Jakarta, Teritorial.com – Bareskrim Polri tetap memproses hukum 6 orang laskar Front Pembela Islam (FPI) meskipun keenamnya sudah tewas dalam insiden di Tol Jakarta-Cikampek Km 50. Keenamnya ditetapkan sebagai tersangka dan polisi meneruskan berkas perkaranya ke kejaksaan.
Padahal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP tepatnya Pasal 77 disebutkan mengenai status perkara seseorang yang dijerat pidana kemudian meninggal dunia. Seperti apa bunyinya? Namun Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri Brigjen Andi Rian Djajadi mengatakan enam orang laskar FPI itu tetap diproses hingga dilimpahkan ke kejaksaan. Keenam laskar FPI itu dijerat dengan Pasal 170 KUHP tentang kekerasan.
“Iya jadi tersangka 6 orang itu. Yang (Pasal) 170 itu memang sudah kita tetapkan tersangka, sudah ditetapkan tersangka. Kan itu juga tentu harus diuji, makanya kami ada kirim ke jaksa, biar jaksa teliti,” ujar Brigjen Andi pada Rabu (3/3/2021).
Menurut Brigjen Andi, pengadilan yang akan memutuskan penghentian perkara mengenai status enam tersangka itu yang sudah meninggal dunia. Saat ini Andi memilih melimpahkan berkas perkaranya ke kejaksaan. “Iya, bisalah. Kan jadi tersangka dulu, baru nanti pengadilan yang putuskan bagaimana ke depan. Ke depannya berkas akan dilimpahkan ke jaksa. (Penghentian kasus) itu kan bisa di penyidikan, bisa di penuntutan,” kata Andi.
Tindakan Bareskrim Polri itu dikritik keras Abdul Fickar Hadjar sebagai pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti. Abdul Fickar menilai tindakan hukum hanya bisa dilakukan pada orang yang masih hidup. “Yang bisa ditetapkan sebagai tersangka itu orang hidup gitu lho. Salah satu alasan hapusnya hak menuntut itu matinya seseorang,” kata Abdul Fickar kepada wartawan, Kamis (4/3/2021). “Nggak boleh ditetapkan sebagai tersangka. Konyol, orang sudah meninggal nggak bisa ditetapkan (Pasal) 77 (KUHP), itu harus diterjemahkan seperti itu,” imbuhnya.
Dia mendesak kejaksaan menolak berkas perkara dari polisi. Menurutnya, perkara yang diduga melibatkan enam orang laskar FPI itu otomatis gugur karena terduga pelakunya meninggal dunia semua. “Konyol, harus ditolak oleh kejaksaan, nggak ada alasan untuk meneruskan kasus itu. Gugur, menghentikan, orang udah meninggal kok diteruskan, harus menghentikan penyidikan. Ini tindakan yang berlebihan dan tidak berdasar hukum, karena KUHP menentukan gugurnya hak menuntut adalah meninggalnya seseorang, karena itu tidak ada alasan yuridis apa pun untuk menentukan orang yang sudah meninggal sebagai tersangka,” ucap Abdul Fickar.
“Tindakan kepolisian seharusnya melaksanakan rekomendasi Komnas HAM yang harus memproses dan menetapkan sebagai pelaku tersangka pembunuhan ke-6 orang anggota FPI yang mati. Ini lucu, malah seolah-olah melakukan pembelaan,” imbuhnya.