Tampaknya negara-negara yang berkepentingan dengan Laut Cina Selatan sudah hampir yakin ketegangan akan meningkat. Dalihnya beragam, mulai dari aspek kedaulatan, mempertahankan kebebasan pelayaran, menjamin keamanan transportasi barang dan jasa serta hampir rampungnya cita-cita Amerika Serikat, Israel dan sekutu-sekutunya menghancurkan negara-negara penentang di Timur Tengah.
Produsen senjata memandang dunia yang gemah ripah loh jinawi tata tentram kerta raharja merupakan bencana, sedangkan ketegangan dan konflik merupakan berkah. Untuk itu harus dicari kawasan baru untuk lahan perdagangan senjata. Kebetulan gagasan ini ketemu dengan prinsip-prinsip,…jika ingin damai bersiaplah untuk perang, alutsista sebagai unsur penjera dan serdadu harus menguasai kemajuan teknologi alutsista.
Sekalian prinsip-prinsip tersebut masih kurang hingga perlu dikuatkan dengan fakta. Salah satu diantara fakta itu adalah menguatnya perekonomian, keuangan, kekuatan militer dan pengaruh China. Sekutu-sekutu dekat , bahkan termasuk Vietnam yang pernah hancur oleh alutsista AS namun punya sejarah buruk dengan Kerajaan Tengah, diajak untuk menganggap Beijing sebagai ancaman terhadap stabilitas dan keamanan kawasan.
Penonjolan aspek ‘kebersamaan’ ini bukan sesuatu yang gratis. Harus membeli alutsista dari Raytheon, Lockheed Martin, Boeing dan penghasil produk militer lain disertai kemudahan pembelian dengan penyediaan pembiayaan secara kredit. Ujung-ujungnya negara penganjur ‘kebersamaan’ yang memperoleh laba lebih dulu, dalam bentuk mesin produksi tetap berjalan, tak perlu mem-PHK karyawan, mendapat keuntungan finansial, ada ketergantungan spare parts, menciptakan ‘proxy wars’ dan tetap menjadi pemimpin .
Kedekatan dengan Barat bisa dijadikan alat tawar-menawar dengan China. Bobotnya semakin besar bila China menganggap Indonesia penting. Presiden Soekarno pernah memainkan hal serupa dalam upaya merebut Irian Barat. Memanfaatkan Perang Dingin AS-Uni Soviet.
Mencari Kebanggaan
TNI Angkatan Udara kini memiliki pesawat-pesawat tempur papan atas. Selain sepuluh Sukhoi jenis Su-27SK dan Su-30MK, TNI AU juga akan mengoperasikan sebelas SU-35 dengan persenjataan langkap. Pada 28 Februari lalu, Menhan Ryamizard Ryacudu menerima penyerahan 23 unit pesawat tempur F-16 tipe C/D Blok 52ID dan satu unit F-16 tipe C. Sejumlah satu unit F-16 tipe C lainnya total lost di Bandara Halam Perdana Kusumah pada 16 April 2015 akibat gagal mesin.
Kehadiran kedua jenis pesawat papan atas itu lebih bermakna bila dipandang dari penerapan sikap politik luar negeri yang bebas aktif sebab membeli pesawat-pesawat modern dari dua negara yang berlawanan. Mengingat F-16 yang dimiliki TNI kalah jauh dibandingkan dengan milik Singapura. Pemerintah mengambilnya dari padang pasir Utah ketika masih berstatus F-16 Blok 25, sebaliknya Singapura langsung dari ‘oven” dengan kemampuan daya jangkau radar yang telah diperbarui.
Rakyat Indonesia memerlukan kebanggaan setelah merebut kemerdekaan dengan darah dan air mata. Indikator-indiktor ekonomi tidak bisa dibanggakan dari waktu ke waktu. Kalau nilai tukar rupiah sebagai indikatornya, tengoklah papan kurs matauang di Bandara Changi?
Dalam pada itu keinginan untuk memiliki Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) jauh panggang dari asap akibat kekhawatiran yang tidak semestinya, yakni pencemaran lingkungan dan takut bocor. Dampaknya Indonesia terus bergantung dari BBM, Gas dan Batubara akhirnya tidak memiliki kebanggaan.
Realisasi menghasilkan pesawat terbang sendiri menjadi kebanggaan sekejap. Lebih banyak yang memandang remeh bahkan menjelek-jelekan buatan PTDI, tetapi mereka bungkam ketika Indonesia mengimpor Boeing-737, Airbus dan Bombardier CRJ-1000. Dalam pembuatan sekalian pesawat ada tenaga ahli Indonesia ‘lepasan’ PTDI.
Kemana lagi mencari kebanggaan sebagai bangsa ketika ada anak negeri yang lebih suka membuat Indonesia begini-begini saja.Nggak boleh ini, nggak boleh itu karena setiap harus membayar cicilan dan utang pokok. Ini jangan, itu sayur lantaran mesti membayar bunga BLBI?
Keberadaan Su-35 bisa menjadi kebanggaan tetapi bangsa Indonesia masih memerlukan soliditas dan ekonomi nasional yang tak terlalu tergantung kepada negara lain. Mungkinkah Indonesia terus begini, sementara ketegangan sebentar lagi akan muncul? Ketegangan sulit dicegah dengan code of conduct bila AS ada maunya.
SAF Pengamat Politik Internasional