TERITORIAL.COM, JAKARTA – Perseteruan hukum antara Elon Musk dan OpenAI kembali memanas setelah muncul pengungkapan baru yang mengejutkan. Dokumen pengadilan federal yang dirilis Kamis (21/8) mengungkap bahwa orang terkaya di dunia itu pernah meminta CEO Meta, Mark Zuckerberg, untuk membantu membiayai rencana akuisisi OpenAI senilai 97,4 miliar dolar AS atau sekitar Rp 1.500 triliun.
Rencana akuisisi tersebut diajukan pada Februari 2025, ketika OpenAI sedang berproses mengubah struktur dari organisasi nirlaba menjadi entitas berorientasi keuntungan. Keputusan itu memicu kemarahan Musk, yang pada 2015 ikut mendirikan OpenAI bersama Sam Altman.
Hubungan Musk dan Altman yang dulu akrab kini berubah menjadi persaingan sengit. Keberhasilan OpenAI dalam mengembangkan kecerdasan buatan dengan dukungan miliaran dolar dari Microsoft telah menempatkan perusahaan itu sebagai pemimpin global di industri AI.
Sebagai tandingan, Musk mendirikan xAI pada 2023. Perusahaan rintisan ini kini mengembangkan chatbot Grok yang terintegrasi dengan platform X (Twitter), dan secara terbuka diposisikan sebagai pesaing langsung ChatGPT.
Berdasarkan dokumen pengadilan, Musk dan xAI sempat berupaya membentuk konsorsium investor untuk membiayai akuisisi OpenAI. Dalam prosesnya, mereka mengirimkan letter of intent (surat pernyataan minat) kepada Zuckerberg dan menanyakan kemungkinan pengaturan pembiayaan atau investasi.
Namun, baik Zuckerberg maupun Meta tidak menandatangani dokumen tersebut. Hingga kini, juru bicara Meta enggan memberikan komentar, begitu pula dengan pengacara Musk, Marc Toberoff.
OpenAI tidak tinggal diam. Pada April 2025, perusahaan itu mengajukan gugatan balik yang menuduh Musk dan xAI melancarkan “penawaran palsu” (sham bid) yang merugikan bisnis mereka.
Dalam dokumen gugatan, OpenAI juga menuding Musk melakukan pelecehan melalui jalur hukum, media sosial, hingga pemberitaan pers. Perusahaan bahkan mengajukan subpoena (perintah yang memaksa) kepada Meta untuk mendapatkan komunikasi antara Zuckerberg, Meta, dan Musk terkait proposal akuisisi tersebut.
OpenAI menegaskan bahwa Meta sendiri kini agresif mengembangkan teknologi AI. Perusahaan pimpinan Zuckerberg itu disebut telah menggelontorkan dana besar, menawarkan paket gaji hingga 100 juta dolar AS untuk merekrut peneliti AI top, serta berusaha membajak karyawan OpenAI.
Langkah Meta bukan tanpa hasil. Perusahaan tersebut meluncurkan model AI Llama yang kini diposisikan sebagai pesaing langsung ChatGPT milik OpenAI. Persaingan ketat ini mencerminkan betapa kerasnya perebutan talenta dan dominasi dalam industri kecerdasan buatan global.
Sengketa hukum Musk dan OpenAI sendiri berawal dari gugatan Musk pada 2024, yang menuduh OpenAI melanggar kontrak dengan mengubah misi awalnya dari nirlaba menjadi komersial. Hakim federal di California Utara baru-baru ini memutuskan bahwa gugatan balik OpenAI terhadap Musk dapat dilanjutkan.
Meta dalam pernyataannya berargumen bahwa permintaan dokumen dari OpenAI terlalu memberatkan, dan menyarankan agar dokumen relevan diperoleh langsung dari Musk maupun xAI.
Nilai OpenAI terus melambung. Pada putaran pendanaan terakhir, valuasinya mencapai 157 miliar dolar AS, menjadikannya salah satu startup paling berharga di dunia.
Sementara itu, xAI milik Musk baru saja menutup putaran pendanaan Seri B senilai 6 miliar dolar AS pada Mei 2025, yang membuat valuasinya naik menjadi 24 miliar dolar AS.
Kasus hukum ini menyoroti bagaimana para miliarder teknologi dunia berlomba-lomba menguasai AI, sebuah teknologi yang diyakini akan mengubah berbagai aspek kehidupan manusia di masa depan. Dengan ambisi besar dan kepentingan bisnis yang saling bersilang, rivalitas antara Musk, Altman, dan kini Zuckerberg, diyakini hanya akan semakin memanas.