Washington D.C., Teritorial.com – Persaingan strategis yang tengah mewarnai politik internasional saat ini terbilang cukup ampuh dalam menciptakan deficit trust antar negara di kawasan. Hal tersebut berdampak pada retorika senjata pemusnah massal yang kian memanas dan selalu menjadi isu utama dalam setiap persidangan di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Disampaikan mantan Menteri Energi Amerika Serikat (AS) era Presiden Barack Obama, Ernest Moniz, mulai dari konflik Laut Cina Selatan (LCS), Konflik Semananjung Korea, hingga perebutan hegemoni AS-Tiongkok telah membuat risiko perang nuklir berada di titik tertinggi sejak krisis rudal Kuba.
Setiap negara dihimbau untuk tetap waspada dan tidak melakukan bentuk tindakan provokasi. Miscalculatin dan Misperseption suatu saat sanga dimungkinkan kemungkinan terjadi sebuah kesalahan besar yang akan mengakibatkan perang nuklir.
Berbalik ke sejarah, selama Perang Dingin, AS dan Uni Soviet hampir menembakkan senjata nuklir beberapa kali setelah secara keliru mengira mereka diserang. “Risiko persenjataan nuklir yang dikerahkan lebih tinggi daripada krisis Kuba yang pernah terjadi”, ungkap Moniz dikutip dari the guardian (17/2/2018).
Memasuki awaln tahun 2018 ini, Korea Utara melalku presiden Kim Joung Un telah menyatakan bahwa proses pengembangan Inter-Continental Balistics Missile (ICBM) dengan alat pelontar rudal jarak jauh tinggal menjalani porses tahap akhir yang sebentar lagi akan dapat terselesaikan. Nuklir Korut tentunya merupakan ancaman bagi perdamaian dunia, hal tersebut tentunya akan sangat menggangu stabilitas keamanan internasional.
Mantan Menteri Energi AS tersebut menambahkan bahwa risikonya semakin meningkat dengan kebijakan Trump yang menerbitkan dokumen Nuclear Posture Review (NPR) pada awal bulan ini. Ambisi Trump untuk meningkatkan kemampuan senjata nuklir AS tertuang dalam dokumen NPR tersebut. Salah satu poin dalam dokumen itu adalah pengembangan rudal yang bisa ditembakkan dan kapal selam dan rencana AS menginvestasikan USD10 miliar untuk memodernisasi bom gravitasi B61.
Menurut Moniz, hal itu sangat memprihatinkan. ”Penggunaan kapal selam kelas baru untuk meluncurkan senjata yang lebih kecil, sepertinya kita hanya menambahkan masalah soal salah perhitungan,” katanya. Selain itu, risiko serangan siber skala besar yang terus meningkat dapat memicu perang nuklir antara dua negara adidaya. (SON)