Jakarta, Teritorial.com – Setelah sebelumnya menyinggung soal Flight Information Region (FIR), fokus kepada penguatan Pertahanan Udara sebagaimana yang telah disampaikan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahhanto sebelumnya. Proyeksi pembangunan TNI AU diarahkan untuk dapat mencapai air supremacy dan air superiority.
Menyadari akan keterbatasan kekuatan TNI AU di era sebelumnya, maka pecapaian air supremacy dan air superiority yang dengan kata lain merupakan keadaan dominasi penuh kekuatan udara suatu negara atas seluruh wilayah kedaulatan udara baik dalam bentuk kampanye militer maupun pelaksanaan operasi Anti-Access Area Denial (A2/AD). Hal inilah yang tengah menjadi fokus utama TNI AU sebagaimana yang diungkapkan Marsekal TNI Yuyu Sutisna saat upacara pelantikan sertijab KSAU bulan januari lalu.
Sejalan dengan pernyataan tersebut pemerintah Indonesia pada dasarnya sudah mempersiapkan hal tersebut jauh hari sebelumnya. Kebijakan terkait penambahan unit pesawat tempur mulai dari 11 Sukhoi SU-35 buatan Rusia hingga perpanjangan kontrak kerja sama pertahanan dengan Amerika Serikat (AS) melalui Hibah 24 Unit Pesawat F-16 C/D yang baru saja tiba beberapa hari lalu, kesemuanya diupayakan guna menutupi kekurangan yang ada sebelumnya.
Menurut keterangan langsung dari KSAU Mersekal Yuyu, 11 pesawat tempur Sukhoi SU-35 itu nantinya akan ditempatkan di Skadron 14 Lanud Iswahjudi menggantikan pesawat tempur jenis F5 yang sudah tidak layak beroperasi. Adapun terkait pembanguan Infrastruktur yang dibutuhkan untuk mengoperasikan 11 pesawat tempur buatan Rusia itu masih dalam tahap pengerjaan bersamaan dengan setibanya nanti di Indonesia.
Sedangkan 24 Unit Pesawat F-16 Block 52ID rencananya akan menempati Skuadron Udara 16 Lanud Pekanbaru sebanyak 16 unit, sedangkan 8 unit lagi akan ditempatkan di Skuadron Udata 3 Lanud Iswahyudi. Dengan kecanggihan yang melekat dalam pesawat tempur Sukhoi SU-35 peran ganda dalam Air to Air Missile dan Air To Ground Missile, TNI AU mengupayakan peningkatan SDM baik dilevel Satuan Penerbang hingga unit pendukung lainnya guna mengikuti lompatan teknologi pesawat tempur generasi 4,5.
Beralih pada konteks yang lebih mendasar mengenai kebijakan kerja sama pertahanan Indonesia dengan kedua negara maju tersebut yakni AS dan Rusia, hingga dampaknya terhadap bargaining position Indonesia di tengah konstelasi politik internasional yang terjadi hari ini, tentunya sangat menyita perhatian lantaran bicara mengenai dinamika politik internasional dewasa ini tidak akan terlepas dari pesaingan strategis negara-negara maju seperti AS, Rusia, bahkan Tiongkok.
Arm Races “Hantu” Geopolitik Asia-Pasifik
Asia-Pasifik yang kini bertransformasi menuju Indo-Pasifik tidak lain merupakan kawasan yang menjadi Pivot area bagi kepentingan kekuasaan negara-negara besar. Dari data yang berhasil dihimpun sejak tahun 2011 hingga akhir 2016 lalu, Asia-Pasifik sebagai kawasan importir alutsista terbesar di dunia, dimana modernisasi alutsista, penambahan gelar pasukan, hingga proyeksi pertahanan menjadi kata kunci yang tengah diupayakan hampir seluruh negara termasuk Indonesia sendiri.
Dalam lima tahun terakhir, anggaran pertahanan Tiongkok meningkat drastis hingga 143%. Dampaknya besar bagi industri pertahanan Tiongkok yang semakin berorientasi ekspor dan mengurangi impor. Dengan ini fenomena arm races seolah menjadi hal yang tak lagi dapat dihindarkan.
Kenyataan geopolitik seolah mengarah pada kekhawatiran tak berujung dimana konflik horizontal, seperti terorisme, saparatisme, pembataian etnis, hingga konflik antar negara seperti sengketa Laut Cina Selatan (LCS), nuklir Semenanjung Korea, kebangkitan Tiongkok, hingga over klaim Air Defense Identification Zone (ADIZ) di wilayah perbatasan udara Jepang-Tiongkok-Korsel, terus menghantui stabilitas kawasan.
Lantas bagaimana keterkaitan soal kebijakan pertahanan Indonesia terutama penambahan alutsista pertahanan udara, hingga dampaknya terhadap perimbangan relasi diplomatik Indonesia baik terhadap AS maupun Rusia ?, dan apakah modernisasi alutsista termasuk didalamnya perwujudan kemandirian industri pertahanan nasional berdampak strategis bagi Indonesia terutama dalam menyikapi isntabilitas keamanan kawasan yang sekarang ini tengah berlangsung di Asia-Pasifik?
Kerja Sama Pertahanan Indonesia Mendayung Diantara dua Karang
Beralih pada mazhab geopolitik, penilaian terhadap dua pencapaian hasil kerja sama dengan AS dan Rusia yang terjadi hampir secara bersamaan tentunya mengundang perdebatan terutama dikalangan akademisi maupun pengamat pertahanan. Mengapa hal tersebut terjadi, AS dan Rusia hari ini layak disimpulkan sebagai titik sentral bagi proses modernisasi alutsista Indonesia.
