Jakarta, Teritorial.com – Pakar kebijakan publik, Yanuar Nugroho menyarankan calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka, mundur usai Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memutuskan jajaran Komisi Pemilihan Umum (KPU) melanggar etik terkait pencalonannya di pemilihan presiden (Pilpres) 2024.
Apalagi, kata Yanuar sebelumnya, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) telah lebih dulu memutus Ketua MK saat itu, Anwar Usman yang merupakan paman Gibran melakukan pelanggaran kode etik berat terkait putusan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 soal syarat usia calon presiden (capres) dan cawapres.
Yanuar memahami, putusan DKPP memang tidak serta-merta membatalkan pencalonan Gibran. Kendati begitu, menurutnya, keputusan Gibran mundur akan jauh lebih bijak di tengah polemik yang terjadi.
“Ini calon wakil presiden lho, hukumnya enggak apa-apa menurut hukum. Tapi dua, MKMK dan DKPP mengatakan ini melanggar etik. Maka saya setuju, if i were Gibran, dengan kesatria saya mengatakan, saya mundur,” kata Yanuar dalam acara diskusi di Media Center Ganjar Mahfud, Jalan Cemara, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (5/2/2023).
Menurut Yanuar, Gibran akan lebih terhormat dan mendapat tempat yang baik di masyarakat jika memilih mundur dan kembali ambil bagian dalam kontestasi Pilpres tahun 2029.
Sebaliknya, Yanuar mengatakan, masalah etik akan terus dibawa jika Gibran tidak memilih mundur dan akhirnya menang di Pilpres 2024.
“Saya melakukan pelanggaran etik, saya salah, saya mundur, (it’s) not my time. (Tahun) 2029 he will comeback much stronger. Sekarang kalau dia menang, enggak ada legitimasi itu. Orang-orang yang bicara etik akan berat (menerima) menurut saya,” ujar Yanuar.
Sementara itu, Pengamat Politik Ikrar Nusa Bhakti menyayangkan keputusan DKPP tidak bisa membatalkan pencalonan Gibran demi hukum. Dia lantas menilai Gibran tidak memiliki etika politik dan moral.
“Dan sayangnya lagi, yang menjadi cawapres itu kita tahu memang tidak memiliki etika politik dan moral politik. Kalau Anda melanggar etika politik, dan tidak memiliki moral politik, bagaimana anda bisa memiliki legitimasi?” ujar Ikrar.
Langgar Etika
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari diputuskan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) melanggar kode etik karena meloloskan pencalonan Gibran di Pilpres 2024.
DKPP menjatuhkan sanksi peringatan keras terakhir kepada Hasyim Asy’ari, Senin (5/2/2024).
Hasyim melanggar kode etik karena memproses pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden, tanpa mengubah syarat usia minimum capres-cawapres pada Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2023 sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023.
“Hasyim Asy’ari sebagai teradu 1 terbukti melakukan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara Pemilu,” kata Ketua DKPP Heddy Lugito saat membacakan putusan sidang di Jakarta.
Selain itu, DKPP menjatuhkan sanksi peringatan keras kepada 6 Komisioner KPU, yakni August Mellaz, Betty Epsilo Idroos, Mochamad Afifuddin, Yulianto Sudrajat, Parsadaan Harahap, dan Idham Holik.
Dalam pertimbangan putusan yang dibacakan oleh Anggota DKPP I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, KPU seharusnya segera melakukan konsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah setelah Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 pada 16 Oktober 2023.
Ini diperlukan agar Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2023 selaku aturan teknis pilpres bisa segera direvisi akibat dampak putusan MK.
“Para teradu baru mengajukan konsultasi kepada DPR pada 23 Oktober 2023, atau 7 hari setelah putusan MK diucapkan,” kata Wiarsa.
Menurut Wiarsa, dalam persidangan para teradu berdalih baru mengirimkan surat pada 23 Oktober 2023 karena DPR sedang dalam masa reses.
Akan tetapi, kata Wiarsa, alasan dari KPU terkait keterlambatan permohonan konsultasi dengan DPR dan pemerintah setelah putusan MK tidak tepat.
“DKPP berpendapat dalih para teradu terbantahkan karena dalam masa reses dapat dilakukan rapat dengar pendapat, sebagaimana diatur dalam Pasal 254 Ayat 4 dan Ayat 7 Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib,” ujar Wiarsa.
Selain itu, kata Wiarsa, DKPP menyatakan sikap para komisioner KPU yang terlebih dulu menyurati pimpinan partai politik setelah putusan MK tentang syarat batas usia capres-cawapres itu terbit ketimbang melakukan konsultasi dengan DPR dan pemerintah juga menyimpang dari Peraturan KPU.
“Para teradu dalam menaati putusan MK a quo dengan bersurat terlebih dulu kepada pimpinan partai politik adalah tindakan yang tidak tepat dan tidak sesuai dengan perintah Pasal 10 Peraturan KPU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan dan Keputusan di lingkungan KPU,” ucap Wiarsa.
“Para teradu seharusnya responsif terhadap kebutuhan pengaturan tahapan pencalonan presiden dan wakil presiden 2024 pasca-putusan Mahkamah Konstitusi a quo karena telah terjadi perubahan terhadap syarat capres-cawapres untuk tahun 2024,” ujar Wiarsa.
Total, ada 4 aduan terhadap semua komisioner KPU RI terkait perkara etik pencalonan Gibran ini.
Keempat perkara tersebut diadukan oleh Demas Brian Wicaksono (Perkara nomor 135-PKE-DKPP/XII/2023), Iman Munandar B (perkara nomor 136-PKE-DKPP/XII/2023), P.H. Hariyanto (perkara Nomor 137-PKE-DKPP/XII/2023), dan Rumondang Damanik (perkara nomor 141-PKE-DKPP/XII/2023).
Pada 25 Oktober 2023, KPU telah menerima menerima berkas pendaftaran pencalonan Gibran. Padahal, berdasarkan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 19 Tahun 2023 yang ketika itu belum direvisi, Gibran tidak memenuhi syarat karena belum berusia 40 tahun.
KPU berdalih, Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang mengubah syarat usia capres-cawapres sudah cukup untuk dijadikan dasar memproses pencalonan Wali Kota Solo berusia 36 tahun itu.
Walau demikian, pada akhirnya, KPU toh mengubah persyaratan capres-cawapres, dengan merevisi PKPU Nomor 19 Tahun 2023. Akan tetapi, revisi itu baru diteken pada 3 November 2023.