JAKARTA, Teritorial.com – Rencana pemerintah menerapkan pelonggaran PSBB tampak tidak realistis di tengah kurangnya tes diagnostik virus corona di Indonesia. Hingga Sabtu (16/5) siang, Worldometer mencatat bahwa Indonesia telah melakukan 178.602 tes diagnostik virus corona lewat metode PCR (polymerase chain reaction). Jumlah tersebut hanya membuat rasio tes virus corona di Indonesia mencapai 654 tes per 1 juta penduduk.
Catatan tersebut juga membuat Indonesia berada di peringkat 160 dari 215 negara yang dihimpun Worldometer dalam hal capaian rasio tes per 1 juta penduduk.
Dengan ini pula, Indonesia punya rasio tes yang lebih kecil dibandingkan negara lain seperti Zimbabwe atau Bangladesh.
Zimbabwe, misalnya, punya capaian yang lebih baik ketimbang Indonesia dengam rasio 1.717 tes corona per 1 juta penduduk. Negara berpenduduk 14 juta orang itu bercokol di peringkat 137 sebagai negara yang punya rasio tes corona terbesar.
Adapun Bangladesh telah melakukan 160.512 tes corona dan punya rasio tes sebesar 976 per 1 juta penduduk. Negara berpopulasi 161 juta jiwa itu pun bercokol di urutan 149 dari 215 negara yang dicatat Worldometer.
Worldometer sendiri menghimpun data tes COVID-19 tersebut berdasarkan laporan resmi yang disampaikan pemerintah negara terkait.
Masalah tes diagnostik corona memang jadi masalah akut Indonesia selama virus corona. Hingga saat ini, negara kita belum mencapai 10.000 tes PCR per hari seperti yang dijanjikan pemerintah pada Maret 2020.
Menurut ahli epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Pandu Riono, Indonesia belum boleh menerapkan pelonggaran PSBB. Sebabnya, Indonesia belum memenuhi indikator kesehatan yang membuktikan kalau virus corona telah dapat dikendalikan.
“Masa negara yang lebih miskin dari kita seperti Bangladesh mampu melakukan tes lebih banyak,” kata Pandu.
Pandu menjelaskan, rencana untuk relaksasi itu memerlukan indikator kesehatan selama pandemi virus corona. Indikator tersebut terdiri dari indikator epidemiologi, kesehatan masyarakat (public health), dan kesiapan layanan kesehatan.
Melalui indikator epidemiologis, jelas Pandu, di dalamnya harus memuat data penurunan kasus, penurunan suspect, dan penurunan kematian. Evaluasi data tersebut mesti dilihat dalam kurun waktu dua minggu atau lebih.
Kedua, indikator public health atau kesehatan masyarakat. Indikator ini berisi data mengenai jumlah tes diagnostik yang telah dilakukan. Pandu menyebut, tes diagnostik tidak boleh kendur jika pemerintah mau menerapkan relaksasi PSBB. Indikator public health juga berisi soal kesehatan masyarakat secara umum seperti apakah orang yang pakai masker meningkat, apakah orang yang menjaga kesehatannya meningkat seperti cuci tangan, dsb.
Adapun indikator terakhir berkutat pada kesiapan layanan kesehatan yang tersedia. Di dalam indikator ini, pemerintah harus memastikan ketersediaan ICU dan alat pelindung diri (APD). Tujuannya agar memastikan layanan yang tersedia mampu menopang pasien jika tiba-tiba ada lonjakan kasus kembali.
“Kalau itu semua sudah dipenuhi, baru kita boleh satu step untuk dilonggarkan,” kata Pandu. “Kita masih jauh dari itu.”