Jakarta, Teritorial.com – Bentrokan bersenjata di perbatasan Thailand dan Kamboja hingga kini menewaskan sedikitnya 12 orang.
Hal ini memicu eskalasi militer di kawasan seketa tersebut.
Pemerintah Thailand membenarkan bahwa satu anak termasuk di antara korban jiwa, menyusul serangan artileri dari pasukan Kamboja yang mengincar wilayah sipil.
Serangan tersebut mendorong Thailand untuk menutup seluruh pos perbatasan dan menggunakan kekuatan udara terhadap target militer di wilayah lawan.
Seperti yang dilansir lewat The Guardian, Jumat (25/7), Menteri Kesehatan Thailand, Somsak Thepsuthin, mengungkapkan bahwa total korban tewas mencapai 12 orang, terdiri dari 11 warga sipil dan satu personel militer.
Tak hanya itu, 24 warga sipil dan tujuh tentara mengalami luka-luka.
Pemerintah Thailand menuding pasukan Kamboja menargetkan area sipil, termasuk sebuah rumah sakit, yang disebut sebagai pelanggaran serius terhadap hukum internasional.
Dalam respons militer, Angkatan Udara Thailand meluncurkan serangan udara menggunakan jet tempur F-16 ke wilayah Kamboja, menghancurkan satu target militer. Wakil juru bicara Angkatan Darat Thailand, Richa Suksuwanon, mengatakan bahwa serangan udara dilakukan sesuai rencana dan jet tambahan telah disiapkan.
“Kami telah menggunakan kekuatan udara terhadap target-target militer sebagaimana yang direncanakan,” ungkapnya.
Di pihak lain, mantan perdana menteri Kamboja yang berpengaruh, Hun Sen, ayah dari Perdana Menteri Hun Manet, menjelaskan bahwa dua provinsi di Kamboja terkena tembakan artileri dari Thailand.
Kendati demikian, hingga Kamis malam, belum ada laporan resmi mengenai korban di pihak Kamboja.
Menanggapi eskalasi konflik, Hun Manet mengajukan permintaan resmi kepada Dewan Keamanan PBB untuk mengadakan sidang darurat.
Dalam suratnya, Kamboja menuding Thailand telah melakukan “serangan yang tidak diprovokasi, direncanakan, dan disengaja” terhadap posisi militer Kamboja di wilayah perbatasan.
Di sisi lain, Perdana Menteri sementara Thailand, Phumtham Wechayachai, mengungkapkan bahwa tidak ada deklarasi perang, dan konflik belum meluas ke provinsi lain.
Tapi, ia juga menegaskan bahwa syarat utama untuk membuka jalur diplomasi adalah penghentian kekerasan terlebih dahulu.
Bentrokan bersenjata ini terjadi di dekat kompleks candi Hindu Khmer, Ta Muen Thom, di kawasan perbatasan yang masih disengketakan kedua negara.
Thailand menuduh Kamboja memulai serangan dengan melepaskan tembakan, mengirim drone pengintai, dan mengerahkan pasukan dengan senjata berat seperti peluncur roket. Namun, Kementerian Pertahanan Kamboja membantah keras dan balik menuduh Thailand sebagai pihak yang pertama kali melakukan serangan bersenjata.
Sehari sebelum bentrokan mematikan, Thailand menutup seluruh pos perbatasan timur laut dan menarik duta besarnya dari Phnom Penh.
Sebagai respons, Kamboja menurunkan tingkat hubungan diplomatik dan mengusir duta besar Thailand, serta menarik seluruh staf dari kedutaannya di Bangkok.
Tindakan tersebut diambil setelah lima tentara Thailand terluka akibat ledakan ranjau di wilayah sengketa.
Di tengah meningkatnya ketegangan, Hun Manet menyerukan agar warga Kamboja tidak melakukan diskriminasi terhadap perusahaan atau warga negara Thailand.
Ia juga meminta warga Kamboja yang tinggal di Thailand untuk segera melapor ke Kedutaan Besar Kamboja di Bangkok atau Konsulat Jenderal Kamboja di Provinsi Sa Kaeo jika menghadapi perlakuan diskriminatif.
Ketegangan yang telah berlangsung selama beberapa pekan ini kini berkembang menjadi krisis terbuka, dengan korban sipil yang terus berjatuhan dan hubungan diplomatik yang memburuk.
Untuk langkah selanjutnya, kemungkinan besar bergantung pada hasil sidang darurat PBB yang diminta Kamboja dan keputusan politik kedua negara dalam menahan eskalasi lebih lanjut.
(*)