Kultura

Museum Butuh Wajah Baru, tapi Bukan Sekedar Wajah

Duta Museum Jakarta berkunjung Gedung MPR/DPR RI untuk mendatangi Museum DPR RI (3/11/2023)

Malam itu, Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta bersama Asosiasi Museum Indonesia (AMI) DKI Jakarta Paramita Jaya menyelenggarakan malam final pemilihan Duta Museum Jakarta 2023 pada Minggu (05/11/2023) di Auditorium Ki Hajar Dewantara, Lantai 5, Gedung Dinas Pendidikan DKI Jakarta. Untuk pertama kalinya, Dinas Kebudayaan dan AMI DKI Jakarta bekerja sama dalam pemilihan Duta Museum. Meski para finalis berasal dari angkatan kedua, AMI DKI sebelumnya hanya menyelenggarakan kegiatan ini seorang diri. Pada 2023, AMI DKI menggandeng Dinas Kebudayaan yang menaungi museum, galeri, dan monumen di Jakarta. “Kami merencanakan pemilihan ini berlangsung empat tahun sekali,” ujar Ariz Hibrizi, Ketua Asosiasi Duta Museum Jakarta 2023, Rabu (25/06/2025) di Museum Bahari Jakarta.

Seperti ajang pemilihan duta lain, panitia menargetkan peserta berusia 17–25 tahun. Dengan rentang usia tersebut, para finalis otomatis berasal dari generasi Z. Penyelenggara berharap mereka mampu menjembatani museum dengan masyarakat, menjadi agen perubahan, sekaligus memperluas keterlibatan publik terhadap sejarah dan kebudayaan.

Harapan itu sejalan dengan visi Dinas Kebudayaan DKI Jakarta. Mantan Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta, Iwan Wardhana, dalam beritajakarta.id, menjelaskan maksud penyelenggaraan ajang ini. Ia menegaskan, “Duta Museum yang terpilih tidak hanya mewakili museum, tetapi juga memperluas kesadaran, menginspirasi, membangun keterlibatan publik, menjadi agen perubahan dan inovasi dalam sektor museum, serta membangun jaringan dan kolaborasi.”

Pertanyaannya, apakah Duta Museum mampu menarik minat masyarakat berkunjung? Penelitian yang ditulis oleh Jelita Permata, Farras Caesarmas Putri, dan Marsha Herryanna pada 2020 berjudul Pengaruh Duta Museum Jakarta Terhadap Minat Berkunjung ke Museum di DKI Jakarta menunjukkan hasil positif. Penelitian itu menyimpulkan Duta Museum efektif sebagai non-celebrity ambassador karena tampil lebih dekat dengan calon pengunjung. Namun, penulis juga menekankan beberapa syarat agar program ini efektif: berpenampilan menarik, menguasai bidang permuseuman, sejarah, dan budaya, serta memiliki keahlian pemasaran museum, branding, personal branding, storytelling, dan public speaking.

Panitia memasukkan persyaratan itu ke dalam materi pembekalan finalis Duta Museum Jakarta 2023. Pada malam puncak pemilihan, Iwan Wardhana menuturkan, “Kami memberikan pembekalan untuk membuka wawasan tentang dunia museum lewat narasumber di bidang pengetahuan museum, hubungan masyarakat, pemasaran, edukator museum, bahasa asing, beauty, dan etiquette class. Para duta museum juga kami libatkan dalam bakti museum di Museum Sejarah Jakarta, Museum Bank Indonesia, dan Museum Mandiri.”

Sayangnya, panitia hanya memberikan edukasi seputar museum secara singkat. Mereka membagi materi menjadi empat pertemuan, sementara sebagian besar waktu justru terserap untuk pelatihan ala ajang kecantikan dan kontes persona.

Masalah semakin terlihat setelah ajang berakhir. Penyelenggara jarang melibatkan finalis Duta Museum Jakarta 2023 dalam agenda permuseuman maupun kegiatan Dinas Kebudayaan DKI Jakarta. Beberapa finalis bahkan mengaku tidak jelas perannya selain tampil dalam acara-acara formal. Sejumlah finalis berinisiatif menyusun program secara mandiri dan mempresentasikannya kepada Dinas Kebudayaan serta AMI DKI Jakarta. Meski pihak penyelenggara sempat menyetujui, mereka hampir tidak menindaklanjuti program tersebut. Kondisi ini memunculkan spekulasi di kalangan finalis: penyelenggara kurang mengapresiasi kontribusi mereka dan pamor Duta Museum Jakarta masih tertinggal dibandingkan Abang None Jakarta.

“Wajar kalau kalian bingung. Aku sendiri—karena kalian subjek penelitianku—melihat arah Dumus belum ajeg,” kata Jelita Permana, kini spesialis branding dan pemasaran museum independen, kepada Larasati Mauli Amane, salah satu finalis Duta Museum Jakarta 2023, dalam diskusi daring pada Jumat (19/07/2024).

Fenomena ini memunculkan pertanyaan besar: apakah penyelenggara benar-benar melibatkan anak muda secara substantif dalam upaya pelestarian sejarah dan kebudayaan, atau hanya memanfaatkan mereka sebagai wajah promosi? Jika penyelenggara terus membiarkan ajang ini tanpa arah yang jelas, mereka justru berisiko memperkuat budaya seremonial, bukan budaya partisipatif. Sementara itu, komunitas relawan sejarah dan kebudayaan aktif terjun langsung, para finalis Duta Museum Jakarta justru terjebak di panggung formal. Padahal, semangat anak muda bergerak lewat kerja nyata, bukan simbolisasi. Jika pengelola terus menjadikan ruang sejarah dan kebudayaan sebagai panggung estetika semata, bukan wadah partisipasi, yang hilang bukan hanya minat anak muda, melainkan juga masa depan sejarah dan kebudayaan itu sendiri.

Rr. Larasati Mauli Amane

About Author

You may also like

Kultura

Teori Denny JA tentang Agama di Era AI Mulai Diajarkan di Kampus

Jakarta, 15 Februari 2025 — Mulai semester genap tahun 2025, pemikiran Denny JA mengenai agama dan spiritualitas di era Artificial
Kultura

Teori Denny JA Melengkapi Sosiologi Agama

Jakarta, 16 Februari 2025 – Revolusi Artificial Intelligence (AI) telah mengubah banyak aspek kehidupan manusia, termasuk cara kita memahami dan beragama.