Jakarta, Teritorial.com – Dunia berada di ambang krisis global setelah Amerika Serikat (AS) resmi terlibat dalam konflik bersenjata antara Israel dan Iran. Potensi terjadinya Perang Dunia Ketiga (World War III) kini bukan sekadar wacana. Negara-negara, termasuk Indonesia, mulai dihantui ketidakpastian geopolitik yang meluas dampaknya ke sektor keuangan, energi, dan fiskal.
Keterlibatan langsung militer AS dalam menyerang fasilitas nuklir Iran telah mengguncang pasar global. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menjadi salah satu indikator yang langsung merespons dengan negatif.
“IHSG berpotensi mengalami volatilitas dan tekanan negatif,” kata Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, Senin (22/6/2025).
IHSG Terkoreksi Drastis
Menurut Josua, serangan awal Israel terhadap Iran pada 13 Juni lalu membuat IHSG merosot 0,53% ke level 7.166. Dalam sepekan, IHSG terkoreksi 3,6% atau sekitar 259 poin, turun ke posisi 6.907. Situasi makin memburuk saat AS ikut melancarkan serangan ke instalasi nuklir Iran, yang memicu ketidakpastian geopolitik global semakin memanas.
“Ketegangan ini mendorong investor untuk memindahkan aset ke tempat yang lebih aman, seperti emas dan mata uang safe haven, sehingga menekan minat pada saham negara berkembang, termasuk Indonesia,” ujar Josua.
Rupiah Tertekan, Bisa Tembus Rp16.500 per Dolar AS
Tak hanya pasar saham, nilai tukar Rupiah juga diprediksi akan menghadapi tekanan berat. Dalam skenario perang yang memburuk, nilai tukar diproyeksikan bergerak di kisaran Rp16.350 hingga Rp16.500 per dolar AS.
Kondisi ini berbahaya bagi stabilitas ekonomi nasional, terutama karena Indonesia masih sangat bergantung pada impor untuk kebutuhan energi dan barang modal lainnya.
Harga Minyak Melambung, Beban APBN Bertambah
Sementara itu, harga minyak mentah dunia juga menunjukkan tren kenaikan tajam. Sejak eskalasi konflik Iran-Israel, harga minyak naik lebih dari 7% dan diperkirakan bisa menembus US$100 per barel apabila perang meluas ke kawasan Teluk.
“Kenaikan harga minyak ini akan menekan neraca perdagangan Indonesia dan APBN. Biaya impor energi meningkat, dan beban subsidi akan melonjak,” ungkap Josua.
Kondisi ini akan memperberat posisi fiskal pemerintah. Berdasarkan perhitungan sensitivitas fiskal, setiap kenaikan harga minyak mentah Indonesia (ICP) sebesar US$1 di atas asumsi APBN (US$82 per barel) bisa menambah beban negara hingga Rp7 triliun.
Risiko Melebar: Defisit Anggaran & CAD
Efek domino dari perang juga berpotensi memperbesar defisit anggaran menuju batas 3% dari PDB, serta memperlebar defisit transaksi berjalan (CAD). Jika tidak diantisipasi dengan cepat, ini bisa memperlemah daya tahan ekonomi nasional dalam jangka menengah.
“Pemerintah dan otoritas moneter harus bersinergi. Penguatan cadangan devisa, intervensi terukur dari Bank Indonesia, serta mitigasi fiskal lewat reformasi subsidi energi sangat penting,” tegas Josua.
Indonesia Perlu Siaga Hadapi Dampak Perang Global
Jika Perang Dunia III benar-benar meletus, Indonesia sebagai negara dengan ekonomi terbuka harus bersiap menghadapi tekanan dari segala arah: sektor ekspor, harga komoditas, investasi asing, hingga stabilitas rupiah.
Masyarakat dan pelaku pasar kini menanti langkah konkret dari pemerintah dan Bank Indonesia untuk menjaga stabilitas ekonomi Indonesia di tengah gejolak global. Dalam situasi genting ini, koordinasi lintas sektor akan menjadi kunci menjaga kepercayaan investor dan melindungi masyarakat dari gejolak harga.