TERITORIAL.COM, JAKARTA – Presiden Tiongkok Xi Jinping melakukan kunjungan mendadak ke Tibet pada Rabu (20/8/2025), bertepatan dengan peringatan 60 tahun berdirinya Daerah Otonomi Tibet. Ini menjadi kunjungan kedua Xi ke wilayah yang berada di bawah pengawasan ketat Beijing sejak ia menjabat presiden.
Berpidato di hadapan sekitar 20 ribu warga Lhasa, Xi memuji pemerintah daerah yang dinilainya telah “berjuang melawan separatisme,” merujuk pada perlawanan panjang terhadap kekuasaan Tiongkok. Ia menekankan bahwa stabilitas merupakan fondasi utama bagi kemajuan Tibet.
“Untuk mengatur, menstabilkan, dan membangun Tibet, hal pertama adalah menjaga stabilitas politik, stabilitas sosial, persatuan etnis, dan harmoni beragama,” ujar Xi dalam pidatonya yang dirilis media resmi.
Kunjungan ke Lhasa, kota yang berada di ketinggian ekstrem, juga dipandang sebagai sinyal kuat tekad Xi menegaskan otoritasnya, meski kondisi geografis Tibet bisa menimbulkan risiko kesehatan bagi pemimpin berusia 72 tahun itu.
Menariknya, Xi sama sekali tidak menyinggung soal Dalai Lama. Pemimpin spiritual Tibet itu telah hidup di pengasingan di India sejak 1959. Perdebatan soal suksesi Dalai Lama kembali mengemuka pada Juni lalu setelah kantornya menegaskan bahwa pengganti Dalai Lama akan ditentukan sendiri, bukan oleh Beijing. Pemerintah Tiongkok menolak klaim tersebut dan bersikeras memiliki hak penuh atas proses tersebut.
Dalam pertemuan dengan pejabat lokal dan petinggi Partai Komunis Tiongkok (PKT), Xi merinci empat agenda utama untuk Tibet: menjaga stabilitas, mendorong pembangunan, melindungi lingkungan, dan memperkuat perbatasan. Ia juga mendorong pertukaran ekonomi, budaya, serta penyebaran penggunaan bahasa Mandarin di kalangan masyarakat Tibet.
Kebijakan ini termasuk aturan baru yang mewajibkan anak-anak Tibet bersekolah di sekolah negeri Tiongkok dan mempelajari bahasa nasional. Xi turut menekankan perlunya pengawasan ketat atas “urusan keagamaan” dan mendorong agar Buddhisme Tibet menyesuaikan diri dengan nilai-nilai sosialisme.
Meski begitu, kebijakan Beijing di Tibet menuai kritik keras dari kelompok hak asasi manusia. Mereka menilai pemerintah secara perlahan mengikis identitas dan tradisi Tibet. Laporan dari sebuah biara di Provinsi Sichuan pada Juni lalu bahkan menyebutkan para biksu merasa “ditindas dan dianiaya” oleh PKT.
Pemerintah Tiongkok menampik tuduhan tersebut. Beijing menegaskan standar hidup masyarakat Tibet justru meningkat pesat sejak wilayah itu resmi menjadi Daerah Otonomi Tibet pada 1965, enam tahun setelah pemberontakan gagal melawan kekuasaan Tiongkok.
Kunjungan Xi juga bertepatan dengan pembangunan bendungan raksasa di Sungai Yarlung Tsangpo. Proyek bernama Pembangkit Listrik Tenaga Air Motuo itu digadang akan melampaui Bendungan Tiga Ngarai sebagai yang terbesar di dunia, dengan kemampuan menghasilkan energi tiga kali lipat lebih besar.
Beijing mengklaim proyek senilai 1,2 triliun yuan (167 miliar dolar AS atau sekitar Rp2.500 triliun) itu akan mengedepankan perlindungan ekologi sekaligus meningkatkan kesejahteraan lokal. Namun, sejumlah pakar menilai pembangunan bendungan tersebut bisa menimbulkan ketegangan geopolitik, mengingat aliran Sungai Yarlung Tsangpo mengarah ke India dan Bangladesh.
Kunjungan Xi menjadi sorotan utama media resmi Tiongkok pada Kamis (21/8/2025). Foto-foto yang dirilis memperlihatkan Xi disambut penari tradisional Tibet dan warga yang bersorak.
Langkah ini dipandang sebagai bagian dari upaya Beijing memperkuat cengkeraman politik di Tibet, sekaligus mendorong pembangunan ekonomi di wilayah yang strategis namun sarat sensitivitas politik dan etnis.