Jakarta, Teritorial.Com – Wakil Ketua Internal Komnas HAM RI Munafrizal Manan menilai pembubaran organisasi kemasyarakatan (Ormas) oleh pemerintah tanpa melalui proses pengadilan atau tanpa prinsip due process of law tidak dibenarkan. Dia menegaskan, agar pemerintah tidak membubarkan organisasi hanya berdasarkan asas contrarius actus serta tanpa mekanisme proses peradilan.
’’Dalam perspektif HAM, sanksi pencabutan status badan hukum suatu organisasi berdasarkan asas contrarius actus sangat jelas tidak dapat dibenarkan. Karena memberikan keleluasaan dan sewenang-sewenang dalam mematikan suatu organisasi,’’ kata Munafrizal dalam keterangannya, Kamis (31/12).
Hal tersebut terkait dengan right to freedom of association sebagai negative rights yang bermakna negara dilarang melakukan intervensi yang mereduksi penikmatan atas hak tersebut. Serta disebut sebagai positive obligation, dimana negara wajib memastikan semua warga negara menikmati hak itu.
’’Jaminan hak kebebasan berserikat dan berkumpul merupakan ciri penting bagi suatu negara hukum dan negara demokratis. Kalau tidak memberikan kepastian tentang hak atas kebebasan berserikat dan berkumpul maka bisa disebut negara tidak sepenuhnya demokratis,’’ tegas Munafrizal.
Hak berserikat dan berkumpul, sambung Munafrizal, merupakan hak yang bersifat individual dan kolektif yang memiliki irisan dengan hak sipil dan hak politik. Hak ini juga saling berkaitan erat dengan hak kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat yang diaktualisasikan dengan keleluasaan orang untuk menyampaikan pikiran, ide, aspirasi dan keyakinan secara kolektif.
Pernyataan dari Munafrizal itu muncul menyusul dengan sikap pemerintah untuk menyoal regulasi hak atas kebebasan berserikat dan berkumpul, Munafrizal menjelaskan, sesuai Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 24 ayat (1) UU No. 39/1999 tentang HAM, UU No. 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, UU No. 21/2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, UU No. 16/2001 tentang Yayasan, UU No. 28/2004 tentang Perubahan UU No. 16/2001 tentang Yayasan, dan UU No. 16/2017 tentang Penetapan Perppu No. 2/2017 tentang Perubahan atas UU 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Munafrizal juga menyebut, hak kebebasan berserikat dan berkumpul termasuk derogable rights yang dalam keadaan dan situasi tertentu dimungkinkan untuk dilakukan pembatasan dengan pertimbangan-pertimbangan yang spesifik dan secara bersyarat. Hal ini absah sebagaimana dalam ICCPR/KIHSP, UUD Tahun 1945, dan UU HAM.
’’Pembatasan tidak boleh dimaksudkan untuk mereduksi hak atas kebebasan berserikat dan berkumpul. Pembatasan itu pertama harus diatur oleh hukum, kemudian ada juga kalimat diperlukan dalam masyarakat demokratis. Jadi keputusan pemerintah membatalkan status badan hukum suatu organisasi, artinya mencabut hak dan kewajiban yang melekat pada subyek hukum, merupakan bentuk penghukuman (konstitutif) yang sebetulnya harus berdasarkan putusan pengadilan,’’ tegas Munafrizal.
Sebelumnya, Menko Polhukam Mahfud MD menegaskan pemerintah melarang FPI untuk melakukan kegiatannya. Karena tidak lagi mempunyai legal standing. Hal ini juga sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 82 PUU 11/2013 tertanggal 23 Desember 2014.
“Sehingga pemerintah melarang aktivitas FPI dan akan menghentikan segala kegiatan yang dilakukan FPI karena FPI tidak lagi mempunyai legal standing baik sebagai ormas maupun sebagai organisasi biasa,” ujar Mahfud dalam konferensi pers, Rabu (30/12).
Mahfud meminta kepada aparat kepolisian untuk mencegah jika nantinya ada aktivitas ormas ataupun organisasi yang mengatasnamakan FPI.