Jakarta, Teritorial.com – Indonesia tengah bersiap mengambil posisi dominan dalam revolusi kecerdasan artifisial (AI) global melalui strategi kedaulatan digital yang komprehensif.
Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menegaskan komitmen kuat untuk membangun ekosistem AI nasional yang tidak hanya mengadopsi teknologi, tetapi juga menciptakan nilai tambah yang sesuai dengan karakter bangsa.
Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid menggarisbawahi pentingnya teknologi yang memberikan dampak langsung kepada masyarakat, terutama di wilayah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal).
“Setiap teknologi yang dikembangkan harus membawa manfaat langsung, bukan sekadar proyek,” tegas Meutya saat meresmikan Indosat AI Experience Center di Jayapura.
Peluncuran pusat pengalaman AI di Jayapura menjadi bukti konkret kolaborasi pemerintah dan swasta dalam mewujudkan kesetaraan akses teknologi di seluruh Indonesia.
Program ini menandai langkah strategis menghadirkan teknologi canggih ke daerah-daerah yang selama ini terpinggirkan dari kemajuan digital.
Platform Sahabat AI yang diluncurkan Indosat juga mendapat apresiasi pemerintah karena desainnya yang ramah pengguna dan mampu menjangkau berbagai kalangan masyarakat.
Meutya berharap inisiatif semacam ini terus berkembang dan diintegrasikan dalam skema sovereign AI factory untuk mewujudkan kedaulatan teknologi Indonesia.
“Indonesia sudah berada di langkah yang tepat untuk memimpin bersama operator, pelaku industri, dan pemangku kepentingan lainnya,” ujar Meutya dengan optimisme tinggi.
Wakil Menteri Komunikasi dan Digital Nezar Patria menekankan bahwa kedaulatan digital menjadi kunci utama strategi nasional AI Indonesia.
Nezar mengingatkan bahwa Indonesia tidak boleh hanya menjadi konsumen teknologi dari luar negeri, melainkan harus menjadi bagian integral dalam rantai nilai global AI.
“Foundation model AI saat ini dibangun dengan nilai-nilai dari negara asalnya, terutama Barat, tanpa intervensi dari kita sendiri, AI bisa membawa bias nilai yang tidak sesuai dengan konteks Indonesia,” kata Nezar.
Pernyataan ini menunjukkan urgensi pembangunan AI yang selaras dengan budaya, norma, dan kebutuhan lokal Indonesia.
Nezar juga mengingatkan bahwa membangun ekosistem AI yang kokoh membutuhkan fondasi kuat mulai dari riset dan pengembangan (R&D), komputasi, regulasi, hingga pengembangan sumber daya manusia digital.
Indonesia saat ini masih mengalokasikan anggaran riset sebesar 0,24 persen dari Produk Domestik Bruto (GDP), angka yang dianggap masih sangat minim untuk mengejar ketertinggalan.
Namun, Indonesia memiliki potensi strategis yang besar dengan kekayaan sumber daya alam seperti nikel dan boron yang sangat dibutuhkan dalam industri semikonduktor dan AI global.
Sayangnya, hingga kini belum ada desain besar nasional untuk memanfaatkan sumber daya tersebut sebagai kekuatan tawar dalam ekosistem AI internasional.
“Kalau tidak dibarengi pusat riset dan komputasi nasional yang kuat, kita akan tertinggal, kita butuh infrastruktur, talenta digital, dan perencanaan matang,” tegas Nezar.
Dari sisi regulasi, Indonesia patut berbangga menjadi negara pertama di ASEAN yang berhasil menyelesaikan dokumen Readiness Assessment Methodology for AI (RAM-AI).
Dokumen ini kini menjadi acuan bagi beberapa negara lain dalam mengembangkan kerangka kerja regulasi AI mereka.
Nezar menjelaskan bahwa regulasi AI di Indonesia difokuskan pada prinsip etika yang adaptif terhadap inovasi sekaligus melindungi nilai-nilai lokal.
Regulasi juga harus mampu mencegah risiko-risiko serius seperti disinformasi dan penggunaan teknologi deepfake yang merugikan.
“Regulasi AI harus berorientasi pada etika yang adaptif terhadap inovasi, tapi juga mampu melindungi nilai-nilai lokal dan mencegah risiko seperti disinformasi dan deepfake,” ujarnya.
Dari perspektif ekonomi digital regional, ASEAN diperkirakan akan mencapai nilai ekonomi digital sebesar US$1 triliun pada tahun 2030.
Indonesia sendiri diperkirakan akan memberikan kontribusi sebesar US$366 miliar dari nilai tersebut, menempatkan negara ini sebagai pemain kunci dalam pengembangan digital kawasan.
“Dengan jumlah penduduk 280 juta, Indonesia memegang posisi strategis untuk memimpin arah digital ASEAN,” tegas Nezar.
Posisi strategis ini harus dimanfaatkan secara optimal agar Indonesia bisa mengambil peran utama dalam peta digital Asia Tenggara.
Nezar juga menekankan bahwa transformasi digital tidak bisa dilihat secara sektoral dan parsial.
Menurutnya, geopolitik, keamanan, ekonomi, pendidikan, serta perlindungan budaya lokal adalah bagian dari satu ekosistem digital yang saling terkunci dan tidak bisa dipisahkan.
“Geopolitik, keamanan, ekonomi, pendidikan, dan perlindungan budaya lokal adalah satu ekosistem digital yang saling terkunci, tidak bisa dipisahkan,” tutup Nezar.
Pernyataan ini menegaskan bahwa pembangunan AI dan digitalisasi nasional harus dilakukan secara holistik dan terintegrasi.
Dengan berbagai upaya strategis dan komitmen yang telah ditunjukkan, Indonesia menatap masa depan AI yang berdaulat dan inklusif.
Visi untuk menjadikan teknologi AI sebagai alat pemberdayaan masyarakat sekaligus menjaga kedaulatan digital menjadi tantangan sekaligus peluang besar.
Keberhasilan pembangunan ekosistem AI ini tidak hanya akan menentukan posisi Indonesia di kancah global, tetapi juga masa depan ekonomi dan sosial digital bangsa.
Indonesia kini siap melangkah maju menuju era AI global dengan fondasi kedaulatan digital yang kuat dan visi yang jelas.