TERITORIAL.COM, JAKARTA – Gelombang demonstrasi yang terjadi sepekan kemarin, kembali mengingatkan kita akan peristiwa 1998, sebuah masa kelam yang dihidupkan kembali lewat novel fiksi sejarah Laut Bercerita karya Leila S. Chudori.
Sejak terbit pada 2017, buku ini terus menjadi sorotan publik, yang memicu diskusi lintas generasi pembaca.
Pembaca melihat Laut Bercerita bukan hanya sebagai karya sastra, tetapi juga sebuah cermin dari perjalanan politik Indonesia di era transisi Orde Baru menuju Reformasi.
Narasi yang Terus Bergema
Karya ini tidak hanya didukung di ranah sastra, tetapi juga diadaptasi ke dalam bentuk pementasan teater hingga film pendek.
Lebih dari itu, Laut Bercerita mengingatkan kita bahwa persoalan pelanggaran HAM tidak berhenti sebagai catatan sejarah, melainkan masih menjadi tugas rakyat dan bangsa Indonesia yang belum tuntas.
Sosok Di Balik Laut Bercerita
Leila S. Chudori, seorang penulis dan kritikus film berkebangsaan Indonesia, yang lahir pada 12 Desember 1962. Ia dikenal luas berkat karya-karyanya yang meliputi cerita pendek, novel, hingga skenario drama televisi.
Karya-karyanya selalu menghadirkan narasi yang dalam dan detail, sebagaimana terlihat dari ia menggambarkan kehidupan aktivis dengan gaya bahasa puitis yang kuat dan menyentuh di Laut Bercerita.
“Kalau sejarah ditulis kering, kita mungkin cepat lupa. Tapi lewat novel seperti ini, kita bisa ikut merasakan,” ujar Nuraini, pegiat literasi asal Yogyakarta.
“Kepada mereka yang dihilangkan, tetapi tetap hidup selamanya” salah satu kalimat yang mampu membuat saya, mungkin para pembaca juga, ikut merasakan bagaimana perjuangan dan semangat para aktivis kala itu tetap lahir dan hidup hingga sekarang.
Aktivisme dan Luka Sejarah
Laut Bercerita menceritakan tentang seorang aktivis mahasiswa, Biru Laut, bersama kawan-kawannya yang terus memperjuangkan keadilan pada akhir rezim Orde Baru.
Leila menghadirkan gambaran mendalam mengenai penculikan aktivis 1997–1998, peristiwa yang hingga kini menyisakan luka sejarah.
“Novel ini menunjukkan bahwa politik tak melulu urusan kekuasaan, melainkan juga kehidupan manusia yang nyata,” ujar kritikus sastra Rina Prameswari dalam diskusi literasi di Jakarta, Selasa (3/9/2025).
Novel ini mengambil latar di masa Orde Baru, saat kebebasan berekspresi dibatasi, suara oposisi yang dibungkam, dan gerakan mahasiswa yang menuntut demokrasi menjadi target represi.
Pada periode itu, banyak aktivis yang ditangkap, diculik, dan tak pernah kembali.
Laut Bercerita hadir buka hanya dengan kekuatan politik, tetapi juga sarat emosi. Leila turut menggambarkan kisah ini dari sudut pandang Asmara Jati, adik dari Biru Laut.
Perjuangan keluarga Biru Laut dalam mencari kepastian mengenai keberadaannya, mencerminkan nasib ribuan keluarga korban pelanggaran HAM yang hingga kini masih menunggu kebenaran.
“Leila menulis dengan cara yang membuat kita bertanya: apakah demokrasi hari ini sungguh telah menebus pengorbanan mereka?” ujar Dito, mahasiswa Universitas Indonesia.

