Jakarta, Teritorial.com – Sosok Hoegeng Iman Santoso, Kapolri ke-5 Republik Indonesia (1968-1970) menjadi salah satu panutan untuk sosok polisi yang jujur, merakyat dan berani meneggakkan hukum tanpa pandang bulu.
Hoegeng Iman Santoso muncul di saat tingkat kepercayaan publik ke polisi mendapat sorotan tajam.
Kini, di tahun 2025, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap polri berada di angka 48,1 persen menurut Civil Society for Police Watch.
Dalam periode di mana praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan sering merusak citra kepolisian, muncul nostalgia publik ke salah seorang sosok polisi yang pernah memegang prinsip-prinsip dan moralitas yang baik.
Sosok tersebut adalah Hoegeng Iman Santoso. Dilahirkan di Pekalongan pada 14 Oktober 1922, Hoegeng mengikuti jejak keluarganya di bidang hukum.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Recht Hoge School Batavia, ia memilih untuk berkarier di kepolisian, menjalani berbagai pelatihan, termasuk di Amerika Serikat.
Sejak awal, ia menunjukkan komitmen yang kuat untuk menjaga integritas dan menolak tawaran-tawaran menggiurkan yang menjanjikan jabatan.
Tercatat sejumlah teladan sejak menjadi kapolri pada masanya antara lain menolak gratifikasi.
Ia tekun menolak hadiah seperti mobil, rumah dinas mewah, dan pengawalan yang berlebihan.
Melakukan penegakan hukum yang adil: Salah satu kisah terkenalnya adalah ketika menangani kasus penyelundupan mobil mewah milik Robby Tjahyadi, di mana ia berani mengambil tindakan terhadap pelaku meskipun terkait dengan orang-orang berkuasa.
Kebijakan publik inovatif: Ia mencetuskan ide untuk mewajibkan penggunaan helm bagi pengendara sepeda motor di Indonesia, “aspal lebih keras dari kepala”, sebuah ide yang revolusioner di masanya.
Hoegeng memilih untuk menjalani hidup yang sederhana: tinggal di rumah biasa, menolak fasilitas mewah, dan hidup tanpa menabung hingga akhir hayatnya. Ia menekankan bahwa jabatan adalah amanah untuk melayani masyarakat, bukan alat untuk mengumpulkan kekayaan pribadi.
Meskipun masa jabatannya relatif singkat, dari 1968 hingga 1970, Hoegeng meninggalkan pengaruh yang besar.
Pada tahun 2023, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo meresmikan Monumen Hoegeng di Pekalongan sebagai simbol integritas kepolisian.
Sejumlah anggota DPR hingga mantan Presiden Gus Dur pernah memberikan julukan yang tajam: hanya ada tiga polisi di Indonesia yang tidak bisa disuap, patung polisi, polisi tidur, dan Hoegeng.
Buku Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan menekankan keyakinannya: “tindakan lebih berarti daripada ucapan”.
Inspirasi ini terus diajukan dalam pembicaraan mengenai reformasi budaya kepolisian. Hal ini juga menegaskan perlunya Polri mencontoh kesederhanaan ala Hoegeng agar lebih dihormati oleh publik.
Hoegeng Iman Santoso menjadi simbol bahwa polisi dapat berlaku adil, berani, dan hidup sederhana.
Di era kemitraan baru antara masyarakat dan penegak hukum, sosok seperti Hoegeng bukan sekadar kenangan, tetapi cita-cita moral.
Jika warisan Hoegeng kini diterapkan secara nyata, kepercayaan publik akan meningkat, institusi semakin dihormati, dan visi Polri sebagai pelindung dan pengayom masyarakat akan semakin terwujud.
(*)