Surabaya, Teritorial.com – Tanggal 15 November 1978 menjadi momen yang tak akan pernah dilupakan oleh H. Soeharto, seorang jurnalis Surabaya Post yang bertugas meliput ibadah haji. Saat itu, Sebuah pesawat yang mengangkut jemaah haji dari Arab Saudi ke Indonesia mengalami kecelakaan di Kolombo, Sri Lanka. Tragedi tersebut menewaskan 183 dari 262 penumpang dan awak kabin. H. Soeharto adalah salah satu penumpang yang selamat dalam tragedi maut tersebut.
Kecelakaan tersebut menimpa pesawat milik maskapai Icelandic Airlines yang disewa oleh Garuda Indonesia untuk mengangkut jemaah haji kembali ke Indonesia. Penerbangan berjalan mulus hingga mendekati bandara Kolombo di Katunayake, Sri Lanka. Pada pukul 23.00 waktu setempat, pilot meminta izin untuk menggunakan landasan pacu 22. Persiapan mendarat pun dilakukan. Namun, 30 menit kemudian, pesawat nahas tersebut jatuh.
“Saat itu hujan sangat lebat, yang pertama saya lihat adalah tubuh pesawat yang patah menjadi 3 bagian. saya lihat karena cahaya kobaran api yang membakar pesawat,” ujar Soeharto yang ditulis dalam bukunya berjudul Menunggu Nikmat Ketiga.
Ia melihat tubuh-tubuh bergelimpangan. Ada yang menimpa kaki, tangan, dan bahkan badannya. Mereka yang hidup berteriak menyebut nama orang tuanya dan terus bertakbir.
“Suasana malam itu benar-benar mengerikan, tubuh saya terlempar 400 meter, saya sangat sulit menghapus bayangan itu,” Kenang Soeharto.
Soeharto hanya bisa berteriak dan mengerang sambil berharap ada orang yang mendengar dan menolong, Namun sayangnya, malam itu tidak ada orang sama sekali. Barulah ketika pukul 09.00 waktu setempat, ada sekelompok orang mengendarai Jeep Wilys datang menolongnya.
“Kaki saya patah, sakitnya luar biasa, mereka membawa saya ke rumah sakit kecil di desa Katukanayake,”
Setelah seminggu dirawat, ia kembali ke Indonesia. Dengan naik pesawat Garuda, ia duduk di kursi nomor 6. Ia memilih nomor 6 lantaran, ia dilahirkan sebagai anak ke-6 dari 12 bersaudara.
Soeharto menjadikan tragedi kecelakaan pesawat tersebut ujian dan teguran dari Allah kepada dirinya. Tragedi yang menelan ratusan korban mati syahid itu selain sebagai “hadiah”, juga menjadi hidayah
bagi Soeharto, yang saat ini genap berusia 80 tahun.
“Yang kini tak pernah putus saya syukuri adalah kenyataan bahwa Allah menarik tangan saya, mungkin dengan cara yang sangat keras, untuk kembali mendekat kepada-Nya,” ujarnya.
Ia melihat dahsyatnya kecelakaan tersebut, seharusnya menewaskan semua penumpang, Bangkai pesawat hancur total. Namun, Allah berkehendak lain. Ia dan segelintir penumpang selamat dalam tragedi itu.
“Betapa Allah masih melindungi saya, hadiah itu adalah pintu pencerahan, sepercik cahaya kehidupan yang Allah berikan kepada saya,” pungkas H. Soeharto.