Sempat mendapat tamparan keras terkait embargo senjata dari AS ternyata tidak menghentikan niat pemerintah kembali menjalin kerja sama pertahanan dengan negara Paman Sam tersebut. Adapun alasan meminimalisir ketergantungan alutsista terhadap satu negara menjadikan Rusia sebagai pilihan yang tepat bagi Indonesia. Disamping itu alasan penguasaan teknologi juga menjadi faktor utama dalam menjatuhkan pilihan kepada dua negara maju tersebut.
Soal persaingan bisnis tentu produk AS maupun Rusia selalu menjadi pilihan utama bagi negara-negara di dunia terutama bagi negara berkembang seperti Indonesia dll. Politik luar negeri yang bebas aktif layaknya menjadi dua sisi mata koin yang berbeda, di satu sisi bedampak positif bagi Indonesia untuk membangun kerja sama petahanan dengan siapapun. Disisi lain, tanpa keberpihakan khusus ternyata juga menghambat Indonesia mendapatkan transfer teknologi secara komperhensif dari kedua negara yang bersangkutan.
Terlalu naif nampaknya jika hanya menjadikan kepentingan keamanan nasional dan upaya menjaga stabilitas keamanan kawasan menjadi alasan untuk dapat merayu AS dan Rusia meningkatkan kadar kerja sama pertahanan dengan Indonsia. Menjadi agak rumit dikarenakan kerja sama petahanan tidak hanya sebatas perhitungan untung-rugi, namun lebih dari itu adalah pengaruh strategis serta dominasi dalam bentuk apa yang bisa diraih jika kedua negara besar tersebut menggolkan peningkatan kerja sama pertahanan kembali dengan Indonesia.
Jika dibandingkan dengan Malaysia nampaknya Indonesia masih jauh lebih beruntung, mengapa? hingga saat ini permintaan Malaysia soal pengadaan Sukhoi SU-35 masih ditangguhkan oleh Rusia. Faktor yang sangat mendekati adalah soal keanggotaan Malaysia dalam Five Power Defense Arrangements (FPDA) yang menjadi simbol kedekatan negara Singa Malaya itu dengan pihak Barat dan sekutu AS. Namun jika dibandingkan dengan Singapura, Indonesia jelas masih tertinggal dengan negara terkecil di ASEAN itu. Untuk saat ini Singapura memiliki sekitar 120 lebih jet tempur dengan jenis yang beragam buatan AS seperti F-15SG, F-16 Block 62id, Typhoon, Rafale, bahkan F-35, yang isunya diparkir di Australia.
Menyikapi hal tersebut dengan menghilangkan polugri bebas aktif yang sama halnya dengan meninggalkan prinsip non-aliansi demi pencapaian modernisasi alutsista jelas bertentangan dengan pembukaan UUD 1945. Lantas apa yang bisa ditawarkan Indonesia selain hal normatif seperti penguatan hubungan diplomatik dll. Tentunya dengan menganalisa konteks regional yang berkembang saat ini, merupakan cara terbaik yang bisa dilakukan oleh Indonesia
Jika dicermati dengan baik pastinya ditemukan beberapa cara yang layak digunakan untuk meraih keuntungan ditengah persaingan strategis antara AS-Rusia. Pertama konteks geografis Indonesia sebagai pertemuan antara Samudera Pasifik dan Hindia bahkan dengan Australia melalui Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) bisa menjadi faktor geografis yang seharusnya ditingkatkan guna mengakomodasi kepentingan kedua negara tersebut terutama dalam perlintasan barang dan jasa. Hal ini tentunya berkaitan dengan realisasi diskursus Indo-Pasifik dimana AS sendiri tengah mengupayakan konsep “free and open Indo-Pacific Region” sebagai jalan keluar atas ketegangan yang melanda Asia-Pasifik di tengah kebangkitan Tiongkok.
Kedua, komitmen Indonesia untuk terus mempertahankan status quo atas LCS dengan megupayakan freedom of navigation dan overflight, dapat dipadukan dengan posisi Indonesia sebagai sosok pemimpin natural di ASEAN yang terus menggelorakan ASEAN-Ways guna mencegah klaim sepihak serta upaya unilateralisme Tiongkok di kawasan.
Ketiga yakni memberikan kesempatan kerja sama Indonesia dengan kedua negara tersebut dalam pengelolahan sumber daya energi yang terkandung di bumi nusantara. Walaupun cukup beresiko terhadap praktik kecurangan yang hanya menguntungkan sebelah pihak sebagaimana yang terjadi di Papua seperti PT Freepot. Namun hal ini terbilang masih cukup relevan jika Indonesia sendiri mencoba membangun bargaining position yang kuat dalam kerja sama pengelolahan sumber daya alam yang terkandung di Indonesia. Cara tersebut masih menyisahkan peluang besar bagi Indonesia guna meningkatkan SDM khususnya dalam teknologi pengelolahan sumber daya alam.
Adapun keseriusan pemerintah serta animo berbagai industri pertahanan di Indonesia baik nasional maupun swasta juga berpeluang besar menjadi alternatif yang secara bertahap wajib dikembangkan oleh Indonesia dalam meminimalisir ketergantungan terhadap kedua raksaksa produsen alutsista tersebut. Setidaknya hasil joint production pesawat temput generasi 4,5 IFX/KFX dengan Korsel, ditambah kemajuan produk PT Dirgantara Indonesia, menjadi babak baru dalam transisi teknologi kedirgantaraan nasional yang diharapkan dapat menjadi embrio bagi kelahiran pesawat tempur karya anak negeri di era selanjutnya.
Sony Iriawan S.IP, M.Si (Han) Akademisi Sekaligus Pemerhati Studi Geopolitik dan Keamanan Internasional.