Yogyakarta, Teritorial.com – Siapa bilang makan bakmi sama dengerin jazz gak bisa nyatu? Di Yogyakarta, ada satu tempat yang bikin kombinasi aneh ini jadi kenyataan. Namanya Bakmi Maju Tak Gentar (BMTG), warung sederhana yang setiap Kamis malam berubah jadi panggung jazz dadakan.
Beda dari kafe-kafe jazz mewah di Jakarta, BMTG punya konsep yang bener-bener santai. Gak ada cover charge, gak ada dress code, yang ada cuma pendopo terbuka sama musisi-musisi yang siap jamming sampai larut.
“Awalnya cuma iseng aja sih, tapi ternyata responnya bagus banget,” cerita Mas Widodo, owner BMTG yang juga hobi main trombone. “Sekarang malah jadi rutin, namanya SINAU JAZZ.”
Istilah “sinau” yang diambil dari bahasa Jawa ini emang beneran cocok buat aktivitas mereka. Bukan belajar dari nol, tapi lebih ke saling sharing ilmu antar musisi. Ada yang udah pengalaman, ada juga anak-anak muda yang masih tahap eksplorasi.
Yang menarik, para musisi tidak menunggu aba-aba resmi. Mereka langsung menyiapkan alat musik, mencari posisi, dan mengalirkan nada. Ada wajah-wajah yang sudah berpengalaman, ada pula anak-anak muda yang masih menenteng gitar sambil menunggu giliran—semacam jamming dalam nuansa pembelajaran. Inilah esensi dari sinau, kata dalam bahasa Jawa yang artinya belajar. Tapi ini bukan belajar dari nol. Yang hadir bukan pemula yang belajar notasi dasar. Ini lebih mirip dengan para pegiat musik yang tengah memperdalam intuisinya, saling mengasah dan mengisi.
Saya, yang bukan musisi, hanya penikmat musik, sempat bertanya-tanya: di mana bagian belajarnya? Tapi kemudian saya menyadari, ini bukan sinau untuk meraih S1 Jazz
. Mungkin lebih pas disebut sebagai bimbingan belajar S2 bahkan S3 jazz
—belajar dari harmoni, dari improvisasi, dari interaksi ekspresi para musisi yang berkolaborasi.
Fenomena BMTG sebenarnya gak mengherankan kalau kita liat sejarah Yogyakarta. Kota ini emang gudangnya seniman dan musisi. Dari era orkestra keraton sampai band-band indie modern, Yogya selalu jadi breeding ground kreativitas.
Mas Widodo sendiri ikut jamming dengan trombone-nya. Ia tak cuma pemilik kios, tapi sekaligus kurator ruang kreatif
yang menyatukan kuliner, musik, dan atmosfer khas Yogya.
Sheila on 7, salah satu band legendaris Indonesia, juga berawal dari Yogya. Gak heran kalau kota ini terus melahirkan inovasi-inovasi baru di dunia seni, termasuk konsep gabungan kuliner dan musik seperti di BMTG.
Yang bikin SINAU JAZZ istimewa bukan cuma musiknya, tapi juga atmosfer kebersamaannya. Di sini, musisi senior bisa sharing pengalaman sama yang muda. Pengunjung yang cuma mau makan bakmi juga bisa sekalian nambah wawasan musik.
“Ini bukan cuma tempat main musik, tapi juga tempat ketemu orang-orang baru,” kata seorang gitaris muda yang rutin datang setiap Kamis. “Networkingnya dapet, ilmunya dapet, makan enak juga dapet.”
Konsep sederhana tapi bermakna ini kayaknya bakal terus berkembang. Siapa tau kedepannya bakal ada warung-warung lain yang ngikutin jejak BMTG, bikin perpaduan unik antara kuliner tradisional dan musik kontemporer.
SINAU JAZZ dan Bakmi Maju Tak Gentar adalah cermin dari itu semua. Ini bukan sekadar kegiatan musik. Ini bukan hanya kios kuliner. Ini adalah ruang perjumpaan. Antara bakmi Jowo dan musik jazz. Antara mi godhok dan lekuk liuk nada sang vokalis. Antara kesederhanaan dan njlimetnya jemari musisi.