Jakarta, Teritorial.com – Invasi Rusia ke Ukraina membuat banyak pihak ketar-ketir, bahkan yang tampak tidak terkait seperti Volkswagen atau VW, juga BMW dan Mercedes Benz. Ketiganya dikenal sebagai trio produsen mobil top Jerman. Mereka bergegas menghentikan proses produksi di pabrik-pabrik cabang Rusia dan menutup keran ekspor ke sana.
Untungnya Rusia bukanlah pangsa yang besar bagi mereka. Sepanjang 2021, produk VW yang terjual di Rusia tak sampai 200 ribu unit—bak remah-remah dibandingkan dengan total penjualan di seluruh dunia, 8,88 juta unit. Pun demikian dengan BMW dan Mercedes Benz. Masing-masing membukukan penjualan 49 ribu unit (2,3 persen dari total penjualan global) dan 43 ribu unit (2,6 persen).
Situasi menjadi jauh lebih pelik jika skenario sama dijalankan untuk menyikapi dinamika Republik Rakyat Cina, sekutu penting Rusia dengan ambisi ekonomi dan militer besar yang kian dipandang sebagai ancaman oleh sejumlah elite Barat.
Faktanya, dilansir Financial Times edisi Maret 2022, separuh pendapatan dan profit VW setiap tahun berasal dari dompet warga Negeri Tirai Bambu. Menurut statistik tahun 2021, mobil produksi VW—termasuk jenama milik mereka yang lain seperti Audi, Porsche, dan Skoda—laku di penjuru Cina setiap 9,5 detik.
Tidak heran seorang mantan eksekutif VW menyatakan Cina adalah “tambang emas”. Lalu salah satu figur pemimpin VW, Herbert Diess, menyatakan bahwa “Cina mungkin tidak memerlukan VW, tapi VW sangat membutuhkan Cina.” Atau, seperti kata seorang penasihat industri otomotif, tanpa Cina VW berpotensi mengalami “krisis eksistensial”.
Tentu saja Cina tak hanya berharga bagi jenama otomotif. Sektor bahan kimia, salah satu pilar yang turut menyokong fondasi utama industri manufaktur Jerman, pun tak kalah bergantung. Mereka tak segan untuk berinvestasi dalam skala masif. Misalnya, pada 2018, ketika Jerman masih dipimpin oleh kanselir pragmatis Angela Merkel, korporasi kimia terbesar di dunia BASF mengungkap rencana mengeluarkan 10 miliar euro (Rp160 triliun) hingga 2030 demi membangun pabrik di Guangdong, provinsi paling padat di Cina.
Awal 2022 silam, sekitar tiga hari sebelum invasi Rusia ke Ukraina, CEO BASF Martin Brudermüller ditanya oleh media Prancis Le Monde tentang risiko bekerja sama dengan entitas yang dipandang semakin agresif terhadap pemerintah Eropa dan Amerika Utara. Brudermüller memberikan jawaban pragmatis ala pebisnis: “Pada tahun 2030, Cina akan mewakili 50 persen pasar bahan kimia dunia. Apabila ingin jadi raksasa kimia global, siapa pun tidak mungkin tidak tertarik pada sebagian pasarnya.”
Secara umum, Cina adalah partner dagang utama Jerman selama tujuh tahun berturut-turut. Total nilai produk yang saling mereka perdagangkan pada 2022 nyaris mencapai 300 miliar euro (Rp4.800 triliun). Namun Jerman masih mengimpor lebih banyak dengan defisit sebesar 84 miliar euro.
Hubungan yang Rentan Terguncang
Di balik relasi yang begitu erat, gesekan geopolitik sekecil apa pun yang menyangkut Cina dan negara lain ternyata mampu menimbulkan guncangan pada industri Jerman.
Contoh terbarunya berkaitan dengan isu Taiwan. Dua tahun lalu, Lithuania, anggota Uni Eropa dari kawasan Baltik, mengizinkan dibukanya kedutaan besar de facto Taiwan di ibu kota Vilnius. Beijing yang menganggap Taiwan adalah bagian dari mereka marah sampai-sampai memboikot produk Lithuania. Namun negara kecil dengan 2,8 juta populasi jiwa itu tidak terintimidasi karena nilai perdagangan dengan Cina hanya sedikit (satu persen dari ekspor, tiga persen dari impor).
Dampaknya justru dirasakan oleh pabrik-pabrik Jerman yang merupakan investor besar di Lithuania. Mereka banyak memproduksi komponen penunjang ragam keperluan industri—otomatis menjadi bagian dari rantai pasokan komoditas lintas negara yang sulit tergantikan.
