektif dan efisien di berbagai negara seperti Amerika Serikat, Eropa, dan Tiongkok, tanpa harus menurunkan pasukan massal dan persenjataan berat. Merujuk pada konsep smart power, MEF dapat mengusung cyberdefense sebagai bentuk upaya winning the heart and mind negara-negara (maupun nonnegara) yang mengancam. Terlebih Indonesia telah mengadopsi kebijakan Poros Maritim Dunia yang mengedepankan aspek ekonomi ketimbang politik-militer.
Pembangunan Industri Pertahanan Indonesia
Perjalanan industri pertahanan domestik masih di tahap pembelajaran awal, dan di sisi lain, target pemenuhan alutsista sudah mendahului kapabilitas industri pertahanan. Hal ini menjadikan belum maksimalnya penyelarasan kapabilitas industri pertahanan, target pengguna, dan anggaran negara. Permasalahan yang dihadapi industri pertahanan domestik diantaranya adalah, pertama, masih rendahnya alih maupun serapan teknologi pada industri pertahanan domestik, yang pada nantinya pula berbanding lurus dengan masih minimnya kualitas dan kuantitas produk-produk yang dihasilkan. Tingginya cost pada sektor penanaman modal dalam divisi penelitian dan pengembangan industri pertahanan tersebut menjadikan para stakeholders tidak dapat bergerak banyak. Akibatnya, negara masih membutuhkan pembelian alutsista dari industri pertahanan mancanegara.
Berkaca pada negara lain, Indonesia masih tertinggal jauh terutama mempertimbangkan keanggotaannya dalam G-20. Kegemilangan industri pertahanan terakhir kali terjadi pada tahun 1995 ketika PT IPTN meluncurkan pesawat N-250 yang berteknologi tinggi. Permintaan ekspor muncul, namun pasca krisis moneter industri ini mengalami kesulitan untuk bertahan.
Penguatan Pertahanan Udara melalui Pengambilalihan FIR
Pengelolaan wilayah udara sebagai bagian dari pertahanan udara merupakan wujud kedaulatan negara. Namun saat ini pengelolaan Flight Information Region (FIR) Indonesia masih dikelola oleh Singapura. FIR tidak hanya menyoal masalah teknis penerbangan dan informasi saja, tetapi juga integritas teritorial. Dengan dikuasainya FIR Natuna oleh Singapura, Indonesia terpaksa harus melaporkan berbagai kegiatan penerbangannya ke Singapura.
Bagi TNI Angkatan Udara, status quo ini berarti tidak ada rahasia yang dapat disimpan dari Singapura. Setiap misi penerbangan pada FIR Natuna akan selalu berada di bawah pengawasan air traffic control (ATC) negara tetangga, termasuk patroli rutin dan upaya penyergapan penerbangan gelap. Bahkan, menyalakan mesin pesawat harus mendapatkan izin mereka terlebih dahulu. Keadaan akan menjadi genting ketika ATC Singapura menolak izin terbang pesawat TNI AU atau sipil berbendera Indonesia saat kepentingan nasional mendesak. Jika seperti ini, sektor pertahanan Indonesia terlihat sangat keropos dan mudah disusupi.
Indonesia harus memiliki UU tentang batas wilayah kedaulatan udara, sehingga memiliki kepastian hukum untuk bertindak, manakala terjadi pelanggaran wilayah kedaulatan udara, menyangkut apa sanksinya dan bagaimana upaya pencegahannya. Presiden Jokowi pada tahun 2015 pernah menginstruksikan agar FIR yang selama ini dikuasai Singapura segera diambil alih. Ia meminta kementerian terkait mempersiapkan peralatan dan personel untuk mengelola ruang udara yang dimaksud. Jokowi memerintahkan FIR diambil alih Indonesia 3-4 tahun sejak instruksi dikeluarkan. Namun hingga saat ini, perkembangan ambilalih FIR masih pada tahap pembahasan. Kementerian Pertahanan ke depan perlu mengawal proses ini agar kedaulatan udara Indonesia dapat sepenuhnya dimiliki.
Penulis: Rizky Dea Alih Swasana, S.IP, M.Si, Pengamat Kajian Pertahanan dan Ilmu Intelijen
Daftar Pustaka
[1] Buzan, Barry. 1983. People, States & Fear. Wheatsheaf Books Ltd. Great Britain
[2] Adam M. Segal,“Chinesecyber attacks are driven by the desire to collect political and military intelligence, as well as to bolster economic competitiveness”dalam Adam M. Segal, “Cyberspace: The New Strategic Realm in US–China Relations”, Strategic Analysis Journal, Vol.38, No.4, 2014, hlm. 577.
[3] Michael Hardt dan Antonio Negri, Multitude: War and Democracy in the Age of Empire, (USA: The Penguin Press, 2004), hlm. 44
[4] Prashanth Prameswaran, “Indonesia’s Cyber Challenge Under Jokowi”, dalam http://thediplomat.com/2015/01/indonesias-cyber-challenge-under-jokowi/,
[5] Wawancara Soleman Ponto 29 Oktober 2019
[6] Kementerian Pertahanan, Peta Jalan Strategi Nasional Pertahanan Seber, (Jakarta: KementerianPertahanan RI, 2014), hlm. 1-2.
[7] Emily Goldman dan Thomas Mahnken,Information Revolution in Military Affairs in Asia, (New York: Palgrave McMillan, 2004)
[8] Ibid.,