Gara-gara perseteruan Vilnius-Beijing, perusahaan Jerman di sana, seperti produsen komponen otomotif top dunia Continental, Hella, Bosch sampai korporat teknologi Siemens, dilaporkan mengalami masalah bea cukai dengan Cina. Produk-produknya tertahan atau dipersulit masuk Cina. Otoritas Cina bahkan diduga sampai menekan Continental agar tidak memakai komponen yang disuplai dari pabriknya di Lithuania.
Perkara invasi Rusia ke Ukraina pun dikhawatirkan akan ikut memengaruhi relasi dagang Sino-Jerman. Apabila Cina terkonfirmasi memberikan dukungan militer untuk Rusia sebagaimana rumor yang baru-baru ini muncul dari dokumen Pentagon yang bocor, kecaman dan ancaman sanksi tentunya akan diberikan oleh para pemimpin negara-negara NATO di Uni Eropa. Bukan tidak mungkin para pengusaha Jerman ikut merasa tertekan untuk mengambil sikap sehingga bisnisnya di Cina berpotensi merugi.
Kehilangan Cina sebagai Penyuplai
Perusahaan-perusahaan Jerman memang akan merugi jika kehilangan pasar konsumen di Cina. Namun kesialannya tak hanya itu. Kerugian Jerman bahkan akan jauh lebih besar apabila mereka kehilangan Cina sebagai penyokong industri. Faktanya Jerman selama ini mengimpor lebih banyak komoditas Cina—terutama produk-produk teknologi dan komponen pendukungnya—ketimbang sebaliknya.
Menurut laporan Kiel Institute for the World Economy yang terbit awal tahun ini, Jerman mengimpor sedikitnya 80 persen laptop dari Cina, 68 persen telepon genggam, dan 62 persen komponen komputer seperti kartu suara dan grafik.
Jerman bergantung pula pada mineral dan material alam langka dari Cina untuk memproduksi perangkat teknologi. Untuk membuat baterai dan teknologi permukaan-pelapisan, misalnya, 85 persen skandium dan antimon didatangkan dari negara yang pernah menjalani Revolusi Kebudayaan tersebut.
Dilansir dari The Times, asosiasi pelobi bisnis berpengaruh di Jerman Federation of German Industries mengungkapkan bahwa ketergantungan Jerman pada mineral asal Cina jauh lebih tinggi daripada minyak dan gas asal Rusia. Sampai tahun 2021, sebanyak 55 persen gas di Jerman dipenuhi dari Rusia. Jerman jugalah konsumen gas alam Rusia terbesar di dunia.
Masih dikutip dari The Times, ada banyak produk dan bahkan program nasional lain yang disuplai atau bergantung oleh material Cina. Misalnya program transisi menuju energi hijau yang disokong oleh panel surya dan turbin angin buatan Cina. Bahkan, seperti disampaikan oleh peneliti dari program German Marshall Fund’s Asia Andrew Small, jaringan seluler nirkabel 5G yang Jerman bangun selama ini diam-diam sudah disuplai dengan sejumlah komponen produksi Huawei, perusahaan telekomunikasi Cina yang teknologinya dilarang di AS dan Inggris karena diduga bisa dimanfaatkan untuk spionase siber.
Pendeknya, apabila Sino berkonflik dengan Eropa, Cina bisa dengan mudah menahan investasinya di pasar Jerman yang nilainya tidak main-main: sampai 200 miliar euro.
Kembali mengutip temuan Kiel Institute, pemutusan hubungan dagang Uni Eropa dengan Cina akan berdampak pada pengurangan perdagangan sampai 97 persen. Akibatnya, dalam jangka panjang, Produk Domestik Bruto Jerman bisa tergerus sampai satu persen (dengan asumsi pada akhirnya terdapat struktur rantai pasokan yang stabil dan mapan).
Angka tersebut memang terlihat kecil dari lensa ekonomi makro. Akan tetapi, mengutip ucapan peneliti Profesor Alexander Sandkamp, pemutusan relasi dagang yang tiba-tiba punya “konsekuensi kerugian cukup besar terhadap kemakmuran Jerman” karena awalnya akan mengakibatkan kekurangan bahan baku penunjang industri, obat-obatan, sampai barang jadi.
Dengan seluruh cerita di atas, maka menarik untuk melihat bagaimana cara Jerman dalam merajut hubungan dengan Cina—dibahas di bagian kedua.